Sastra Bisa Dipakai untuk Memahami Realitas Pandemi
›
Sastra Bisa Dipakai untuk...
Iklan
Sastra Bisa Dipakai untuk Memahami Realitas Pandemi
Di tengah kondisi darurat pandemi Covid-19 beserta dampak sosial yang muncul, festival sastra bisa menjadi kegiatan alternatif untuk memahami realitas yang terjadi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melalui sastra, masyarakat dapat mempunyai cara pandang alternatif memahami realitas pandemi Covid-19. Masyarakat selama ini hanya disuguhkan kasus yang biasa tersampaikan melalui berita media massa.
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Avianti Armand di sela-sela konferensi pers Road to Jakarta International Literary Festival (JILF)2021, Selasa (1/12/2020), di Jakarta, menyebutkan tiga buku sastra yang mengandung tema pandemi, yaitu A Journal of The Plague Year (Daniel Defoe), The Betrothed (Alessandro Manzoni), dan The Plague (Albert Camus). Di antara tiga buku sastra itu, dia mencontohkan The Plague yang menyiratkan pesan bahwa kematian tidak terhindarkan. Pandemi hanya eskalasi yang menyadarkan warga akan kerapuhan sebagai manusia.
Pandemi juga mengajarkan kepada warga untuk hidup di saat ini dan berada di saat ini. Siapa pun yang sudah membaca The Plague akan menyadari bahwa setiap individu adalah bagian dari komunitas, bukan sebagai individu yang terpisah. Untuk selamat dari pandemi, individu tidak bisa berpikir egois tentang diri sendiri, tetapi harus dengan serius memikirkan bagaimana tindakan yang bisa memengaruhi orang lain.
Pada masa sulit pandemi Covid-19 seperti sekarang, saat sebagian di antara kita mulai kehilangan pekerjaan, teman-teman, dan orang-orang yang dicintai, sastra mungkin sebuah pintu lain untuk bisa memahami realitas sekarang.
”Pada masa sulit pandemi Covid-19 seperti sekarang, saat sebagian di antara kita mulai kehilangan pekerjaan, teman-teman, dan orang-orang yang dicintai, sastra mungkin sebuah pintu lain untuk bisa memahami realitas sekarang,” ujarnya yang menjabat sebagai Direktur JILF.
Menurut Avianti, festival sastra bisa menjadi oase di tengah pandemi. Selain membuka cara pandang berbeda, festival sastra tetap bisa dipakai sebagai wadah perkembangan karya-karya ataupun ekosistem sastra.
”Fiksi sering kali menarik kita ke dalam bangun cerita, sementara berita-berita pandemi lebih sering meletakkan kita di luar kerangka kisah sesungguhnya,” katanya.
Selain JILF, Indonesia telah memiliki sejumlah festival sastra lainnya, seperti Ubud Writers and Readers Festival, Borobudur Writers and Cultural Festival, dan Makassar International Writers Festival. Ketiganya tetap berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Hal sama juga terjadi pada JILF.
JILF direncanakan berlangsung pada 2021. Rangkaian kegiatannya dimulai dengan Road to JILF 2021 pada November-Desember 2020 dan mengusung tema ”Heroes: (Re)making History”.
Kurator JILF Isyana Artharini menyampaikan, Road to JILF 2021 dengan tema ”Heroes: (Re)making History” akan diisi kegiatan perbincangan sastra melalui podcast sastra dan diskusi panel. Ada empat tema utama yang akan dibahas, yaitu ”Sejarah dari Ingatan”, ”Kekuatan dan Batas Representasi”, ”Kisah-Kisah Fantastis”, dan ”Kisah-Kisah Masa Depan”. Tema-tema tersebut akan diperbincangkan bersama 37 orang dengan latar beragam sebagai narasumber dan moderator.
”Selama pandemi Covid-19, terdapat beragam cerita dari individu-individu. Di antara mereka sempat mendapat julukan ’pahlawan’. Melalui kegiatan di JILF, pengunjung dan narasumber bisa terlibat langsung membahas definisi pahlawan hingga aksi heroik,” kata Isyana.
Penulis dan penerjemah karya sastra, Tiffany Tsao, menyampaikan, terlepas dari adanya pandemi, karya-karya sastra dari luar negeri berkembang pesat dan masuk ke Indonesia. Realitas ini akan menarik jika turut dibahas.