Akses Listrik di Kawasan Timur Minim
Pasokan listrik dan infrastruktur lainnya menjadi sebuah kesatuan tak terpisahkan jika Indonesia membangun perekonomian di timur Indonesia.
Mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan terdepan, terpencil, dan terluar (3T) di wilayah Indonesia timur bukan pekerjaan mudah. Pembenahan infrastruktur, terutama jaringan listrik, menjadi kunci utama.
Berdasarkan data dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), rasio elektrifikasi nasional rata-rata mencapai 95,75 persen sampai dengan tahun lalu. Sisanya, sekitar 4 persen yang belum teraliri listrik.
Namun, gambaran nasional ini tak serta-merta mencerminkan pemerataan akses listrik di wilayah Indonesia. Sampai dengan tahun lalu, Papua masih menjadi daerah yang memiliki rasio elektrifikasi terendah. Rasio elektrifikasi Papua hanya 57,46 persen. Dengan kata lain, dapat dikatakan lebih dari 42 persen penduduk di wilayah ujung timur Indonesia ini masih gelap gulita.
Publikasi lainnya, yakni dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua, memberikan gambaran ketimpangan akses listrik hingga di tingkat kabupaten/kota. Setidaknya ada 13 kabupaten dari 30 kabupaten/kota di Papua yang jumlah pelanggan listriknya belum terdata.
Hal ini mengindikasikan wilayah tersebut bisa jadi belum teraliri listrik dari PT PLN. Sebagian besar dari 13 daerah tersebut berada di daerah pegunungan yang sulit diakses. Daerah itu, antara lain, Kabupaten Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Memberamo Raya, Intan Jaya, Kabupaten Puncak, Nduga, dan Tolikara.
Gambaran kondisi kelistrikan di Papua mewakili ketimpangan yang lama berlangsung antara kawasan barat Indonesia (KBI) dan kawasan timur Indonesia (KTI).
Tidak sedikit daerah KTI yang minim tersentuh infrastruktur, khususnya listrik, akibat kondisi alam yang berat. Bentang alam sejumlah daerah, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Maluku Utara, berbentuk kepulauan. Adapun topografi alam berbentuk pegunungan, hutan, sungai, dan rawa terdapat di Papua Barat dan Papua.
Dampak ”output”
Sejalan dengan lemahnya kondisi infrastruktur tersebut, keluaran atau output ekonomi di timur Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia. Laporan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dari Bappenas menunjukkan ketimpangan ekonomi tersebut.
Sebagai gambaran, besaran produk domestik regional bruto (PDRB) rata-rata tahunan Pulau Jawa dan Sumatera mencapai hampir 80 persen dari seluruh produk domestik bruto (PDB) nasional yang sekitar Rp 15.000 triliun setahun. Artinya, sumbangan PDRB dari dua pulau itu sekitar Rp 12.000 triliun setahun.
Jumlah tersebut belum ditambahkan dari Kalimantan dan Sulawesi yang masing-masing besaran kontribusi tahunannya pada PDB rata-rata lebih dari 7 persen. Jadi, jika diakumulasi dengan PDRB Pulau Jawa dan Sumatera besarannya PDRB wilayah barat sudah lebih dari 90 persen.
Baca juga : Terang Hadir Lebih Panjang di Puncak Papua, Ilaga
Sementara itu, kontribusi PDRB dari KTI terbilang sangat minim, yakni kurang dari 5 persen setahun. Wilayah Maluku, Maluku Utara, NTT, Papua Barat, dan Papua merupakan daerah yang nilai andil kontribusi tahunannya bagi perekonomian nasional tergolong kecil, kurang dari Rp 750 triliun.
Perekonomian di KTI tidak tumbuh optimal. Jumlah perusahaan atau pabrik sangat sedikit sehingga tak banyak karyawan atau tenaga kerja terserap kawasan ini. Dampaknya, pekerjaan yang tersedia di KTI menghasilkan pendapatan minim. Hal ini menyebabkan tingginya angka kemiskinan.
Kemiskinan di KBI 10,33 persen, sementara di KTI mencapai 18,01 persen. Berdasarkan data BPS tahun 2020, dari 34 provinsi di Indonesia, ada tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi secara nasional.
Provinsi tersebut ialah Papua dengan tingkat kemiskinan 20,62 persen. Lebih tinggi lagi di Papua Barat dan NTT yang memiliki tingkat kemiskinan masing-masing 21,51 persen dan 26,55 persen. Adapun tingkat kemiskinan rata-rata nasional sekitar 9 persen.
Desentralisasi asimetris
Pada pemerintahan Joko Widodo, ada upaya serius untuk memajukan kawasan-kawasan tertinggal di Indonesia. Lewat program ”Nawacita”, pemerintah berusaha membangun Indonesia serempak dari berbagai wilayah dalam beberapa tahun belakangan.
Merujuk pada Nawacita poin ketiga, Indonesia akan dibangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pemerintah secara tidak langsung berupaya mengembangkan ”desentralisasi asimetris”.
Artinya, dibuat kebijakan pembangunan yang berpihak kepada daerah-daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Menurut Bappenas, ada lima arah kebijakan pengembangan desentralisasi asimetris itu.
Hal ini meliputi, antara lain, penguatan tata kelola dan peningkatan kualitas pemerintahan daerah, pembangunan desa dan kawasan perdesaan, serta pembangunan daerah tertinggal. Ada pula pengembangan kawasan perbatasan dan, terakhir, penataan daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan masyarakat. Dari lima kebijakan desentralisasi asimetris itu, pengembangan kawasan perbatasan menjadi salah satu kebijakan yang memiliki perlakukan khusus.
Hal itu juga tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pembangunan kawasan perbatasan difokuskan pada pengembangan pusat ekonomi perbatasan di 10 pusat kawasan strategis nasional. Pemerintah menetapkan pula 187 lokasi prioritas serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di 92 pulau kecil, terluar, dan terdepan.
Pada RPJMN 2020-2024, kebijakan pembangunan berbasis wilayah kembali menekankan pembangunan kawasan perbatasan dan daerah tertinggal. Hal ini mencakup peningkatan aksesibilitas, pemenuhan pelayanan dasar, dan pengembangan ekonomi yang mendukung pusat pertumbuhan wilayah.
Tantangan aksesibilitas
Hingga saat ini, pemerintah belum usai merealisasikan program infrastruktur untuk daerah 3T di Indonesia. Berdasarkan laporan Bappenas hingga 2019, untuk wilayah Kalimantan, ada 1.692 kilometer jalan perbatasan yang sudah dapat ditembus.
Namun, masih ada 229 kilometer jalan yang harus diselesaikan guna menghubungkan Kalimantan Barat dan Utara dalam jalur darat sejajar batas Malaysia. Untuk wilayah NTT, jalan perbatasan yang memisahkan antara Indonesia dan Timor Leste sudah 100 persen terbangun dengan baik.
Upaya besar juga dilakukan dengan rencana membangun 1.287 kilometer jalur infrastruktur darat. Jalur ini menghubungkan Sorong di wilayah barat, Jayapura di ujung utara, dan Merauke diujung selatan melalui pegunungan tengah Papua.
Namun, baru sekitar 80 persen rencana tersebut yang terealisasi. Masih ada 189 kilometer lagi jalan yang belum terhubung.
Selain membangun infrastruktur jalan, pemerintah juga membangun 128 bandara, mencakup 24 bandara di kawasan perbatasan, 56 bandara di daerah rawan bencana, dan 48 lainnya untuk membuka keterisolasian daerah.
Baca juga : Gerakkan Ekonomi di Papua
Pemerintah sudah membuka 18 rute konektivitas laut dan peningkatan fasilitas pelabuhan di 120 lokasi Indonesia. Rute laut tersebut sebagian besar melayani jalur distribusi barang ke wilayah timur Indonesia.
Muara dari semua konektivitas yang mulai terbentuk ini memerlukan ketersediaan jaringan listrik. Perekonomian rumah tangga dan dunia usaha tak mungkin bergerak tanpa listrik. Artinya, pasokan listrik dan infrastruktur lain menjadi sebuah kesatuan tak terpisahkan jika Indonesia membangun perekonomian di timur Indonesia.
(LITBANG KOMPAS)