Sinergi antara pers dan kejaksaan dibutuhkan untuk meluruskan berita-berita bohong terkait penegakan hukum yang berseliweran di berbagai platform media.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan berharap lembaga pers memberikan informasi yang seimbang mengenai penegakan hukum di Indonesia. Sebab, pemberitaan negatif akan menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada institusi tersebut.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam media gatheringyang dilaksanakan secara virtual bertema ”Sinergitas Puspenkum dengan Insan Pers dalam Penyajian Berita untuk Meningkatkan Public Trust Kejaksaan Republik Indonesia”, Rabu (2/12/2020), mengatakan, sinergi pers dengan kejaksaan secara formal dilakukan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara kedua pihak pada 9 Februari 2019.
”Tujuannya adalah untuk mewujudkan penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers yang berimbang, akurat, tidak beritikad buruk, berkeadilan, dan menghormati supremasi hukum,” kata Burhanuddin.
Pers sangat dibutuhkan kejaksaan untuk memerangi berita yang tidak tepat, fitnah, ujaran kebencian, serta informasi tidak benar yang menyerang dan mendiskreditkan institusi kejaksaan.
Burhanuddin mengatakan, pers sangat dibutuhkan kejaksaan untuk memerangi berita yang tidak tepat, fitnah, ujaran kebencian, serta informasi tidak benar yang menyerang dan mendiskreditkan institusi Kejaksaan. Hal semacam itu dinilai dapat memperlemah penegakan hukum dan berujung pada penurunan tingkat kepercayaan publik kepada kejaksaan.
Untuk itu, Burhanuddin berharap pers membantu kejaksaan dalam penegakan hukum dengan membantu menyampaikan informasi yang benar dan akurat. Dengan demikian, hal itu akan meminimalkan pemberitaan negatif serta membantu meningkatkan kepercayaan publik sehingga berdampak pada terciptanya citra positif bagi kejaksaan.
Menurut dia, beberapa bulan terakhir terdapat pemberitaan yang cenderung bersifat negatif dan mendiskreditkan kejaksaan. Namun, terkadang muncul berita negatif yang tidak didukung data dan fakta, termasuk tidak ada konfirmasi kepada pihak kejaksaan. Hal itu sangat disesalkan karena tidak hanya menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga kejaksaan, tetapi juga dianggap dapat menurunkan kualitas penegakan hukum.
”Hendaknya pers dalam pemberitaan dapat menyampaikan informasi kepada masyarakat secara jernih dan dapat membedakan mana perbuatan oknum dan mana tindakan dari suatu lembaga,” ujar Burhanuddin.
Beberapa bulan terakhir terdapat pemberitaan yang cenderung bersifat negatif dan mendiskreditkan kejaksaan. Namun, terkadang muncul berita negatif yang tidak didukung data dan fakta, termasuk tidak ada konfirmasi kepada pihak kejaksaan.
Selain itu, lanjutnya, kejaksaan sebenarnya memiliki informasi berupa capaian kinerja yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Hal itu, antara lain, adalah inovasi pelayanan publik, prestasi pengungkapan perkara besar, dan kesederhanaan hidup seorang jaksa. Selain itu, menurut dia, kejaksaan sering bekerja dalam senyap, khususnya dalam pemberantasan korupsi.
Dalam kesempatan itu, Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, selain mengedukasi publik, pers juga melakukan kontrol terhadap lembaga publik. Di sisi lain, terdapat prinsip pagar api dalam jurnalisme, yakni memisahkan urusan iklan dengan urusan berita.
”Prinsip pagar api ini penting sekali biar kita tahu pada kasus apa kita bebas membuat konten untuk disebarkan kepada publik atau tidak. Itu tergantung dari penilaian redaksi, apakah ada news value, apakah ada kepentingan publiknya, apakah ada unsur faktualnya. Dan, kemandirian redaksi harus dihargai siapa pun,” kata Agus.
Selain mengedukasi publik, pers juga melakukan kontrol terhadap lembaga publik.
Jika kejaksaan menyelenggarakan konferensi pers dan tidak dimuat media, hendaknya tidak lantas kecewa dan marah. Sebab, itu adalah independensi redaksi untuk memuatnya atau tidak. Oleh karena itu, sebuah lembaga pemerintah mesti kreatif agar hal yang hendak disampaikan dapat dimuat media.
Sementara itu, lanjut Agus, sifat alamiah dari pers adalah mengangkat hal yang menarik atau melakukan kritik. Dalam hal ini, tantangan pers atau wartawan adalah menaati kode etik jurnalistik dengan menerapkan prinsip pemberitaan berimbang dan melakukan uji kebenaran informasi.
Terkait dengan penyebaran berita bohong di era media sosial, menurut Agus, semestinya penegakan hukum tidak hanya dikenakan bagi pelaku, tetapi juga platform yang menyebarkannya. Hal itu telah berjalan di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, yakni platform media sosial dapat diadili jika turut menyebarkan berita bohong.
”Tidak adil ketika sebuah lembaga media bisa dibawa ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Undang-Undang Pers, tetapi media sosial tidak. Sebenarnya kalau ada istilah siapa yang mengomodifikasi hoaks, itu ya mereka, platform-platform itu,” ujarnya.