Menangkal Kalabendu
Di satu sisi, negara bekerja keras menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik di tengah pandemi. Di lain sisi, masyarakat terbelah secara politik dan muncul banyak pecundang yang mengail di balong keruh.
Orang gelisah melihat kerumunan besar pada masa pandemi Covid-19. Negara dituntut bertindak hitam-putih. Di Kalimantan Barat, pasukan ”Merah” bahkan ikut mengamuk. Demokrasi mutakhir mengalami turbulensi keras.
Murka sosial membeludak di mana-mana. Marah dan kalut merasuki orang di banyak tempat, bahkan jauh sebelum Covid-19 muncul di Wuhan, China, paruh akhir 2019. Kalau berpaling ke falsafah Jawa, mungkin ini ”zaman edan”-nya Raden Ngabehi Ranggawarsito (1802-1873) atau era Kalabendu dalam Jangka Jayabaya. Ada kehancuran akibat manusia memuja hal yang fana sebagai tujuan ontologis keberadaannya.
”Rasa kemanusiaan [orang] menjadi sangat tipis… [Sebaliknya], orang mulia disia-siakan, orang jahat mendapat derajat,” tutur ahli sejarah Kediri, Ki Tuwu, soal Kalabendu.
Tahun 2018, Gallup Global Emotions Report mengadakan survei di 140 negara soal pengalaman rasa sakit, khawatir, sedih, stres, dan marah. Chad (54), Nigeria (50), Sierra Leon (50), Irak (49), Iran (48), Benin (47), Liberia (47), termasuk Palestina (44), teratas pada Indeks Pengalaman Negatif (Negative Experience Index).
Murka sosial membeludak di mana-mana.
Sebaliknya, El Salvador (83) dan Indonesia (83) ada di urutan ke-5 dan ke-6 untuk kategori Indeks Pengalaman Positif terbaik (Positive Experience Index) setelah Paraguay (85) dan Panama (85), disusul Guatemala (84) dan Meksiko (84) di tangga berikutnya.
Sembari mengapresiasi itu, kita dituntut melawan lupa bahwa tak sedikit orang masih merasa sakit, khawatir, sedih, marah, dan tertindas. Entah karena pembangunan rumah ibadah terhambat, hasutan kebencian di dunia maya, menyaksikan intoleransi yang makin radikal, kesenjangan sosial, kemiskinan struktural terkait rezim politik yang korup di banyak daerah, seperti di Papua dan Nusa Tenggara, perlakuan tak adil dari oknum dalam sistem peradilan pidana, atau sebab lain yang kompleks.
Baca juga: Intoleransi yang Mencemaskan
Sebagian yang merasa ada ketidakadilan—entah demi afiliasi sosial ataupun ”deprivasi relatif” (Gurr, 1970; Veldhuis & Staun, 2009)—memilih membangkang terhadap negara. Mereka bergabung dengan kelompok radikal yang sejatinya memperjuangkan sistem baru, mulai dari konsep ”khilafah” sampai ”pemerdekaan diri”—meski gerakan separatisme seperti Papua, misalnya, harus juga dilihat sebagai mainan elite lokal yang menjadi pemburu rente!
Sebagian lagi memilih bertahan meski secara sosial terombang-ambing antara ”konformitas” dan ”kontravensi”. Program ”cuci otak” melalui dakwah radikal umumnya menyasar segmen masyarakat yang terombang-ambing itu.
Politik identitas
Spesifik soal dakwah radikal, kelihatan ada ironi. Narasi ”ketidakadilan sosial” justru dirampas oleh kelompok yang menolak demokrasi dan melawan pemerintah sah. Mereka mempermainkan literasi ”ketidakadilan” sebagai modal politik.
Di panggung politik, mereka bermain dengan jubah partai atau dengan mantel ormas. Muaranya sama: amplifikasi politik identitas!
Sejak Pilkada 2012 di Jakarta, politik identitas sudah mulai menjadi hal umum. Pilkada serentak 2015, politisasi label kelompok menguat. Keadaan makin rumit menjelang Pilkada 2017, terutama setelah ada insiden terkait surat suci Al-Maidah yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama ke pusaran badai yang tak terbendung.
Baca juga: Pelestarian Demokrasi
Sepanjang 2018-2019, politisasi atribut komunal menjadi determinasi politik yang memberi karakter pada demokrasi kontemporer—persis seperti analisis Fukuyama (2018)! Orang ramai-ramai terseret ke ”kanan” dan mulai memperkarakan perbedaan, dan semakin berkurang yang konsisten bertahan di ”tengah’ sebagai kelompok nasionalis moderat, inklusif, dan toleran.
Di panggung politik, mereka bermain dengan jubah partai atau dengan mantel ormas.
Yang berada di ”kiri” pun makin gila dengan ekstremisme berpikir dan bertindak. Karena itu, tak mengherankan kalau dalam sejumlah aksi demonstrasi belakangan, terutama aksi penolakan UU sapu jagat (omnibus law) Cipta Kerja, ada kelompok ”Anarko” yang dalam sejarahnya tak pernah terorganisasi dan terjun ke dalam rimba politik praktis, tiba-tiba menjadi paguyuban ”buruh politik” yang termobilisasi. Mereka turun ke jalan dan berpartisipasi dalam tindakan anarkistis dan penyerangan terhadap aparat keamanan.
Demonstrasi adalah bentuk partisipasi nonformal. Namun, aksi menyatakan protes di depan umum dengan cara anarkistis bukan konsepsi partisipasi politik yang proper. Dalam konteks terbatas, mengacu pada banyak aksi rusuh, saya mendefinisikan anarkisme sebagai ”gagasan dan aksi yang menghalalkan tindak kekerasan untuk meruntuhkan nilai, kebijakan, dan pranata apa saja yang dianggap merepresentasi kemapanan dalam tata sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Baca juga: Kebangsaan Berperikemanusiaan
Terminologi ini biasanya dilekatkan pada kelompok jalanan seperti ”Anarko”. Uniknya, setelah ditelusuri lebih dalam, tak banyak dari mereka yang paham konsep anarki. Jadi, gejolak sosial yang berkembang di tengah masyarakat tak sepenuhnya suatu perjuangan ideologis seperti halnya ormas tertentu yang jelas-jelas mempromosikan konsep ”negara agama” ataupun kaum buruh yang mau memperjuangkan nasib kelasnya.
Doktrinasi, mobilisasi, dan transaksi sudah menjadi bagian dari praksis demokrasi kekinian. Bandar demonstrasi, vigilante politik, dan pemburu rente bertumbuh subur bak cendawan pada musim hujan. Para ahli bisa melihatnya sebagai ekses buruk demokrasi langsung, tetapi yang terpenting bagaimana negara membaca dan merespons fenomena itu demi mencegah kerusakan sosial dan sistemis yang lebih parah dalam jangka panjang.
Belajar dari Amerika
Amerika Serikat (AS) yang raksasa pun mengalami kebangkitan politik identitas. Presiden AS (2017-2021), Donald John Trump, sejak awal cukup kontroversial. Mulai dari ide membangun tembok di selatan—yang memicu eskalasi sentimen antihispanik di kalangan radikal ”kulit putih” yang menganut semangat white supremacy, sampai pada ancaman deportasi bagi imigran yang tak berdokumen seturut standar kebijakan imigrasi dari administrasi Presiden Trump.
”Dia telah menyeret mundur bangsa yang besar ini,” kata seorang kawan saat berbincang di salah satu warung makan di pusat kota Atlanta, Georgia, musim panas 2019.
Tragedi George Perry Floyd, 25 Mei 2020, di Minneapolis, Minnesota, adalah titik paling kritis dalam sejarah relasi ”masyarakat-negara” di bawah pemerintahan Presiden Trump yang akhirnya membalikkan bandul politik negeri Paman Sam. Maka, jauh sebelum Pemilu 2020 berlangsung, orang sudah melihat bintang bersinar di atas kepala Joseph (Joe) Biden, pesaing Trump dari Partai Demokrat.
Doktrinasi, mobilisasi, dan transaksi sudah menjadi bagian dari praksis demokrasi kekinian.
Preferensi dan aksentuasi politis Biden dinilai jauh lebih moderat dan inklusif. Perancis, negara yang menjunjung tinggi kebebasan, juga mengalami turbulensi. Karena hakikatnya yang paradoksal, ”kebebasan” memungkinkan adanya kartun kontroversial, Charlie Hebdo, yang melukai umat Islam.
Guncangan besar terjadi setelah Presiden Emmanuel Macron berpidato 2 Oktober lalu. Macron dituding menghina Islam—setidaknya, itu tafsir yang dipercaya sejumlah pemimpin, seperti Erdogan di Turki dan Mahathir di Malaysia!
Baca juga: Hubungan Agama dengan Negara
Tak sedikit intelektual muda Islam Indonesia di Perancis yang melakukan klarifikasi dan interpretasi dengan tepat di media sosial. Mereka percaya, setelah melihat dekat kebijakan dan pribadi Macron, ia bukan personalitas yang mengidap Islamofobia.
Namun, telanjur api tersulut dan khalayak dunia terbakar emosi. Macron pada akhirnya berjiwa besar untuk meminta maaf. Pengalaman AS dan Perancis mengajarkan pentingnya menghargai hak politik dan kebebasan sipil sebagai postulat sentral demokrasi adalah keharusan hakiki.
Refleksi
Kebijaksanaan—sebagai kecakapan mengambil tindakan dalam kondisi yang pelik—adalah keutamaan fundamental.
Jujur saja, periode kedua pemerintahan Joko Widodo (2019-2024) ditandai ketegangan relasional antara ”negara” dan ”masyarakat”. Ada ruang konfliktual di antara keduanya.
Di satu sisi, negara bekerja keras menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik di tengah pandemi. Di lain sisi, masyarakat terbelah secara politik dan muncul banyak pecundang yang mengail di balong keruh. Sebagian intelektual pun berlindung di balik dalil ”bebas nilai” untuk mencuci tangan dari tanggung jawab sosial atas kerumitan yang ada.
Baca juga: Tujuan Tunggal Jokowi
Sebagian lagi memanfaatkan intelektualitas untuk drama politik. Akibatnya, kritik dan hujatan tak terbedakan. Kewarasan sosial ditantang dan kedunguan ideologis menguat.
Dalam situasi begini, kebijaksanaan kepemimpinan (prudentia ducis) adalah kekuatan penangkal kalabendu. Manifestasi konkretnya beragam. Pertama, adanya komprehensi tentang negara dan masyarakat sebagai satu-kesatuan yang saling mensyarati, perlu ada respek mutual.
Kedua, negara tampil tenang, elegan, dan terukur dalam merespons gejolak sosial. Ketiga, penegakan hukum yang kuat di segala lini sambil menjaga keseimbangan relasi emosional negara-masyarakat.
Keempat, adanya kolaborasi antar-institusi dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan. Berikutnya, komunikasi dan koordinasi internal pemerintah, terutama di kalangan lingkaran dalam Istana, secara fungsional harus berlangsung efektif dengan tetap loyal penuh kepada presiden sebagai sosok sentral dan, tentunya, kerja inner circle berorientasi pada tugas pokok, bukan pada agenda parsial ”diam-diam” menjelang 2024.
Boni Hargens, Analis Politik; Pendiri Lembaga Pemilih Indonesia (LPI).