Gerakan prodemokrasi di Thailand terus menguat. Diprakarsai anak-anak muda, gerakan itu kini menjadi gerakan massa yang tak lagi terbendung. Warga mewujudkannya dalam beragam ekspresi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Tidak ada yang meragukan kecintaan dan kesetiaan Mitree Chitinunda kepada Raja Thailand beserta seluruh anggota keluarga kerajaan sedari dulu. Saking cintanya kepada raja, tahun lalu Mitree mencukur rambutnya hingga membentuk wajah Raja Maha Vajiralongkorn. Dulu, ia termasuk kelompok garis keras pendukung raja dan kerajaan. Itu dulu.
Seperti halnya politik Thailand, mode dan gaya rambut Mitree pun berubah. Sekarang, Mitree sudah mencukur rambutnya lagi, tetapi kali ini ia ”mengukir” rambutnya dengan salam tiga jari yang digunakan para pengunjuk rasa di bagian belakang kepala. Sementara di bagian kiri dibentuk simbol perdamaian dan di kanan berbentuk burung merpati.
Gaya rambut baru Mitree itu bentuk dukungannya kepada kelompok prodemokrasi yang turun ke jalan sejak Juli lalu untuk menuntut reformasi, mengekang kekuasaan raja, dan menuntut perdana menteri baru sekaligus konstitusi baru. ”Saya mendukung tuntutan-tuntutan itu,” kata Mitree (48), ahli radiologi, yang aktif ikut turun ke jalan.
Di mata Mitree, wajar saja jika rakyat turun ke jalan untuk ikut protes. Itu karena rakyat sudah tidak tahan lagi dengan kondisi di Thailand. ”Saya tidak akan berhenti berjuang, memperjuangkan demokrasi. Saya akan tetap protes dan mendukung unjuk rasa ini,” ujarnya.
Perubahan sikap seperti Mitree itu menunjukkan betapa dramatis perubahan di Thailand. Dulu, tabu bagi rakyat untuk menggugat raja dan kerajaan. Jangankan protes, menyinggung sedikit saja soal raja dan kerajaan, berat ancaman hukumannya. Penghormatan kepada raja itu wajib dan raja dilindungi oleh konstitusi. Namun, kini itu semua sudah berubah. Puluhan ribu orang telah bergabung dalam gelombang protes menuntut reformasi kerajaan.
Menepis kenyataan gelombang unjuk rasa yang kian meluas, pemerintah dan kelompok pendukung kerajaan meyakini, kelompok promonarki masih tetap menjadi mayoritas. Namun, sampai sekarang belum ada jajak pendapat yang menguatkan klaim itu. Yang terjadi malah sebaliknya, gelombang unjuk rasa yang meluas menunjukkan kuatnya tuntutan akan perubahan.
Ganti perdana menteri
Pada awalnya, gelombang unjuk rasa itu dimulai oleh anak-anak muda yang memprotes dan menuntut Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta militer, untuk mundur. Namun, kemudian isu dan tuntutannya meluas dan mendobrak tabu dengan menuntut adanya perubahan di kerajaan.
Para pengunjuk rasa mengatakan, mereka tidak hendak mengakhiri institusi kerajaan, tetapi hanya hendak membuat raja bertanggung jawab di bawah konstitusi. Mereka juga menghendaki agar segala upaya memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada raja dihentikan. Selain itu, ada tuntutan juga untuk mengurangi pengeluaran istana.
”Raja sudah menghabiskan banyak pajak rakyat dengan cara yang tidak benar. Itulah kenapa kita perlu reformasi di kerajaan. Ini tidak berarti mau membubarkan kerajaan karena kami semua masih mencintai raja,” kata Mitree.
Ditanya tentang gelombang unjuk rasa yang tidak berkesudahan itu, Raja Maha Vajiralongkorn pernah mengatakan, ia tetap mencintai rakyatnya. Sementara sampai sekarang, pihak istana belum berkomentar apa pun.
Mitree tak sendiri. Ia bersama banyak pendukung demokrasi yang sama-sama dibesarkan di negara di mana monarki disanjung-sanjung di mana-mana. Di rumah, di sekolah, di stasiun televisi, sampai di hampir semua jalanan, tampak foto-foto raja yang berukuran raksasa.
Akan tetapi, kini hati dan pikiran Mitree berubah. ”Saya mendapat banyak sekali informasi melalui internet, televisi, atau kanal Youtube soal perjuangan demokrasi ini. Saya mencari tahu apa yang terjadi dan apakah benar apa yang dikatakan para pengunjuk rasa. Ternyata mereka benar,” ujarnya.
Terkait informasi yang beredar—mayoritas di media sosial—ini, pemimpin kelompok promonarki Thai Pakdee, Warong Dechgitvigrom, menyesalkan banyaknya orang yang diperdaya oleh media sosial. Meski demikian, ia tetap percaya bahwa mayoritas rakyat Thailand sebenarnya masih mendukung kerajaan. ”Saya tidak khawatir dengan orang-orang yang sudah beralih dukungan karena saya yakin 80-90 persen informasi yang beredar di media sosial itu bohong,” ujarnya.
Karena kerap disorot media gara-gara gaya potongan rambutnya, kini Mitree sedikit waswas kalau bepergian. ”Saya mulai harus hati-hati ke mana pun pergi karena pasti ada orang-orang pendukung kuat monarki yang bebal dan tidak mau menerima kebenaran,” katanya. (REUTERS/LUK)