Kecukupan pasokan dan kedisiplinan minum obat antiretroviral penting bagi orang dengan HIV-AIDS. Di masa pandemi, hal itu bisa menurunkan risiko terkena Covid-19.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Hingga akhir tahun lalu, jumlah kematian akibat virus penyebab defisiensi kekebalan tubuh pada manusia atau HIV diperkirakan 33 juta di seluruh dunia. Estimasi para ahli, ada 1,7 juta kasus baru per tahun.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari sekitar 38 juta orang yang saat ini hidup dengan HIV-AIDS (ODHA), setidaknya 25,4 juta telah mendapat terapi antiretroviral (ARV) untuk mencegah penyakit oportunis dan menekan jumlah virus sehingga mengurangi penularan.
Sampai kini belum ada obat untuk menyembuhkan AIDS, penyakit yang disebabkan oleh HIV. Yang ada obat ARV untuk menekan jumlah virus. Semakin sedikit jumlah virus dalam tubuh, semakin sehat pengidap HIV.
Ada setidaknya lima golongan ARV, yakni nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor, entry inhibitor, dan integrase inhibitor. Obat tersebut didesain menghambat sejumlah tahap dalam siklus hidup HIV.
Sebagai contoh, NRTI menghambat perubahan kode genetik HIV dari RNA menjadi DNA yang dibutuhkan untuk tahap berikutnya. NNRTI menghambat tahap yang sama, tetapi dengan cara lain. Sementara protease inhibitor, entry inhibitor, dan integrase inhibitor menghambat tahap berbeda dari perkembangan virus.
Terapi ARV diberikan secara kombinasi 2-3 obat dari berbagai golongan untuk menghambat resistensi obat, mengingat HIV terus bermutasi. Kombinasi obat didesain agar lebih kuat dari virus hasil mutasi.
Resistensi obat terjadi jika ODHA putus sambung minum obat. Seperti gelindingan bola salju, virus resisten obat bisa menular sehingga jumlah kasus resistensi obat makin besar. Setidaknya ada 26 persen pengidap baru yang terinfeksi HIV resisten obat lini pertama, seperti efavirenz.
Untuk menghambat virus resisten perlu obat lini terdepan. Tentu saja kombinasi obat lebih baru dengan harga lebih mahal. Hal ini pada gilirannya akan membebani keuangan individu, keluarga, dan negara.
Semua obat ARV, termasuk golongan baru, berisiko menjadi tidak aktif akibat munculnya virus yang resisten terhadap obat. Jika tidak dicegah, demikian dikatakan WHO, virus resisten obat dapat membahayakan kemanjuran obat ARV sehingga meningkatkan jumlah infeksi, kesakitan, dan kematian terkait HIV.
Tahun 2019, demikian disebutkan dalam Aidsmap.com, dokter di Perancis mendeteksi resistensi terhadap empat golongan ARV pada seorang lelaki gay muda yang baru didiagnosis, yakni terhadap semua NRTI, NNRTI, dan protease inhibitor. Juga resistensi tinggi terhadap integrase inhibitor (raltegravir dan elvitegravir). Pola serupa terjadi pada seorang pria berusia 54 tahun.
Keduanya kemudian diobati dengan kombinasi obat lini 3, yakni dosis ganda dolutegravir dengan obat suntik enfuvurtide yang menghalangi tahap terakhir masuknya virus; penghambat perlekatan HIV fostemsavir dan ibalizumab. Pria yang lebih muda juga mendapat maraviroc.
Protokol kesehatan
Di masa pandemi Covid-19, ODHA dengan fisik sehat dengan jumlah virus rendah dan disiplin minum obat ARV berisiko rendah terkena Covid-19 asalkan menerapkan protokol kesehatan secara baik. Risiko tinggi infeksi virus korona baru (SARS-CoV-2) mengintai orang dengan HIV yang sudah lanjut, jumlah virus tinggi dan CD4 rendah, ada penyakit penyerta, serta mereka yang tidak minum obat ARV.
ODHA dengan fisik sehat dengan jumlah virus rendah dan disiplin minum obat ARV berisiko rendah terkena Covid-19 asalkan menerapkan protokol kesehatan secara baik.
Data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menunjukkan, ada 1,3 juta perempuan hamil serta 2,8 juta anak dan remaja hidup dengan HIV di seluruh dunia. Sekitar 15 persen perempuan hamil serta hampir 50 persen anak dan remaja tidak mendapat ARV. Mereka berisiko tinggi mengalami keparahan jika terkena Covid-19.
Kajian Hamid Sharifi dari Universitas Kedokteran Kerman, Iran, dan kolega yang dimuat secara daring di Springer, 30 Juli 2020, menyatakan, faktor risiko ODHA terinfeksi SARS-CoV-2 sama dengan mereka yang tidak terinfeksi HIV. Keberadaan penyakit penyerta dan usia lanjut menjadi faktor penting terkait keparahan Covid-19 dan kematian akibat koinfeksi HIV-Covid-19.
Ada laporan penelitian dari China bahwa ODHA yang terkena Covid-19 bisa sembuh. Sejumlah penelitian menyebutkan, obat ARV lopinavir/ritonavir bisa menurunkan risiko terinfeksi pada tenaga medis yang merawat penderita SARS dan MERS. Karena itu, ARV juga diteliti untuk mengobati Covid-19.
Hal itu menimbulkan kekhawatiran berkurangnya pasokan ARV bagi ODHA. WHO menekankan, jika ARV akan digunakan untuk pengobatan Covid-19, setiap negara harus memastikan ada stok cukup dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan ODHA. Stok ARV sangat penting untuk menghindari putus pengobatan dan mencegah munculnya resistensi obat HIV.
Menurut Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS), sebuah pemodelan WHO dan UNAIDS menunjukkan, jika tidak ada upaya untuk mengatasi gangguan dalam layanan kesehatan selama pandemi Covid-19, maka tersendatnya terapi ARV selama enam bulan dapat menyebabkan lebih dari 500.000 tambahan kematian terkait AIDS di sub-Sahara Afrika pada 2020-2021. Untuk itu, Dana Global untuk Mengatasi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (GFATM) menyediakan dana hingga 1 miliar dollar AS untuk membantu negara-negara mengatasi Covid-19 dan memperluas penyediaan obat.
Bagaimana situasi di Indonesia? Saat ini, pemerintah menyediakan obat ARV lini 1 dan 2 secara gratis melalui puskesmas atau rumah sakit. Stok obat yang sempat terganggu di awal pandemi kini berangsur normal. Namun, untuk mendapatkan obat ARV lini 3, ODHA harus membeli sendiri.
Menurut pakar HIV-AIDS yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Zubairi Djoerban, harga obat kombinasi lini 3 sekitar Rp 25 juta per bulan. Karena itu, kedisiplinan minum obat menjadi penting agar tidak mengalami resistensi ARV.