Pemerintah selalu menekankan pendekatan kesejahteraan untuk Papua dan Papua Barat. Namun, pendekatan itu selalu terusik oleh aksi kelompok kriminal bersenjata. Untuk ini, negara tidak akan diam.
Oleh
NINA SUSILO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menyejahterakan masyarakat Papua tak henti-hentinya dilakukan oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur, perekonomian, kesehatan, ataupun pendidikan terus digencarkan setiap tahun. Hanya saja, besarnya perhatian dan upaya dari pemerintah ini kerap terganjal oleh aksi berulang kelompok kriminal bersenjata yang terus-menerus meneror masyarakat. Untuk itu, negara tidak bisa diam.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Selasa (1/12/2020), pemerintahan Presiden Joko Widodo selalu menekankan pendekatan kesejahteraan untuk Papua dan Papua Barat. Hal ini telah dibuktikan dengan pesatnya pembangunan infrastruktur, perekonomian, kesehatan, ataupun pendidikan di kedua provinsi tersebut.
Komitmen Presiden menyejahterakan Papua dan Papua Barat pun diperkuat dengan membentuk tim khusus pada akhir September. Tim diberi nama Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat, dan terdiri atas dewan pengarah yang dipimpin oleh Presiden dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai ketua harian.
”Keppres bertujuan agar tercipta semangat, paradigma, dan cara-cara baru dalam percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat supaya kesejahteraan segera terwujud,” ujarnya.
Besarnya perhatian dan upaya pemerintah itu pun akan lebih optimal jika kondisi keamanan kondusif. Persoalannya, menurut Moeldoko, kelompok kriminal bersenjata (KKB) masih kerap berulah, meneror masyarakat, bahkan tak jarang menghambat keinginan pemerintah untuk segera menyejahterakan Papua. Ia mencontohkan, penyerangan kepada para pekerja yang sedang membangun jalan dan pembakaran sekolah oleh KKB.
Melihat hal itu, negara tidak bisa diam. ”Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan tidak bisa diam. Maka, masih diperlukan pasukan di sana. Sebab, di sana bukan hanya masyarakat Papua, melainkan juga ada masyarakat lain, dan tugas negara melindungi semuanya,” katanya.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menilai baik upaya-upaya yang telah ditempuh pemerintah untuk Papua dan Papua Barat. Hanya saja, menurut dia, isu ideologis juga perlu diperhatikan oleh pemerintah. Selama persoalan ini belum ada solusinya, keinginan untuk merdeka akan selalu muncul.
Salah satunya seperti disampaikan Kesatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Selasa. Dalam keterangan pers yang tersebar, ULMWP menyatakan Pemerintahan Sementara Papua Barat telah dibentuk dan akan ada sampai diselenggarakan referendum dan Papua Barat merdeka.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodawardhani mengatakan, hukum internasional telah mengatur definisi pemerintahan yang sah. Hukum internasional ataupun berbagai preseden putusan pengadilan internasional telah menekankan bahwa pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang memiliki kendali efektif terhadap suatu wilayah. Satu-satunya entitas yang memiliki kendali atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah Pemerintah Republik Indonesia.
Hal itu, lanjutnya, bisa dilihat dari adanya administrasi pemerintahan Indonesia di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dilakukan melalui proses yang demokratis, dengan penerapan hukum nasional, pencatatan kependudukan, kemampuan penegakan hukum, dan unsur lain yang hanya bisa diterapkan oleh entitas pemerintahan yang sah.
”Sebaliknya, klaim pemerintahan ULMWP tidak memenuhi kriteria pemerintahan yang sah menurut hukum internasional. ULMWP bahkan tidak memenuhi kriteria sebagai para pihak yang bersengketa dalam sebuah pertikaian bersenjata (belligerent) dalam kerangka hukum humaniter internasional,” kata Dhani.
Oleh karena itu, menurut Dhani, secara politik tindakan ULMWP tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tindakan ULMWP pun dapat ditindak sesuai hukum nasional yang berlaku.
Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, mengatakan, dari kacamata hukum internasional, dasar hukum pembentukan pemerintahan sementara yang diklaim oleh ULMWP tidak berdasar.
Karena tidak ada dasarnya, gerakan itu bisa disebut sebagai pemberontak atau gerakan makar, dan kepolisian dapat menindaknya.
”Ini hanya manuver-manuver saja di Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (1 Desember). Dari tahun ke tahun sama saja, mereka ingin menyuarakan bahwa jajak pendapat yang dilakukan di Papua pada tahun 1969 tidak sah. Selain itu, mereka juga ingin mendapatkan atensi dari dunia internasional bahwa NKRI dianggap tidak bisa mengurus Papua,” kata Hikmahanto.