Polri Dianggap Lakukan Pelanggaran HAM di 15 Provinsi
›
Polri Dianggap Lakukan...
Iklan
Polri Dianggap Lakukan Pelanggaran HAM di 15 Provinsi
Amnesty International Indonesia memublikasi 51 video yang berisi 43 insiden kekerasan yang dilakukan Polri selama aksi-aksi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Tindakan polisi dianggap melanggar HAM.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Lembaga Amnesty International Indonesia mempublikasi 51 video yang berisi 43 insiden kekerasan yang dilakukan Polri selama aksi-aksi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, 6 Oktober–10 November 2020. Tindakan Polri yang menggunakan kekerasan berlebihan itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Insiden ini mengingatkan pada brutalitas aparat tahun 1998-1999 di masa-masa akhir rezim otoriter,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid dalam diskusi daring yang dilaksanakan, Rabu (2/12/2020).
Usman mengatakan, tindakan Polri yang dinilainya melanggar HAM di berbagai provinsi itu mengkhawatirkan karena merespons unjuk rasa dengan kekerasan yang luar biasa.
AII mencatat, setidaknya ada 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut. AII juga mencatat sebanyak 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi. Sebanyak 301 dari mereka ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, termasuk 18 jurnalis, yang kini telah dibebaskan.
Selain itu, terjadi intimidasi. Sepanjang 7-20 Oktober 2020, tercatat 18 orang di tujuh provinsi dijadikan tersangka karena dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Belum ada satu pun dari mereka yang divonis.
Dari 51 video yang diverifikasi AII, setengahnya berisi bukti kekerasan yang dilakukan polisi dengan tongkat polisi, potongan bambu dan kayu, dan bentuk pemukulan lainnya. Di salah satu video dari Bekasi, Jawa Barat, tertanggal 7 Oktober, satu orang—yang diidentifikasi sebagai mahasiswa Universitas Pelita Bangsa—diseret dari kerumunan dan secara terus-menerus dipukuli oleh sejumlah anggota polisi.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pelita Bangsa yang juga menjadi koordinator aksi saat itu, Suhendar, menyaksikan kekerasan setidaknya pada enam kawannya. Mereka mengalami luka-luka.
”Di video yang viral, kita bisa lihat dengan jelas bagaimana kejadiannya. Waktu itu, kami harus bawa mereka ke rumah sakit karena sebagian kena luka yang cukup serius butuh perawatan intensif,” katanya.
Dalam dua video berikut, anggota polisi di Pontianak, Kalimantan Barat, terlihat berusaha menangkap pengunjuk rasa di dalam pusat perbelanjaan. Selanjutnya, anggota polisi di Yogyakarta memukul pengunjuk rasa dengan tongkat di tengah jalan. Seorang fotografer media nasional di Surabaya, Jawa Timur, yang mencoba merekam polisi yang menyerang pengunjuk rasa juga coba direbut polisi.
Lasma Natalia dari LBH Bandung mengatakan, pihaknya menerima 288 pengaduan dari Sukabumi, Bandung, Purwakarta, Bogor, dan Subang. Tidak saja para demonstran yang mengalami kekerasan, tetapi juga orang-orang yang tidak terkait dan berada di sekitar lokasi aksi.
Bentuk kekerasan yang dialami masyarakat, di antaranya, dipukul dan ditendang serta mengalami penggeledahan dan perampasan barang pribadi. ”Massa aksi dipukul dengan balok kayu. Luka-luka. Mobil medis dirusak juga selama kekerasan terjadi,” kata Lasma.
Para pengacara di sejumlah kota tidak bisa memberikan bantuan hukum karena tidak mendapat akses dari Polri. Lasma mengatakan, di Bandung, pengacara hanya mendapatkan daftar nama tersangka tanpa bisa bertemu. Hal senada disampaikan Ramli Himawan dari LBH Surabaya. Saat terjadi penangkapan demonstran, pengacara sampai tiga hari tidak bisa mengontak para demonstran yang ditahan.
”Polri juga kami temukan mengambil orang sembarangan. Ada yang lagi makan siang, disuruh buka baju, jongkok, dan mengalami memar-memar,” kata Ramli.
Anggota Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty Stephanie menilai, kekerasan terhadap masyarakat terjadi di luar asas proporsionalitas dan subsidiaritas.
Irine Wardhanie dari Komite Keselamatan Jurnalis mengatakan, ada sekitar 56 jurnalis yang jadi korban kekerasan. Padahal, jurnalis seharusnya dilindungi. ”Ini jumlah meningkat dibandingkan demo sebelumnya,” kata Tiora.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman berjanji akan menanyakan hal tersebut saat rapat dengan Polri. Ia mengatakan, dalam uji kelayakan, Kapolri Jenderal Idham Azis pernah mengatakan, penanganan demonstran akan mengedepankan pendekatan persuasif. Menjelang pengesahan UU Cipta Kerja, Idham juga mengatakan, kekerasan dan penangkapan adalah alternatif terakhir.
”Sejak zaman Orba (Orde Baru), tidak ada perbaikan kekerasan terhadap demonstran. Akan kami sampaikan agar ada perbaikan protap,” kata Habiburokhman.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono berulang kali mengatakan, polisi telah bertindak profesional dalam menangani setiap unjuk rasa, tak terkecuali saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.
Adapun, terkait dugaan kekerasan terhadap wartawan saat meliput demo UU Cipta Kerja, ia mengatakan, hal itu akan menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi aparat dalam menghadapi demo anarkistis.