Alih-alih melandai, kasus positif Covid-19 dalam sebulan terakhir acap mengejutkan, dengan pemecahan rekor positif yang menembus angka di atas 6.000 kasus per hari.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Memasuki bulan kesepuluh sejak kasus positif Covid-19 pertama kali diumumkan, Indonesia telah mencurahkan ikhtiar penanggulangan yang luar biasa.
Tak sedikit dana yang dicurahkan untuk upaya ini. Juga tak kita lupakan ialah korban yang jatuh akibat wabah ini, yang pada awal Desember 2020 disebutkan 180 dokter meninggal. Kita hormat dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya untuk ikhtiar dan pengorbanan tersebut.
Namun, dengan masygul kita bertanya, mengapa semua hal sudah kita lakukan, wabah belum bisa kita taklukkan. Alih-alih melandai, kasus positif Covid-19 dalam sebulan terakhir acap mengejutkan, dengan pemecahan rekor positif yang menembus angka di atas 6.000 kasus per hari, akhir November lalu.
Padahal, setiap warga mendamba, kiranya kurva bisa melandai, lalu wabah berlalu dalam tempo tak lama. Harapan sejak Mei lalu itu tampak pupus, melihat kenyataan yang ada.
Kini, sejauh bisa menyimpulkan, solusi pamungkas ditumpahkan pada ketersediaan vaksin, yang satu tipenya sedang menjalani uji klinis tahap ketiga. Vaksin yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai game changer atau pengubah pertandingan, ketersediaannya masih harus melalui proses yang tak kalah rumit dari penelitian dan pengembangannya.
Strategi kini tinggal penegakan disiplin 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan menjaga jarak), ditambah dengan 3T (tracing, testing, treatment, atau penelusuran, pengujian, dan pengobatan). Melihat sifatnya, strategi ini sepenuhnya bersifat bertahan, atau mempertahankan diri secara total terhadap virus.
Melihat upaya sosialisasinya, semestinya kesadaran masyarakat mengenai 3M dan 3T jauh lebih baik saat ini dibandingkan dengan pada masa awal pandemi. Namun, mengapa kurva positif tak kunjung melandai, tetapi malah justru melonjak?
Tanpa bermaksud menyalahkan, baik juga kita mawas diri, berintrospeksi, sudah tepatkah strategi yang diterapkan untuk menghadapi pandemi? Lebih ke hulu, pertanyaannya menjadi, sudah benarkah cara pandang kita terhadap wabah ini? Ketika jurus andalan sudah dikerahkan dan musuh tak kunjung kita lemahkan, atau kita kalahkan, baik juga kalau kita kemukakan pertanyaan di atas tanpa bermaksud mengada-ada.
Dalam edisi 26 September-2 Oktober 2020, majalah The Economist menulis judul di sampulnya, ”Why are so many governments getting it wrong?” (Mengapa ada banyak pemerintah yang keliru?) Tentu judul itu terkait penanganan wabah korona jenis baru.
Kasusnya berbeda-beda untuk setiap negara, dan menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk menjajaki kemungkinan strategi baru. Misalnya, selain 3M dan 3T, kesehatan dan daya imunitas warga ditingkatkan. Ada anggaran untuk subsidi vitamin dan jamu, misalnya, sehingga secara fisik dan mental masyarakat lebih kokoh. Juga meningkatkan sinergi birokrasi untuk lebih mengoptimalkan hasilnya.
Kita berpandangan, setiap kali menengok dan mengkaji ulang strategi lebih memberi ruang lebih dinamis untuk penanggulangan wabah daripada bertahan dengan strategi statis yang tak kunjung membawa hasil.