Harga gabah terus turun dua bulan terakhir dan menyimpang dari pola tahunan. Situasi itu menekan kesejahteraan petani yang menanamnya. Data harga dan nilai tukar petani yang dirilis BPS, Selasa (1/12), mengonfirmasinya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga gabah kembali turun. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, Selasa (1/12/2020), harga rata-rata gabah kering panen di tingkat petani pada November 2020 sebesar Rp 4.722 per kilogram, turun dibandingkan dua bulan sebelumnya. Penurunan harga gabah pada kurun September-November menyimpang dari pola yang selama ini terjadi.
Situasi harga gabah 10 tahun terakhir, menurut data BPS, cenderung naik selama kurun September-Desember. Pada kurun itu, panen dan pasokan gabah atau beras biasanya berkurang sehingga harga yang terbentuk di tingkat petani, penggilingan cenderung naik. Tiga bulan terakhir setiap tahun merupakan masa paceklik.
Akan tetapi, tahun ini beda. Penurunan harga gabah sejalan dengan penurunan nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan, yakni dari 101,43 pada Oktober 2020 menjadi 100,89 pada November 2020. Penurunan NTP menjadi salah satu indikator menurunnya kesejahteraan petani tanaman pangan.
Penurunan NTP tanaman pangan bersumber dari peningkatan biaya yang mesti dibayarkan petani dan penurunan pendapatan yang diterima. Indeks harga yang diterima petani pangan turun 0,1 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 107,23. Padahal, indeks harga yang dibayar petani meningkat 0,43 persen menjadi 106,28.
Penurunan NTP tanaman pangan bersumber dari peningkatan biaya yang mesti dibayarkan petani dan penurunan pendapatan yang diterima.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto menyatakan, kenaikan indeks harga yang dibayar petani bersumber dari peningkatan konsumsi rumah tangga serta biaya produksi dan penambahan barang modal. ”Dalam biaya produksi dan penambahan barang modal, indeks harga pupuk dan bibit naik masing-masing 0,18 persen,” katanya saat konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (1/12/2020).
Adapun indeks konsumsi rumah tangga petani pada November 2020 mengalami kenaikan 0,51 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan pengeluaran, inflasi terbesar berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yakni senilai 0,85 persen.
Harga anjlok
Pergerakan harga gabah mempengaruhi indeks penerimaan petani. BPS mendata, rata-rata nasional harga gabah kering panen (GKP) pada November 2020 berada di posisi Rp 4.722 per kilogram (kg) atau turun 1,93 persen dibandingkan dengan bulan Oktober 2020 dan turun 7,38 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Menurut Setianto, turunnya harga gabah tersebut disebabkan masih adanya panen di sejumlah wilayah sehingga stok pun dapat terjaga. Selain itu, gabah yang dipanen pada bulan November juga cenderung memiliki kualitas rendah.
Rata-rata kadar air pada gabah kering panen (GKP), menurut hasil survei BPS di 1.296 observasi di 29 provinsi, 19,35 persen. Padahal, standar kadar air pada gabah kering panen berkisar 14,01-25 persen. Semakin tinggi kadar airnya, kualitasnya semakin rendah.
Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Risfaheri mengonfirmasi, panen pada November 2020 terjadi di sejumlah wilayah, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Panen ini berasal dari penanaman Juli 2020.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, tren harga gabah tersebut menunjukkan anomali. Berdasarkan data yang dihimpun AB2TI di 46 kabupaten sentra produksi, harga GKP pada September, Oktober, dan November 2020 secara berturut-turut sekitar Rp 4.800 per kg, Rp 4.564 per kg, dan Rp 4.483 per kg.
Penurunan harga gabah tersebut disebabkan oleh La Nina yang berdampak pada peningkatan produksi. Selain itu, karena masih berada dalam periode tanam, petani melepaskan gabahnya untuk memperoleh modal. Meski demikian, dia mengkhawatirkan kondisi tersebut berlanjut hingga awal 2021.
”Solusinya, harga pembelian pemerintah (HPP) sebagai instrumen perlindungan di tingkat petani yang saat ini Rp 4.200 per kg GKP mesti naik hingga Rp 4.500 per kg. Kebijakan tersebut tidak bisa melindungi petani kalau nilainya di bawah ongkos produksi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa.
Solusinya, harga pembelian pemerintah sebagai instrumen perlindungan petani mesti naik.
Nilai HPP selama ini menjadi acuan bagi tengkulak. Berdasarkan laporan yang diterimanya pada Mei 2020, sekelompok tengkulak mematok harga GKP berkisar Rp 4.200 per kg. Padahal, rata-rata harga di pasar sekitar Rp 4.325 per kg. Setelah ditelusuri, tengkulak menekan harga di petani demi memenuhi pengadaan beras bantuan sosial pemerintah yang dipatok Rp 8.300 per kg.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) Abdullah Mansuri menambahkan, penyaluran beras bantuan sosial pemerintah ke masyarakat menyebabkan harga terkendali. Meskipun demikian, stok di pedagang pasar mulai menipis.