Rumah Sakit Penuh, Risiko Kematian Meningkat
Lonjakan jumlah pasien Covid-19 mengakibatkan kapasitas sejumlah rumah sakit dan tempat isolasi hampir penuh. Kondisi ini harus segera diantisipasi agar pasien bisa tertangani dengan baik.
JAKARTA, KOMPAS — Rumah sakit mulai kehabisan tempat perawatan intensif dan ruang isolasi Covid-19 sehingga terjadi keterlambatan penanganan pasien. Penambahan kapasitas rumah sakit tak akan pernah cukup jika kasus terus bertambah. Jika situasi ini berlanjut, rumah sakit akhirnya harus menyeleksi pasien berdasar kriteria keparahannya.
Membanjirnya pasien ke rumah sakit terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. ”Sejak satu minggu lalu, kurva penambahan pasien makin tinggi dan penambahannya kian cepat,” kata Kepala Sekretariat Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet RM Tjahja Nurrobi, dalam diskusi yang ditayangkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Mengantisipasi lonjakan pasien ini, sejak tiga hari lalu Menara 4 Wisma Atlet yang sebelumnya menjadi tempat isolasi telah dialihkan sebagai ruang perawatan. ”Saat ini ada tiga tower untuk perawatan total pasien di Wisma Atlet sudah 3.500 orang dan yang mengkhawatirkan tingkat penambahannya cepat. Tower isolasi mandiri cepat bertambah, sudah 80 persen keterisiannya,” katanya.
Menurut Tjahja, Wisma Atlet Pademangan dan hotel-hotel di Jakarta yang disediakan untuk isolasi mandiri juga mulai penuh. ”Informasi yang saya terima, hotel-hotel untuk isolasi mandiri juga hampir 100 persen. dengan tren seperti ini akan terjadi luapan pasien. Semoga tidak terjadi,” ujarnya.
Baca juga: Ruang Isolasi Penuh, Pemkot Tangsel Buka Opsi Isolasi OTG Covid-19 di Hotel
Akmal Taher, Guru Besar Kedokteran Universitas Indonesia, yang pernah menjabat Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, mengatakan, kita harus segera mengantisipasi risiko kolapsnya layanan rumah sakit karena lonjakan pasien mulai melebihi daya tampungnya.
”Saat ini rata-rata kalau di Jakarta dan sekitarnya pasien menumpuk di IGD (instalasi gawat darurat) karena tak bisa masuk ke ruang isolasi dan ICU (ruang perawatan intensif). Informasi serupa juga kami peroleh dari berbagai daerah lain,” kata Akmal.
Mala (43), warga Jakarta Selatan, mengatajan, adiknya yang positif Covid-19 meninggal dalam perawatan di IGD salah satu rumah sakit karena tidak mendapat tempat lagi di ICU.
Saat ini rata-rata kalau di Jakarta dan sekitarnya pasien menumpuk di IGD (instalasi gawat darurat) karena tak bisa masuk ke ruang isolasi dan ICU (ruang perawatan intensif).
”Adik masuk rumah sakit sejak Kamis (26/11/2020) dengan gejala sesak napas. Dia mulai terasa sakit sejak tiga hari sebelumnya dan dari hasil tes positif Covid-19. Sampai meninggalnya pada Minggu (29/11/2020) dini hari masih di ruang IGD. Kami hanya diberi tahu ICU penuh," ungkapnya.
Peneliti layanan kesehatan, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Joko Mulyanto, menyatakan, risiko kematian pasien di IGD atau bahkan di luar rumah sakit sangat besar.
Baca juga: 95 Persen Tempat Tidur Pasien Covid-19 di DIY Sudah Terisi
”Situasi rumah sakit di Jawa Tengah saat ini juga sudah sangat mengkhawatirkan. Dinas Kesehatan Jawa Tengah mengatakan, okupansi rumah sakit 75 persen, masih ada ruang. Tetapi ini data agregat di level provinsi, karena di level kabupaten tidak seperti itu. Banyumas, misalnya, saat ini nol. Tidak ada lagi ruang islasi dan ICU selama seminggu terakhir ini,” ujarnya.
Sekalipun sudah dilakukan penambahan kapasitas tempat tidur, dari 300 menjadi 400 unit, tetapi langsung penuh. Demikian halnya penambahan ruang isolasi juga segera dipenuhi pasien. ”Yang juga harus diperhatikan, pasien yang datang ke rumah sakit rata-rata dalam kondisi sudah berat, yang menunjukkan keterlambatan deteksi dan risiko kematiannya amat tinggi,” kata Joko.
Dalam situasi seperti ini rumah sakit akhirnya harus memprioritaskan pasien mana yang harus ditangani. ”Ini misalnya dilakukan di Italia saat menghadapi puncak kasus beberapa waktu lalu. Mereka akhirnya memilih merawat pasien yang diperkirakan bisa diselamatkan. Kita bisa mengarah ke sana, karena Covid-19 ini laju penularannya amat cepat kalau mobilitas penduduk seperti sekarang, apalagi ini menjelang pemilihan kepala daerah,” ujarnya.
Senada dengan Joko, Akmal mengutarakan, jika harus memilih penambahan kapasitas layanan rumah sakit, saat ini yang harus menjadi prioritas adalah ruang isolasi, berikutnya baru ICU.
”Untuk menambah ICU selain butuh waktu juga sumber daya terlatih, dan kalau sudah masuk ICU risiko pasien untuk sembuh sudah kecil. Jadi, terpaksa kita harus meningkatkan kapasitas isolasi untuk mencegah pasien dengan gejala ringan dengan menengah tidak memburuk sehingga harus masuk ICU,” katanya.
Deteksi dini
Akmal mengatakan, tingkat kematian Covid-19 terutama ditentukan oleh kondisi pasien saat dibawa ke rumah sakit. Semakin cepat deteksi dini dan penanganan pasien, risiko kematian terhindari. Situasi ini amat sulit jika rumah sakit penuh seperti saat ini.
Baca juga: Layanan Kesehatan Terancam Kolaps
Sebaliknya, risiko kematian karena Covid-19 tinggi jika kondisi pasien sudah parah, apalagi harus mendapat bantuan ventilator. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah mencegah agar pasien dengan gejala ringan dan sedang tidak menjadi parah. ”Peluangnya kecil kalau sudah sampai ventilator, apalagi kalau ada komorbid (penyakit penyerta),” katanya.
Untuk menunjang kecepatan diagnosis dan penanganan, deteksi dini harus diterapkan dengan baik dan ini membutuhkan peningkatan jumlah tes dan kecepatan pelacakan kontak.
”Kalau kita lihat keberhasilan Singapura menekan angka kematian sebenarnya bukan karena mereka memakai obat-obatan, melainkan karena mereka mendapatkan pasien sejak awal melalui tracing yang bagus dan mencegah agar kondisinya tidak memburuk,” katanya.
Singapura memiliki tingkat kematian karena Covid-19 sangat rendah, yaitu 0,049 persen. Dari 58.218 kasus, yang meninggal 29 orang. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia yang memiliki tingkat kematian pasien Covid-19 sebesar 3,1 persen, yaitu dari total 538.883 kasus terkonfirmasi sebanyak 16.945 meninggal.
Praktisi kesehatan Indonesia yang bekerja di Singapura dan juga relawan di Kawal Covid19, Septian Hartono, mengatakan, data klinis di Singapura menunjukkan pasien bergejala serius rata-rata memburuk seminggu setelah mulai gejala.
”Jika pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi buruk, risiko kematiannya amat tinggi. Ini menekankan pentingnya deteksi sedini agar perawatannya lebih proaktif dan antisipatif ketimbang reaktif,” ujarnya.
Septian menambahkan, selain pelacakan seluruh kontak, deteksi dini juga didapatkan melalui kecepatan pelaporan hasil tes. ”Idealnya hasil tes kurang dari 24 jam untuk mendukung kepastian penegakan diagnosis dan perawatan,” kata dia.
Data Satgas Penanganan Covid-19 yang berbasis data Kementerian Kesehatan, penambahan kasus harian mencapai 4.617 orang dan korban jiwa bertambah 130 orang. Namun penurunan jumlah kasus harian ini juga disebabkan penurunan jumlah pemeriksaan, yaitu 29.839 sehingga rasio positif sebesar 15,4 persen.
Angka kasus dan jumlah korban jiwa yang dilaporkan ini juga masih lebih kecil dari data yang dilaporkan daerah, khususunya di Jawa Tengah (Jateng). Berdasarkan data Provinsi jateng, penambahan kasus harian mereka mencapai 1.958, lebih besar dari laporan Kemenkes yang hanya 899 kasus atau 1.059 kasus lebih rendah. Sementara penambahan kematian harian yang dilaporkan Provinsi Jateng 54 orang, tetapi yang dilaporkan Kemenkes hanya 23 orang.
Secara total, kasus Covid-19 di Jateng yang dilaporkan Pemerintah Provinsi Jateng mencapai 55.803 kasus dan jumlah kematian 3.690 orang. Sementara data Kementerian Kesehatan menyebutkan, total kasus di Jateng hanya 54.997 dan korban meninggal 2.363 orang.