Meski pembukaan sekolah tak lagi mengacu pada zona Covid-19, sekolah harus dipastikan siap sebelum dibuka. Pencegahan penyebaran Covid-19 di masyarakat pun harus lebih baik untuk menjamin sekolah aman ketika dibuka.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Semua negara mengalami krisis pendidikan akibat pandemi Covid-19 dengan tingkat yang berbeda-beda. Berbagai upaya dilakukan untuk membuka sekolah di masa pandemi, mulai dari disiplin protokol kesehatan hingga pembatasan jumlah siswa di sekolah. Pengendalian infeksi Covid-19 di komunitas menjadi pertimbangan utama.
Sejumlah negara, seperti Selandia Baru, Norwegia, dan Jepang, membuka sekolah pada April dan Mei ketika gelombang pertama kasus Covid-19 di negara-negara tersebut mereda. Demikian juga Inggris, Denmark, dan Belanda yang mulai membuka sekolah secara penuh pada Agustus dan September lalu.
Keputusan pembukaan sekolah tidak selalu sama di satu negara. Di Amerika Serikat, misalnya, meski sejumlah sekolah mulai menyelenggarakan pembelajaran tatap muka kembali, sekolah-sekolah yang kesulitan menyediakan sarana penunjang protokol kesehatan, seperti sabun dan tisu toilet yang cukup, tetap meneruskan pembelajaran jarak jauh.
Membuka sekolah berarti pula harus siap menutupnya kembali jika kondisi lingkungan tidak mendukung. Ceko, Rusia, dan Austria, misalnya, menutup sekolah kembali karena kasus Covid-19 meningkat pada Oktober dan awal November. Korea Selatan dan Australia juga menutup sekolah lagi untuk meminimalisir penularan di masyarakat.
Negara-negara yang membuka sekolah di masa pandemi biasanya memiliki penularan komunitas mendekati nol. Negara-negara dengan pengujian Covid-19 yang luas mulai membuka sekolah dengan langkah-langkah keamanan yang ketat ketika kurang dari 30-50 infeksi baru diamati dalam 7 hari per 100.000 penduduk dalam jangka waktu lama (sciencemag.org, 18/11/2020).
Di Indonesia, kasus Covid-19 terus bertambah. Bahkan pasca-libur panjang akhir Oktober lalu, kasus baru Covid-19 sempat mencapai rekor tertinggi, yaitu 6.267 kasus, pada Senin (30/11), meski menurun lagi menjadi 5.092 kasus pada Selasa (1/11).
Indonesia belum berhasil mengendalikan kasus Covid-19, bahkan penanganan Covid-19 belum membaik (Kompas, 1/12). Kecenderungan selama ini, kasus Covid-19 melonjak setelah libur panjang. Mobilitas masyarakat yang tinggi menjadi pemicunya.
Karena itu, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengingatkan, pembukaan sekolah pada 2021 harus mempertimbangkan kondisi tersebut. Pada 9 Desember nanti ada pemilihan kepala daerah serentak. Setelah itu ada liburan akhir semester, Natal, dan Tahun Baru. Artinya, ke depan mobilitas masyarakat semakin tinggi dan berpotensi menjadi sebaran baru Covid-19 pada Januari nanti.
Meski Surat Keputusan Bersama Empat Menteri pada 20 November 2020 bukan untuk melegitimasi pembukaan sekolah, surat ini akan mendorong pembukaan sekolah di banyak daerah. Apalagi, pembukaan sekolah tidak lagi dibatasi zona risiko persebaran Covid-19.
Protokol kesehatan
Pemerintah, melalui SKB tersebut, memang menetapkan persyaratan ketat untuk pembukaan sekolah di masa pandemi. Selain siap dengan infrastruktur dan protokol kesehatan, pembukaan sekolah harus mendapatkan izin dari pemerintah daerah serta disetujui kepala sekolah, komite sekolah, dan orangtua siswa. Selain itu kapasitas sekolah juga dibatasi maksimal 50 persen.
Namun, mengacu pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning selama ini, kondisi lingkungan memengaruhi keamanan pembelajaran tatap muka. Beberapa sekolah harus ditutup lagi karena ada guru dan siswa yang terinfeksi Covid-19, dan ini berkorelasi positif dengan peningkatan kasus di masyarakat. Penularan massal terjadi di sejumlah sekolah berasrama, beberapa di antaranya terjadi pasca-kunjungan orangtua.
Peningkatan kasus Covid-19 setelah libur panjang dan juga munculnya kasus Covid-19 di sekolah selama ini menunjukkan pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat belum ketat. Hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di 49 sekolah di 8 provinsi pun menunjukkan banyak guru belum disiplin mengenakan masker dan jaga jarak selama di sekolah.
Terkait kesiapan sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, sebagian besar sekolah tersebut (lebih dari 83 persen) belum siap atau belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SKB. Padahal, kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolah unggulan. Bagaimana dengan sekolah-sekolah lainnya.
Karena itu, pemerintah harus benar-benar memastikan sekolah siap menyelenggarakan pembelajaran tatap muka. Tidak cukup hanya menerima daftar periksa bahwa sekolah telah memenuhi syarat untuk dibuka, pemerintah juga harus mengecek langsung kesiapan sekolah, termasuk dalam pengawasannya nanti ketika sekolah sudah dibuka.
”Harus dipastikan, misalnya jumlah wastafelnya berapa, bagaimana kondisinya, apakah ada air mengalir. Ada sekolah yang wastafelnya tersedia tetapi tidak ada airnya karena daerah tersebut kekeringan. Peran pemerintah daerah sangat penting. Arahkan politik anggaran untuk menyiapkan sekolah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka,” kata Retno, Senin.
Uji coba pun harus dilakukan sebelum sekolah benar-benar dibuka. Sekolah juga harus siap menyelenggarakan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh sekaligus. Sebab pembelajaran tatap muka sama seperti sebelum Covid-19 saja tidak cukup untuk mengembalikan pembelajaran yang hilang selama sekolah ditutup.
Daerah, sekolah, guru, siswa, dan orangtua harus benar-benar siap sebelum sekolah dibuka. Namun yang utama, pencegahan penyebaran Covid-19 di masyarakat harus lebih baik untuk menjaga sekolah tetap aman ketika dibuka kembali.
Membuka sekolah ketika infeksi kasus belum bisa dikendalikan berisiko besar terjadi penularan di sekolah meski pembukaan sekolah telah mensyaratkan pelaksanaan protokol kesehatan hingga pembatasan jumlah siswa. Ini seperti terjadi di Kota Manaus, ibu kota Brasil, yang membuka sekolah di tengah kasus Covid-19 yang tinggi pada Agustus lalu. Seminggu setelah sekolah dibuka, ada penularan Covid-19 di 36 sekolah yang mewakili 30 persen sekolah di kota tersebut (wsws.org, 15/8/2020).