Pesta Pernikahan Sederhana Tak Semudah yang Dibayangkan
Pernikahan menandai fase penting perjalanan hidup manusia. Sebagian memilih merayakan hari penting ini secara bersahaja dan memilih menyisihkan dana untuk kehidupan berkeluarga.
Unjuk rasa memprotes hasil pemilu di kantor Badan Pengawas Pemilu Jakarta merupakan berkah bagi Akbar (29). Dalam aksi tahun 2019 itulah, ia berkenalan dengan calon istrinya. Karyawan di salah satu lembaga swadaya masyarakat di Jakarta ini memilih 12 Desember 2020 sebagai tanggal pernikahan mereka.
Akbar dan calon istri bekerja di kantor yang sama. ”Dia dari divisi medis, saya divisi media. Kami bertemu di situ (lokasi unjuk rasa). Besoknya kami ngopi bareng. Setelah itu, kami memutuskan untuk saling mengenal (taaruf),” jelas Akbar, Selasa (1/12/2020).
Tak butuh waktu lama bagi pasangan ini untuk meyakinkan satu sama lain. Akbar yakin bertunangan dengan perempuan Sunda pilihannya pada Agustus lalu. Sebulan setelah melingkarkan cincin di jari manis masing-masing, mereka siap berpesta.
Baca juga : Mencermati Ongkos Pesta Warga Indonesia
Bagi anak Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan, ini, pernikahan tidak perlu gebyar. Cukup dengan akad di masjid, disaksikan keluarga dekat, lalu kembali ke aktivitas masing-masing. Sebab, pesta pernikahan ala Bugis, katanya, akan menyita waktu, tenaga, sekaligus uang.
”Calon mempelai sudah harus berada di rumah dua minggu menjelang pesta, menyaksikan warga setempat membuat wala suji atau memperluas bangunan rumah dengan bahan nonpermanen karena di tempatku belum lazim pakai tenda. Sementara, waktu cuti, kan, terbatas,” katanya.
Namun tidak demikian pendapat calon istrinya, terutama calon mertua. Bagi mertua Akbar, pernikahan itu merupakan hajatan pertama. Oleh sebab itu, perlu dirayakan secara layak. Mereka akhirnya sepakat untuk membuat pesta di salah satu vila di Bandung, Jawa Barat.
Tiga bulan menjelang acara, Akbar dan calon istri mulai menyisihkan pendapatan untuk membiayai pesta. Mereka berburu vila, katering, hingga penyediaan baju. Semuanya dicari yang paling terjangkau. Setelah ditotal, mereka membutuhkan anggaran Rp 60 juta. Itu sudah termasuk biaya keberangkatan orangtua Akbar dari Makassar ke Bandung.
”Rencana awal, calon istri maunya ada dua pakaian, yakni Sunda dan Bugis. Tapi karena keterbatasan waktu di lokasi pernikahan, akhirnya pakai pakaian Sunda saja,” tambahnya.
Mereka memilih menyederhanakan ritual pernikahan, antara lain, demi menghemat anggaran. Dana yang mereka miliki bakal digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, termasuk soal hunian. Setelah menikah, Akbar akan tinggal bersama di indekos istrinya, di Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Di situ, ukuran kamar lebih luas daripada indekos milik Akbar. Dua atau tiga bulan sesudah itu, mereka akan mencari rumah kontrakan.
Di Tangerang Selatan, Banten, pasangan Lisa (28) dan Kornel (33) sudah menggelar pemberkatan nikah Oktober lalu. Mereka akan menggelar pesta di Yogyakarta, kampung Lisa.
Setelah ritual keagamaan ditunaikan, mereka menyiapkan pesta pernikahan. Lokasi pesta, katering, dan jasa penyelenggara pesta pernikahan sudah dipesan. Hanya saja, waktu pesta belum ditentukan.
”Yang pasti tahun depan. Tetapi kemungkinan menunggu Covid-19 reda dulu atau menunggu vaksin tersedia. Ini karena suamiku mengundang beberapa temannya dari luar negeri. Kalau sekarang, kan, susah,” katanya.
Baca juga : Penyelenggara Pesta Pernikahan Meminta Keadilan Perizinan Selama Pandemi
Lisa bekerja sebagai kepala departemen di salah satu perusahaan properti. Sementara Kornel merupakan manajer di salah satu perusahaan keuangan nonbank. Sebagai pekerja kerah putih dengan pendapatan di atas dua digit per bulan, anggaran pesta mereka cukup bersahaja.
Pesta pernikahan bakal berlangsung di sebuah restoran di Yogyakarta dengan biaya Rp 6 juta untuk 150 tamu. Sementara biaya jasa penyelenggara pesta pernikahan Rp 15 juta. Ketika pemberkatan nikah Oktober lalu, tak lebih dari Rp 10 juta yang dikeluarkan pasangan ini.
Bagi Lisa dan Kornel, tak perlu menyelenggarakan pesta pernikahan secara gebyar dengan risiko utang melilit pinggang. Lebih baik mengefisienkan anggaran dan mengalokasikannya untuk keperluan yang lebih mendesak, seperti membeli rumah.
Prinsip seperti ini bukan tanpa halangan. Lisa, misalnya, harus meyakinkan orangtuanya agar tak terlalu menggelar pesta secara berlebihan. ”Orangtua, kan, maunya harus mengundang banyak orang. Tetapi kami hanya mengundang orang yang masih berkomunikasi rutin dengan kami, selain keluarga,” jelasnya.
Kornel menambahkan, penting bagi pasangan untuk mendiskusikan semua hal. Tidak boleh menabukan hal-hal tertentu seperti membahas kondisi keuangan masing-masing. Dalam membangun keluarga, tak ada pembagian peran yang ajek. Semua sama-sama bekerja, baik untuk keperluan finansial maupun pekerjaan rumah tangga.
Kisah Jaffry (29), jurnalis di satu harian nasional tak kalah menarik. Dia bertemu istri ketika masih bertugas di Balikpapan, Kalimantan Timur. Baru dua hari lalu dia dan istri menggelar pesta pernikahan di sebuah vila di Ciracas, Jakarta Timur. Untuk pesta ini, mereka merogoh kocek Rp 70 juta.
”Yang lumayan besar menyita anggaran itu katering, biayanya bahkan setara sama biaya tempat,” ujarnya.
Perjalanan cinta Jaffry sangat singkat. Hanya butuh dua minggu bagi Jaffry meyakinkan perempuan yang pernah bekerja di bagian pemasaran perusahaan media itu untuk ke pelaminan. ”Aku membuktikan keseriusanku dengan mendatangi langsung keluarganya,” katanya.
Kini, pasangan ini tinggal di Serpong, Tangerang Selatan, di rumah orangtua Jaffry. ”Sebenarnya ingin sewa rumah. Tetapi mamaku bilang mending tinggal di rumah dulu saja. Uang sewa rumah bisa ditabung untuk uang muka rumah,” jelasnya.
Sederhana
Ketika republik ini masih anyar, gelaran pernikahan tak mesti gebyar. Semua serba sederhana. Orang maklum saja apabila harus menikah tanpa ingar-bingar pesta. Tahun-tahun berlalu. Seiring membaiknya perekonomian, pernikahan menjadi ritual yang dipersiapkan dengan matang. Rencana disusun. Target dibuat, mulai dari konsep pesta hingga rencana setelah berkeluarga.
Di medio 1969, Poedjarosmi, anak sastrawan Pramoedya Ananta Toer, menikah di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba, Jakarta. Ayahnya berstatus tahanan politik dan menjalani hukuman di tempat itu. Pram mencatat,
Poedjarosmi datang bersama calon suami dan seorang penghulu, yang begitu terburu-buru khawatir tertinggal kereta rezeki (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, 1988-1998).
”Tentu saja kau tahu, tak ada keberatan padaku kau memilih seorang suami untuk dirimu sendiri. Juga aku percaya, kau akan tetap ingat pesanku pada calon suamimu sebelum kau menikah di depanku: Anak ini anakku yang pertama, anak yang aku sayangi. Dahulu neneknya berharap ia menjadi dokter, ternyata ia akan menjabat sebagai istrimu. Jadi, setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-sekali anakku dilarang atau dihalangi kalau dia mau meneruskan pelajarannya. Tidak aku izinkan anakku dipukul atau disakiti. Anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-baik, kalau karena suatu hal kau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku,” demikian pesan Pram di pernikahan anak pertamanya.
Memang, situasi masih jauh dari ideal waktu itu, bahkan bagi anak pentolan sastra seperti Pram. Republik baru berumur 24 tahun. Peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto menyisakan residu politik berupa penahanan massal terhadap pendukung rezim sebelumnya, termasuk Pram.
Kini, setelah 75 tahun Indonesia merdeka, pemerintahan relatif stabil. Terbuka peluang bagi setiap warga untuk membangun penghidupan sendiri. Warga pun mempersiapkan pernikahan dengan lebih matang. Kalaupun ada penghalang, itu adalah pandemi Covid-19 yang membatasi orang untuk mengumpulkan banyak orang.
Pernikahan, baik yang dirayakan sederhana maupun mewah, merupakan penanda fase penting perjalanan hidup manusia. Setiap pengantin bisa memilih menyelenggarakan momentum ini secara bersahaja atau gebyar-gebyar. Pilihan menyederhanakan pesta pernikahan terkadang berselisih paham dengan keinginan keluarga besar. Akan tetapi, semua akhirnya terpulang kepada pilihan setiap pasangan.