Melihat fakta, ditengarai ada celah permainan yang menjurus pada terjadinya praktik korupsi dalam pengurusan izin lobster, penetapan kuota ekspor, atau praktik persaingan tidak sehat dan monopoli usaha.
Oleh
INDRADJAT SOEHARDOMO
·5 menit baca
Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (25/11/2020) dini hari, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta menjadi topik pembicaraan hangat di masyarakat.
Menteri, istri, dan sejumlah pihak dari jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan serta swasta dijemput Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setibanya dari kunjungan kerja ke Hawaii, Amerika Serikat. Selanjutnya, rombongan itu langsung dibawa ke Gedung Merah Putih KPK. Menurut penjelasan lembaga antirasuah tersebut, penangkapan Edhy terkait dengan dugaan korupsi ekspor benih lobster.
Dibukanya keran ekspor benih lobster oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp) di wilayah Indonesia banyak menuai kontroversi dan menimbulkan polemik. Sebagian masyarakat mendukung beleid tersebut, sebagian lagi menolaknya.
Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan pendahulunya, Susi Pudjiastuti, yang menerbitkan aturan mengenai larangan ekspor benih lobster termasuk orang yang menentang keras adanya kebijakan ekspor komoditas ini.
Menurut Susi, kegiatan ekspor benih lobster dapat berdampak buruk terhadap kehidupan nelayan ke depannya.
Menurut Susi, kegiatan ekspor benih lobster dapat berdampak buruk terhadap kehidupan nelayan ke depannya. Sumber penghasilan yang berasal dari budidaya lobster akan hilang atau punah karena tidak ada lagi lobster yang bisa didapat karena benihnya sudah dikirim ke luar negeri.
Diketahui, harga jual lobster per kilogram di pasaran ekspor sangat menggiurkan dan hasil ekspor jenis komoditas tersebut bisa menghasilkan devisa yang signifikan bagi negara. Namun, Menteri Edhy mempunyai kacamata sendiri.
Ia berpandangan bahwa adanya larangan ekspor benih ini dapat mengganggu roda kehidupan ekonomi nelayan. Dengan ekspor benih (baby lobster) ke mancanegara ini, nelayan bisa tersenyum karena bisa memperoleh pendapatan yang layak untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka.
Rawan ”patgulipat”
Kebijakan Edhy Prabowo yang melegalkan ekspor benih lobster merupakan revisi dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2016 yang dibuat di era Susi, yang intinya melarang ekspor benih lobster dari NKRI.
Ekspor perdana benih lobster dilakukan Juni 2020, setelah terbitnya Permen KP No 12 Tahun 2020 tanggal 5 Mei 2020 dan volumenya belum seberapa, hanya 32 kilogram dengan nilai 112.900 dollar AS. Sejak dibukanya keran ekspor ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terus terjadi lonjakan ekspor benih lobster.
Pada Agustus 2020, ekspor benih lobster mencapai 6,43 juta dollar AS atau setara Rp 94,5 miliar (kurs Rp 14.700 per dollar AS). Dibandingkan Juli 2020, nilai ekspor Agustus 2020 ini naik 75,2 persen dan dari kuantitas meningkat 135,66 persen. Kenaikan ekspor ini disebabkan oleh tingginya permintaan.
Sampai saat ini, tujuan utama ekspor benih lobster adalah Vietnam. Ironisnya, benih lobster yang berasal dari Indonesia ini, setelah dibesarkan menjadi lobster dewasa, diekspor oleh Vietnam dengan harga jual yang jauh lebih tinggi.
Sampai saat ini, tujuan utama ekspor benih lobster adalah Vietnam.
Misalnya, dari impor benih 6,2 juta dollar AS dalam satu tahun, Vietnam berhasil mengekspor lobster dewasa dengan nilai 13,59 juta dollar AS pada tahun yang sama. Inilah yang menjadi alasan Susi saat itu mengeluarkan aturan yang melarang ekspor benih lobster ini agar Indonesia bisa menikmati hasil ekspor lobster dewasa yang nilainya jauh lebih besar daripada ekspor benih lobster.
Untuk meningkatkan ekspor lobster dewasa dan menjaga keberlanjutan ekosistem dan ruang lingkup ekologi lobster, pemerintah sejak 2015 melarang ekspor benih lobster. Susi Pudjiastuti pada 2015 melalui Permen No 1 Tahun 2015, yang diubah dengan Permen No 56 Tahun 2016, mengatur ekspor lobster hanya diperbolehkan untuk yang berukuran karapas lebih dari 8 sentimeter, atau berat di atas 200 gram per ekor. Lobster yang sedang bertelur juga dilarang diekspor agar bisa bereproduksi dengan baik terlebih dahulu.
Kebijakan ini terasa dampaknya pada ekspor lobster dewasa yang meningkat. Menurut Trademap, situs statistik yang terafiliasi dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ekspor lobster Indonesia pada 2016 tercatat 14,84 juta dollar AS, meningkat dibandingkan 2015 yang 7,09 juta dollar AS. Volume ekspor dua tahun berikutnya juga melonjak, dari 17,31 juta dollar AS di 2017 menjadi 28,45 juta dollar AS di 2018.
Dengan perbedaan hasil ekspor antara lobster dewasa dan benih lobster yang cukup signifikan, terdapat opportunity cost yang hilang. Menyikapi polemik yang timbul, hendaknya semua pemangku kepentingan, seperti pemerintah, asosiasi, pelaku usaha/eksportir, dan kelompok nelayan, mau duduk bersama untuk melakukan kajian dan analisis yang komprehensif dan mendalam dari perspektif sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, pada akhirnya dapat diambil kebijakan oleh pemerintah yang memberikan hasil dan manfaat yang sebesar-besarnya, tanpa ada kepentingan bangsa dan negara yang dikorbankan untuk keuntungan pihak atau negara lain.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat 26 perusahaan eksportir dan pengiriman benih lobster yang dilakukan melalui udara oleh satu perusahaan jasa kargo, PT Aero Citra Kargo, yang konon mendapat mandat langsung dari Asosiasi Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia (Pelobi), yang merupakan mitra Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam ekspor benih lobster.
Melihat fakta yang ada, ditengarai ada celah permainan yang menjurus pada terjadinya praktik korupsi dalam pengurusan izin ekspor lobster, penetapan kuota ekspor, atau praktik persaingan tidak sehat, dan monopoli usaha. Kesemua ini akhirnya bermuara pada pemberian gratifikasi atau praktik suap terhadap lingkungan birokrasi. Inilah yang sekarang dialami Edhy Prabowo seperti yang disangkakan KPK.