Negara agar Pastikan Pemulihan Lingkungan Dijalankan
›
Negara agar Pastikan Pemulihan...
Iklan
Negara agar Pastikan Pemulihan Lingkungan Dijalankan
Saat ini, triliunan rupiah ganti rugi lingkungan telah diputuskan pengadilan. Di luar permasalahan eksekusi yang lambat, negara juga harus memastikan denda tersebut bermanfaat bagi pemulihan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski putusan telah banyak ditetapkan, sampai saat ini masih banyak tergugat atau perusahaan yang belum membayarkan denda terhadap kasus kerusakan lingkungan. Di sisi lain, terkadang denda yang telah dibayarkan hanya mengendap di kas negara dan belum bisa digunakan untuk program pemulihan lingkungan. Oleh karena itu, negara harus memastikan pemulihan lingkungan benar-benar dilakukan setelah denda dibayar perusahaan.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan dalam diskusi daring, Selasa (1/12/2020) menyampaikan, proses pembayaran denda dan eksekusi dari kasus kerusakan lingkungan yang melibatkan individu atau perseorangan mayoritas dilakukan dengan cepat. Hal ini berbanding terbalik dengan kasus dengan tersangka korporasi atau perusahaan yang membutuhkan waktu lama dan proses yang panjang.
Walhi Riau mencatat, sejak 2013 sampai saat ini total denda dari kasus pidana yang telah ditetapkan hakim kepada sejumlah korporasi telah mencapai Rp 16 miliar dan pemulihan lingkungan Rp 37,1 miliar. Sementara pada kasus perdata, total ganti kerugian dan pemulihan lingkungan bahkan mencapai Rp 17,761 triliun. Namun, putusan pidana dan perdata terhadap korporasi pembakar hutan dan lahan tersebut masih banyak yang belum dieksekusi.
“Ini merupakan angka yang cukup luar biasa bagaimana negara bisa memenangkan kasus ini. Tetapi persoalan berikutnya yang ditunggu publik itu bagaimana negara mengeksekusi terhadap penjahat lingkungan yang dinyatakan bersalah tersebut mampu menjalankan kewajibannya. Lalu bagaimana memastikan eksekusi berjalan secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Riko menegaskan, terdapat dua persoalan yang harus menjadi fokus negara dalam menyelesaikan kasus karhutla. Pertama yaitu penegakan hukum yang tegas bagi para pelaku untuk menimbulkan efek jera agar tidak menimbulkan kejadian yang berulang di masa depan. Sedangkan fokus kedua yakni mengoptimalkan langkah pemulihan dan perlindungan lingkungan pada ekosistem lahan gambut.
Guru besar bidang hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, negara berhak menggugat kepada pihak yang bertanggungjawab jika ada kerugian lingkungan. Namun, ia menegaskan bahwa gugatan pencemaran dilakukan bukan karena adanya kerugian negara akibat pencemaran, tetapi karena perlu adanya jaminan pemulihan.
Menurut Andri, negara harus menggugat jika terdapat kerugian lingkungan karena doktrin public trust atau kepercayaan publik. Doktrin ini berarti pemerintah memikul kewajiban dan amanat atau tanggung jawab untuk memastikan lingkungan yang baik dan sehat. Adanya kewajiban ini akhirnya membuat negara harus melakukan pencegahan kerusakan dan pemulihan lingkungan.
“Jadi proses perusahaan membayar sekian triliun yang diputuskan pengadilan itu baru eksekusi setengah jalan. Hal ini karena setengah jalan lainnya yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa pemulihan lingkungannya terjadi. Jadi negara harus memastikan uang yang diperoleh dari bayaran tersebut akan dilakukan pemulihannya,” ungkapnya.
Ketentuan pemulihan
Andri menjelaskan, ketentuan pendanaan pemulihan ekosistem dan lingkungan telah tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut membagi kerugian ke dalam empat kategori yakni kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup, pengganti biaya verifikasi, pengganti biaya penanggulangan pencemaran, dan kerugian ekosistem.
“Jadi sebenarnya secara tidak langsung, Permen ini membagi dua kategori penting yaitu compensatory restoration dan primary restoration. Jadi primary restoration itu jika ada lahan terbakar 1.000 hektar, maka lahan seluas 1.000 hektar juga harus dipulihkan. Di antara waktu pemulihan itu akan ada penurunan kualitas dan harus diganti, inilah yang disebut compensatory restoration,” terangnya.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jasmin Ragil Utomo menjelaskan, untuk kewenangan eksekusi perkara perdata lingkungan hidup berada di ketua pengadilan. Sementara dalam kasus pidana, kewenangan eksekusi berada di kejaksaan.
Setelah denda dibayarkan, jaksa kemudian berkoordinasi dengan KLHK untuk melaksanakan eksekuasi pemulihan lingkungan hidup. Jaksa juga perlu menyiapkan segala sesuatu untuk mempercepat dan mempermudah eksekusi. Sementara di KLHK, eksekusi dilakukan oleh unit pemulihan ekosistem gambut, bila eksekusi terkait kerusakan gambut.
Kendala
Meski demikian, Ragil mengakui kendala kerap dijumpai dalam pelaksanaan eksekusi perkara perdata lingkungan hidup. Kendala itu salah satunya yakni kewenangan eksekusi berada pada ketua pengadilan negeri yang dilaksanakan oleh panitera atau juru sita. Hal ini membuat eksekusi menjadi kewenangan penuh pengadilan.
Selain itu, kendala lainnya yang dihadapi ialah sulitnya memperoleh aset untuk sita eksekusi, hasil eksekusi masuk kas negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNPB), dan pelaksanaan eksekusi harus tuntas sesuai isi putusan. Semua hal tersebut menjadi kendala karena belum ada kejelasan nilai putusan biaya pemulihan lingkungan hidup, durasi pembayaran, maupun kepastian eksekusi tanpa pembayaran.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring menambahkan, guna mengatasi kendala khususnya dalam konteks gugatan perdata, putusan yang dikeluarkan harus fokus pada pemulihan ekosistem dan lingkungan hidup akibat karhutla. Sementara valuasi atau pembiayaan hanya ditetapkan sebagai cara untuk memulihkan lingkungan hidup.
“Upaya lainnya yang bisa dilakukan yaitu dengan membentuk kelembagaan khusus. Saat ini sudah ada BPDLH (Badan Pengelolaa Dana Lingkungan Hidup) dan harus difokuskan untuk pemulihan dengan mengedepankan kebijakan enforcement first. Jadi harus ada kelembagaan yang bisa sampai melakukan suspending uang untuk pemulihan lingkungan,” tambahnya.