Kompetisi mengakses vaksin di antara negara-negara di dunia dan resesi ekonomi global yang berkepanjangan akan mengakibatkan pemenuhan janji kerja sama global seperti G-20 mengalami jalan terjal dan tidak pasti.
Oleh
BEGINDA PAKPAHAN
·4 menit baca
Pada 23 November 2020, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) mengumumkan rencana pengiriman vaksin Covid-19 sebesar 2 miliar dosis ke negara-negara berkembang dan tertinggal, seperti Yaman, Afghanistan, dan Burundi.
Program tersebut menjadi bagian dari vaksinasi global di bawah Covid-19 global access-COVAX. Program Covax diinisiasi oleh Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), WHO, The Vaccine Alliance, dan Gavi (Kompas, 24/11/2020).
Di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) The Group of Twenty (G-20) pada 21-22 November 2020, Kanselir Jerman Angela Merkel mengungkapkan rasa kekhawatirannya atas akses vaksin Covid-19 bagi negara-negara berkembang dan tertinggal.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kekhawatiran itu. Pertama, belum ada perjanjian kerja sama untuk akses vaksin yang setara dari negara-negara besar dan para perusahaan farmasi bagi negara-negara berkembang dan tertinggal.
Kedua, negara-negara besar sudah melakukan pemesanan dan pembelian awal atas pelbagai calon potensial vaksin Covid-19 dari pelbagai perusahaan farmasi global. Direncanakan, Kanselir Jerman Angela Merkel akan berkomunikasi dengan Gavi perihal kapan dimulainya negosiasi akses dan pengiriman vaksin Covid-19 bagi negara-negara berkembang dan tertinggal (BBC, 23/11/2020).
Singkatnya, kerja sama global untuk akses setara bagi vaksin Covid-19 untuk negara-negara berkembang dan tertinggal belum ada.
Kompetisi di antara negara-negara di dunia untuk memperoleh vaksin Covid-19 tidak terelakkan. Negara-negara maju terdepan untuk menemukan vaksin Covid-19, memproduksinya dan menjaga pasokannya untuk warganya.
Oxfam International memproyeksikan bahwa kapasitas produksi lima farmasi global (Moderna, Pfizer, Gamelya/Sputnik, Astrazeneca, dan Sinovac) yang memiliki calon vaksin Covid-19 sebanyak 5,94 miliar dosis diperuntukkan bagi 2,97 miliar orang (setiap orang mendapatkan 2 dosis) setiap tahunnya.
Selanjutnya, pelbagai perusahaan farmasi tersebut sepakat akan memasok sebanyak 5,3 miliar dosis vaksin di mana 2,728 miliar dosis (atau 51%) sudah dibeli oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa, Jepang, Hong Kong/Makau, Australia, Israel, dan Swiss.
Sisanya, 2,575 miliar dosis diperebutkan oleh negara-negara berkembang (Oxfam International, 2020). Konsekuensinya, nasionalisme vaksin meningkat karena kompetisi vaksin covid-19 nyata dan meningkatnya politik nasionalisme di sebagian besar negara dunia (Pakpahan, 2020).
Ketimpangan akses
Pada satu sisi, negara-negara maju sudah membeli dan mengamankan pasokan vaksin Covid-19. Mereka sudah menjalin kerja sama produksi dan distribusi vaksin dengan sejumlah perusahaan farmasi global yang calon vaksinnya sedang menjalani uji klinis akhir. Mereka optimistis akan melaksanakan program vaksinasi pada akhir 2020.
Contohnya, AS sudah menargetkan 20 juta warganya akan divaksin pada pertengahan Desember 2020. Selanjutnya, 30 juta warga AS akan divaksinasi di bulan Januari 2021. Jerman juga sudah mengamankan 300 juta dosis vaksin Covid-19 melalui mekanisme kerja sama regional Uni Eropa dan kerja sama bilateral antara Jerman dan negara lainnya. Pada pertengahan Desember 2020, Jerman akan mempersiapkan program vaksinasi bagi penduduknya (Kompas, 23/11/2020).
Di sisi lain, negara-negara berkembang dan tertinggal sedang menghadapi krisis kesehatan dan kompleksitas penanganan pandemi Covid-19 di wilayah mereka masing-masing. Mayoritas negara berkembang dan tertinggal juga sedang berkonsentrasi mengurusi pelemahan ekonomi domestiknya dan dampaknya, seperti defisit pendapatan negara, penambahan utang negara, lonjakan jumlah pengangguran, dan penurunan daya beli rakyatnya.
Situasi tersebut membuat negara-negara berkembang dan tertinggal mengalami kesulitan untuk memperoleh akses dan menyediakan vaksin bagi warganya.
Jalan terjal kerja sama global
Harapannya, negara-negara dunia yang tergabung dalam G-20 bisa menjamin akses vaksin Covid-19 bagi negara-negara berkembang dan tertinggal. Namun, pemenuhan janji tersebut tidaklah mudah bagi G-20.
Pada 22 November 2020, KTT G-20 yang diselenggarakan secara daring diketuai oleh Arab Saudi menghasilkan Deklarasi Riyadh yang berupaya menjamin akses vaksin serta perlengkapan dan distribusi vaksin kepada dunia.
Secara khusus, G-20 mendukung kerja bersama dalam bentuk COVAX facility, The Access to Covid-19 Tools Accelerator (ACT-A), dan perizinan sukarela untuk Hak Kekayaan Intelektual. Akan tetapi, G-20 belum menentukan jumlah dukungan dana yang disiapkan untuk hal di atas (Al Arabiya, 2020).
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menjelaskan bahwa dunia membutuhkan dana 28 miliar dollar AS, termasuk 4,5 miliar dollar AS dalam rangka penyediaan vaksin dan obat Covid-19 murah dan terjangkau pada waktu sebulan ke depannya. Sekjen PBB Antonio Guterres mengapresiasi G-20 yang memberikan dana 10 miliar dollar AS dalam rangka pengembangan vaksin dan obat Covid-19.
Namun, The Economist memproyeksikan bahwa negara-negara anggota G-20 akan mengalami pemulihan ekonomi yang lama. Dari dua puluh anggota G-20, hanya China yang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) positif dan belum mengalami resesi ekonomi.
Namun, pertumbuhan PDB negara-negara lainnya dan Uni Eropa yang merupakan anggota G-20 mengalami kontraksi dan diproyeksikan baru kembali tumbuh positif di periode waktu antara triwulan ketiga tahun 2021 dan tahun 2025 (The Economist, 24/11/2020).
Singkatnya, adanya kompetisi mengakses vaksin di antara negara-negara di dunia dan resesi ekonomi global yang berkepanjangan akan mengakibatkan pemenuhan janji kerja sama global seperti G-20 mengalami jalan terjal dan tidak pasti. Konsekuensinya, negara-negara berkembang dan tertinggal bisa terlewatkan dalam penanganan pandemi Covid-19 dan tidak mendapat akses vaksin segera.
(Beginda Pakpahan, analis politik dan ekonomi global dengan lulus program doktor dari University of Edinburgh, UK)