Langkah Cepat Biden Utamakan Perubahan Iklim
Presiden terpilih AS, Joe Biden, berupaya mengembalikan kepercayaan dunia terhadap komitmen lingkungan global dan Kesepakatan Paris 2015. Ia memilih orang-orang yang berkompeten di kabinetnya.
Setelah terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, Joe Biden bekerja cepat menepati janjinya untuk mengatasi perubahan iklim. Menempatkan orang-orang yang aktif mendukung penanganan isu iklim dalam kabinetnya adalah langkah awalnya. Sementara dalam kancah internasional, mengembalikan kepercayaan dunia kepada AS untuk memimpin penanganan perubahan iklim menjadi agenda jangka panjangnya.
Setelah Biden menang dalam Pemilu AS 2020, banyak pihak menanti rencana-rencana kebijakannya yang kebanyakan berlawanan dengan rivalnya, Donald Trump. Salah satunya kebijakan penanganan perubahan iklim dan lingkungan.
Biden dalam kampanyenya sangat mendukung agenda-agenda penanganan perubahan iklim. Bahkan, ia merencanakan kebijakan besar, seperti menurunkan emisi karbon nol bersih pada 2050.
Terpilihnya Biden sebagai Presiden AS menjadi puncak penantian kaum environmentalis dunia. Pasca-kemenangan, Biden langsung bertindak cepat untuk menyusun ”Administrasi Iklim”. Rencananya, dalam seluruh jajaran pemerintahannya akan diterapkan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.
Artinya, perubahan iklim tidak hanya menjadi urusan Departemen Lingkungan, tetapi juga departemen lain, seperti transportasi dan pertahanan. Kebijakan perubahan iklim dapat diterapkan dalam seluruh lini pemerintahan apabila pemimpin departemen atau lembaga adalah sosok yang peduli terhadap permasalahan ini.
Karena itu, Biden juga berencana menempatkan orang terbaiknya yang mendukung agenda-agenda perubahan iklim. Sejumlah nama seperti Michele Flournoy dan Lael Brainard yang sudah aktif menyuarakan kebijakan perubahan iklim diperkirakan akan menduduki posisi penting dalam kabinet Biden.
Nama lain yang juga diperhitungkan dan memiliki kiprah dalam isu perubahan iklim adalah Janet L Yellen. Pada penunjukan awal kabinet Biden, Yellen terpilih menjadi Menteri Keuangan AS.
Selain pakar ekonomi, Yellen aktif menyuarakan dan mendukung aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim. Ketika menjadi penasihat ekonomi bagi Presiden Bill Clinton, Yellen turut menjadi pendukung awal terbitnya Protokol Kyoto. Ia menyuarakan risiko perubahan iklim terhadap sistem keuangan pada akhir 1990-an.
Selain itu, ia juga aktif mendukung gagasan pajak emisi karbon. Bahkan, dalam laporan yang ditulis bersama Mark Carney, mantan Kepala Bank Inggris, Yellen menekankan bahwa menuntut pajak karbon saja belum cukup.
Ia menetapkan langkah-langkah yang dapat diambil pemerintah, pebisinis, dan investor untuk mempercepat transisi ke masa depan rendah karbon. Ia mengajak bank untuk menghitung risiko mereka terhadap dampak perubahan iklim dan perusahaan untuk mengatur target mengurangi emisi dari operasionalnya.
Selain itu, Yellen juga bekerja bersama dengan anggota Partai Republik, Partai Demokrat, dan perusahaan dalam kelompok Dewan Kepemimpinan Iklim. Dewan ini menghasilkan proposal yang mengatur pajak emisi karbon untuk mendorong perusahaan beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Pemilihannya menunjukkan keseriusan Biden dalam isu perubahan iklim di pemerintahannya. Ini menanggapi situasi perubahan iklim yang kini menjadi ancaman baru terhadap sektor ekonomi, termasuk untuk mengatasi bencana pandemi Covid-19 yang juga merupakan dampak dari perubahan lingkungan.
Ancaman keamanan nasional
Vicki Arroyo, Direktur Eksekutif Pusat Iklim Georgetown University, menyebutkan, ini merupakan pertama kalinya Presiden AS memimpin dengan isu iklim. Biden tak tanggung-tanggung menyatakan bahwa perubahan iklim menjadi prioritas utama keamanan nasional.
Karena itu, Biden menempatkan John F Kerry yang akan mengurus isu perubahan iklim untuk pertama kalinya dalam Dewan Keamanan Nasional. Dewan Keamanan Nasional adalah forum utama Presiden yang digunakan untuk mempertimbangkan masalah keamanan dan kebijakan luar negeri. Kerry masuk di dalamnya sebagai utusan khusus presiden untuk isu perubahan iklim.
Dengan masuknya Kerry ke dalam forum itu, isu perubahan iklim ditempatkan kembali sebagai ancaman keamanan nasional AS di mana hal ini sempat ditiadakan saat pemerintahan Trump. Padahal, tiga dekade lalu, isu ini telah disepakati para pemimpin keamanan negara sebagai ancaman nasional. Bahkan, hal ini dituangkan dalam perencanaan pertahanan.
Biden mempertimbangkan kapabilitas untuk memilih Kerry. Berdasarkan pengalamannya, Kerry cukup aktif mendukung kebijakan lingkungan dan perubahan iklim.
Ia mewakili AS menandatangani Perjanjian Iklim Paris 2015. Pada 2019, ia membangun koalisi bernama World War Zero yang melibatkan para pemimpin dunia untuk mengampanyekan perubahan iklim dan emisi karbon nol bersih.
Kerry juga menjadi anggota Dewan Pendiri American Security Project. Sejak 2005, organisasi ini aktif mendeteksi dan menyerukan ancaman keamanan nasional yang salah satunya ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Dalam pemerintahan AS, Kerry juga pernah mengabdi sebagai Menteri Luar Negeri selama pemerintahan kedua Barack Obama. Ia juga pernah bertugas sebagai Senator AS selama 28 tahun. Kerry sebagai politisi Demokrat juga pernah menjadi lawan George W Bush dalam Pilpres 2004.
Mengembalikan kepercayaan
Perombakan administasi pemerintahan yang berorientasi pada isu perubahan iklim adalah langkah awal Biden dalam menangani perubahan iklim. Adapun agenda prioritas lainnya adalah mengembalikan kepemimpinan AS dalam kancah internasional untuk penanganan perubahan iklim.
Sebab, pemerintahan sebelumnya yang melepaskan diri dari agenda-agenda perubahan iklim dunia, seperti Kesepakatan Paris 2015, membuat AS kehilangan kredibilitas. Meskipun Trump juga memiliki kebijakan sendiri terkait isu lingkungan dan perubahan iklim, tetapi keluarnya AS dari kesepakatan itu dapat menyebabkan perlambatan upaya penanganan iklim yang selama ini sudah dijalankan.
AS merupakan negara kedua penghasil emisi karbon terbesar setelah China. Besar kemungkinannya, jika kebijakan Trump tentang iklim tidak berjalan, emisi karbon tidak mampu ditekan.
Situasi tersebut juga dapat melemahkan komitmen negara-negara lain dalam penanganan perubahan iklim. Arab Saudi dan Brasil berpotensi mengganti komitmennya.
Di sisi lain, di tengah melemahnya komitmen AS di bawah pemerintahan Trump, Uni Eropa dan China justru menunjukkan komitmen besarnya untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini disinyalir akan menggantikan AS dalam memimpin gerakan internasional dalam menangani isu lingkungan dan perubahan iklim.
Presiden China Xi Jinping pada pertengahan September 2020 mengumumkan bahwa China akan berupaya menekan emisi ke titik nol pada 2060. Kebijakan ini adalah keputusan sangat penting dan cukup berdampak ke situasi internasional.
China belum pernah menetapkan komitmen penanganan iklim sebesar dan seserius ini. Apalagi China bertanggung jawab atas 28 persen emisi gas rumah kaca dunia. Artinya, dalam 40 tahun ke depan, China akan berupaya menekannya hingga mencapai titik nol.
Keputusan China ini dilakukan beberapa waktu setelah Uni Eropa berkomitmen memberikan paket stimulus ekonomi hijau dan penguatan target iklim 2030. Keduanya juga membangun kerja sama untuk mengatasi krisis iklim dan lingkungan bersama. Jika komitmen menekan emisi karbon kedua wilayah ini berhasil, setidaknya sepertiga emisi dunia teratasi.
China sebagai negara kompetitor AS juga memanfaatkan momen itu untuk menggunakan perubahan iklim sebagai alat pengaruh baru bagi negara-negara lain. China menawarkan paket bantuan pengembangan energi dan perubahan iklim ke Amerika Selatan, Pasifik, dan Afrika Barat yang tengah berjuang mengatasi perubahan iklim. Di masa depan, aksi penanganan perubahan iklim menjadi alat persaingan untuk menunjukkan kekuatan negara.
Baca juga: Manusia dan Tujuh Milenium Disrupsi Iklim
Melihat situasi ini adalah tepat jika Biden berupaya mengembalikan kepercayaan dunia dengan berjanji akan membawa AS kembali pada Kesepakatan Paris 2015. Dalam kampanyenya, ia juga berjanji akan mengadakan pertemuan untuk membahas perubahan iklim yang mengundang lebih dari 100 negara dalam 100 hari kepemimpinannya.
Janji Biden untuk memulihkan lingkungan memang cukup menarik dan dinantikan. Akan tetapi, situasi pemerintahan dalam negeri perlu mendukung rencana-rencana itu. Sebab, berdasarkan pengalaman yang telah dialami AS, komitmen untuk mengatasi perubahan iklim terjegal sendiri oleh lembaga legislatifnya.
Seperti Protokol Kyoto yang diupayakan oleh pemerintahan Clinton pada 1990 telah ditolak Senat AS pada pemerintahan George W Bush. Atau aturan pengurangan emisi gas rumah kaca yang disusun Presiden Obama serta Kongres Demokrat tetapi ditentang oleh Republik dan gagal disahkan.
Kegagalan ini mungkin dapat terulang kembali bergantung pada kekuatan dukungan kebijakan Biden di Senat. Jika Kongres terbelah dan Partai Republik memegang kendali Senat AS, butuh usaha besar dari Biden untuk tetap melancarkan upaya penanganan perubahan iklim. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tantangan dan Peluang Energi Baru di Masa Pandemi