Pandemi Covid-19 memaksa perusahaan hulu migas memangkas belanja modal hingga 20-30 persen. Persaingan investasi kian ketat. Indonesia harus bisa berbenah untuk dapat memenangi kompetisi investasi itu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memerlukan perubahan radikal untuk memenangi persaingan investasi hulu minyak dan gas bumi global yang kian ketat. Masalah kepastian hukum, kestabilan kontrak, dan penyederhanaan perizinan masih menjadi isu utama yang dihadapi investor. Pemerintah berjanji tidak akan mengabaikan sektor ini di tengah gencarnya transisi energi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Demikian yang mengemuka dalam pembukaan acara International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2020 yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (2/12/2020). Acara ini diselenggarakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan sektor hulu migas, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam sesi diskusi, Direktur Utama Medco E&P Indonesia Ronald Gunawan menyampaikan, secara umum, iklim investasi Indonesia menunjukkan perbaikan. Namun, pandemi Covid-19 membuat bisnis hulu migas di Indonesia dan global terpukul. Harga minyak mentah merosot tajam dan seluruh perusahaan memangkas belanja modal mereka 20-30 persen. Hal itu menyebabkan persaingan investasi kian ketat.
”Kompetisi (menarik minat investor) makin tinggi. Negara lain membuat perubahan radikal demi menarik minat investor. Saya kira, Indonesia juga perlu melakukan hal serupa. Ini adalah momentum yang tepat untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki tawaran menarik agar investor datang berinvestasi,” kata Ronald.
Harga minyak mentah merosot tajam dan seluruh perusahaan memangkas belanja modal mereka 20-30 persen. Hal itu menyebabkan persaingan investasi kian ketat.
Di masa pandemi Covid-19, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, sektor migas termasuk yang terpukul paling parah. Pandemi menyebabkan permintaan energi merosot dan harga minyak sempat terpuruk, bahkan negatif. Hal ini menunjukkan tantangan yang luar biasa bagi industri hulu migas di masa pandemi.
”Harus ada strategi baru menghadapi tantangan tersebut. Dari sisi fiskal, pemerintah memberikan dukungan penuh pada pelaku usaha untuk mewujudkan potensi produksi migas di Indonesia. Insentif yang dapat diberikan adalah pengurangan Pajak Penghasilan dari semula 25 persen menjadi 22 persen atau 20 persen dalam kurun dua tahun ke depan,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah juga membebaskan bea masuk bandara dan berbagai fasilitas lainnya di kawasan ekonomi khusus. Untuk meminimalkan hambatan, pemerintah memberi kebebasan pilihan kontrak bagi hasil apakah akan memilih cost recovery (biaya operasi yang dapat dipulihkan) atau gross split (bagi hasil berdasar produksi bruto). Ia juga menekankan agar perusahaan kian efisien dalam beroperasi.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah tidak akan mengabaikan sektor migas di tengah agresifnya pengembangan energi terbarukan di seluruh dunia. Kendati porsi migas dikurangi dalam bauran energi, secara volume meningkat di tahun-tahun ke depan. Konsumsi minyak yang saat ini 1,6 juta barel per hari akan meningkat menjadi 3,9 juta barel per hari pada 2050.
Kendati porsi migas dikurangi dalam bauran energi, secara volume meningkat di tahun-tahun ke depan. Konsumsi minyak yang saat ini 1,6 juta barel per hari akan meningkat menjadi 3,9 juta barel per hari pada 2050.
Pemerintah, imbuh Arifin, juga memahami bahwa industri hulu migas sangat dipenuhi ketidakpastian. Untuk menarik minat investor ke Indonesia, faktor ketidakpastian tersebut harus dikurangi. Fluktuasi harga minyak dunia dan rumitnya perizinan adalah beberapa faktor ketidakpastian tersebut.
”Beberapa hal yang kami lakukan adalah penyederhanaan perizinan, penyediaan dan keterbukaan data migas, serta fleksibilitas sistem fiskal, yaitu kontraktor dibebaskan memilih skema bagi hasil menggunakan cost recovery atau gross split,” ucap Arifin.
Terkait ketidakpastian dari sisi hukum, menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, proses revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi masih berlangsung. Ia mengakui bahwa ada kritik tentang adanya ketidakpastian hukum tersebut. Namun, segala proses bisnis hulu migas tetap harus berpijak pada konstitusi.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, masalah hulu migas di Indonesia dari dulu tak pernah berubah, yaitu produksi terus menurun dan belum adanya penemuan cadangan baru berskala besar. Padahal, dua masalah tersebut sangat bergantung pada besaran investasi. Indonesia harus berbenah agar menjadi negara yang paling menarik untuk investasi hulu migas.
”Kata kuncinya hanya satu (untuk menarik investasi), yaitu kepastian. Kepastian ini meliputi payung hukum, yakni undang-undang tentang migas, kemudahan perizinan, dan kestabilan kontrak. Selama itu belum dipenuhi, maka sulit bagi Indonesia untuk keluar dari masalah,” ujar Komaidi.
Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi hulu migas 13,8 miliar dollar AS. Namun, lantaran pandemi Covid-19, target tersebut diperkirakan tidak tercapai. Adapun realisasi investasi di 2019 adalah 12,5 miliar dollar AS dan di 2018 12,6 miliar dollar AS.