Tunanetra Terimpit Kesulitan Ekonomi Selama Pandemi
›
Tunanetra Terimpit Kesulitan...
Iklan
Tunanetra Terimpit Kesulitan Ekonomi Selama Pandemi
Sejumlah penyandang tunanetra di Jakarta mengeluhkan minimnya bantuan di tengah kesulitan ekonomi. Saat penghasilan dan lapangan pekerjaan makin minim, mereka berharap bantuan lebih.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para penyandang tunanetra mengalami kesulitan ekonomi karena pekerjaan yang terhenti selama pandemi Covid-19. Di tengah keterbatasan pemasukan dan bantuan, mereka berusaha bertahan dengan apa yang mereka miliki.
Selama sembilan bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, sejumlah penyandang tunanetra di Jakarta sangat sulit mendapat pemasukan dari pekerjaan sehari-hari. Beberapa pekerjaan, seperti jasa pijat, berdagang, hingga mengamen, kian sepi sehingga sulit untuk melunasi kebutuhan harian.
Pasangan tunanetra Rochim (48) dan Sadiah (44) hanya mengandalkan pemasukan dari pijat dan menjual kerupuk meski jumlahnya sangat sedikit. Hasil dalam sepekan berkisar Rp 100.000 hingga Rp 200.000, tetapi kadang juga tidak ada sama sekali.
”Sepekan kemarin, saya memijat satu orang dan menjual beberapa kerupuk saja. Ya, segitu sudah lumayan banget untuk melunasi bermacam kebutuhan, terutama bayar sewa kontrakan dan listrik,” ujar warga RT 002 RW 001 Joglo, Kembangan, Jakarta Barat, saat ditemui di rumahnya, Rabu (2/12/2020).
Tanggungan Rochim dan Sadiah adalah biaya sewa rumah kontrakan, listrik, serta dua anak yang masih bersekolah. Setiap bulan, beban biaya yang dia penuhi sedikitnya Rp 1,3 juta hingga lebih. Sadiah mengakui, dia kerap memohon agar pembayaran berbagai biaya itu bisa dicicil.
Kondisi serupa juga dialami Surip (53), tunanetra yang tinggal di Meruya Selatan, Kembangan. Sepekan terakhir, lelaki ini mengandalkan penghidupan dari memijat. Selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta, hampir tidak ada pemasukan sehingga dia mengamen ke jalanan.
Kondisi keuangannya sedikit terbantu karena anak yang bekerja di perusahaan jasa logistik. Meski begitu, kondisi itu sangat pas-pasan. Hasil dari mengamen pun tidak terlalu banyak, seperti pada hari ini yang hanya Rp 26.500.
”Saya nekat mengamen di sekitar jalan. Biasanya saya memilih tempat mengamen yang aman seperti di pasar malam, tetapi selama PSBB, tempat kerumunan itu sudah jarang ada lagi,” ujarnya.
Di tengah kesulitan, mereka mengeluhkan minimnya bantuan tunai bagi pekerja kalangan tunanetra. Surip, misalnya, mengatakan tidak pernah terdaftar program bantuan Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ). Begitu pula absennya bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) meski Surip sebenarnya memiliki KTP DKI Jakarta.
Selain Surip, ada empat keluarga lain di sekitar rumah kontrakannya yang tidak mendapat program bantuan tunai apa pun. Mereka sudah mendaftar sejak dua tahun lalu, tetapi belum kunjung mendapat kabar. Padahal, bantuan tersebut sangat mereka harapkan dalam situasi pandemi seperti ini.
Sementara Rochim dan Sadiah masih mengandalkan program bantuan dari KPDJ. Uang tunai yang didapat Rp 900.000 untuk tiga bulan. Meski cukup bersyukur dengan bantuan itu, mereka berharap bantuan untuk keluarga rentan miskin juga turun untuk penyandang tunanetra.
Kekesalan mereka terutama karena kerap muncul informasi bahwa ada kalangan tunanetra yang mendapat kelebihan bantuan. ”Beberapa teman dari komunitas ada yang kelebihan bantuan hingga dua, bahkan empat, sementara kami belum dapat. Saya harap ada perbaikan pendataan untuk kesalahn itu,” ujar Surip.
Keluhan penyandang disabilitas itu seiring dengan survei Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang distribusi bantuan sosial untuk penyandang disabilitas di DKI Jakarta, 14-20 Oktober. Sebanyak 89 dari total 120 responden mengaku mata pencarian mereka terdampak akibat pandemi Covid-19. Sebanyak 45 responden di antaranya adalah tulang punggung keluarga, tetapi berpenghasilan di bawah Rp 2 juta.
”Sebanyak 38 responden mengaku tidak didata saat pandemi. Padahal, pekerjaan responden tersebut adalah pemijat (19 responden) dengan pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan,” kata peneliti ICW, Dewi Anggraeni.
Hal serupa juga tergambar dalam ”Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 bagi Penyandang Disabilitas Tahun 2020” terhadap 1.683 responden di 32 provinsi di Indonesia. Survei yang dilakukan secara daring pada 10-24 April 2020 ini menunjukkan, kegiatan bermobilitas merupakan kesulitan terbesar yang dirasakan oleh 30 persen responden. Selanjutnya adalah kesulitan mendapatkan pendamping (20,0 persen), mengakses layanan terapi (11,9 persen), dan kesulitan bekerja (8,2 persen) (Kompas.id, 28/6/2020).
Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Ika Yuli Rahayu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sejak April atau tahap ke-11 telah mendistribusikan bantuan untuk 6.363 keluarga yang di dalamnya ada anggota penyandang disabilitas. Selain itu, dari KPDJ, pihaknya sudah mencairkan tiap bulan Rp 300.000 kepada 9.570 keluarga.
”Persyaratan lainnya jika sudah mendapatkan banpres, tidak lagi mendapat bantuan provinsi. Namun, jika ada data yang belum menerima bantuan, kami berikan juga melalui komunitas dan lembaga yang fokus pada penyandang disabilitas,” katanya.
Meski begitu, Dewi menyatakan masih banyak bantuan sosial yang dobel dan salah sasaran. Dia menekankan agar penyandang disabilitas lebih diperhatikan. ”Khususnya di tengah pandemi, penyandang disabilitas seharusnya lebih diperhatikan,” ucapnya.