Rendahnya belanja kesehatan publik di Indonesia mencerminkan belum kuatnya komitmen negara terhadap pembangunan kesehatan nasional. Padahal, pembangunan sektor kesehatan menentukan kualitas sumber daya manusia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proporsi belanja kesehatan di Indonesia terbilang rendah jika dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya. Hal ini dapat menandakan komitmen negara terhadap kesehatan masyarakat belum kuat. Pemanfaatan sumber pendanaan lain juga perlu dioptimalkan untuk meningkatkan belanja kesehatan.
Berdasarkan laporan data Akun Kesehatan Nasional (National Health Account) Indonesia tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, proporsi belanja kesehatan Indonesia di sektor publik terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2017 sebesar 1,6 persen. Jumlah ini meningkat sebesar 0,6 persen dibandingkan tahun 2012.
Terjadinya peningkatan proporsi belanja kesehatan publik ini dipengaruhi oleh program Jaminan Kesehatan Nasional. Skema program yang berjalan sejak 2014 ini menjadi penyumbang terbesar kedua belanja kesehatan di sektor publik setelah skema pemda pada 2018, yakni Rp 105 triliun atau 22,9 persen dari total belanja kesehatan publik nasional.
”Meski meningkat, angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan belanja kesehatan publik di negara berpenghasilan menengah lainnya. Belanja kesehatan publik di Timor Leste mencapai 2,2 persen dari PDB, sedangkan Malaysia, Thailand, dan China sekitar 3,2 persen,” kata Ketua Umum The Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Hasbullah Thabrany, di Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Ukuran belanja kesehatan publik terhadap PDB ini dapat menjadi acuan terkait komitmen negara terhadap kesehatan rakyatnya yang berkontribusi pada investasi sumber daya manusia di masa depan. Karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan belanja kesehatan publik sampai minimal 3 persen pada 5-10 tahun mendatang agar layanan kesehatan lebih baik.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Subandi menuturkan, anggaran belanja kesehatan di Indonesia masih cukup kecil. Namun, dengan anggaran yang minim itu, pemanfaatannya belum efektif.
Meski meningkat, angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan belanja kesehatan publik di negara berpenghasilan menengah lainnya.
”Kita perlu bedah kembali secara lebih detail bagaimana pemanfaatan anggaran belanja kesehatan ini dengan PDB. Apakah yang dialokasikan saat ini sudah maksimal dari dana yang dianggarkan. Jika anggaran yang dinilai kecil tersebut belum dioptimalkan, artinya masih sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena menambahkan, anggaran yang telah dialokasikan saat ini cenderung lebih banyak digunakan untuk upaya kuratif pada bidang kesehatan. Paradigma sehat yang seharusnya dikedepankan dengan mengutamakan promotif dan preventif masih minim.
Padahal, jika upaya promotif dan preventif lebih diutamakan, beban anggaran kesehatan bisa ditekan. Anggaran ini pun bisa dialihkan untuk pengembangan fasilitas kesehatan lainnya terutama fasilitas yang berada di daerah terpencil dan terluar.
Sumber dana lain
Hasbullah memaparkan, pemanfaatan potensi sumber pendanaan publik lain juga perlu ditingkatkan. Sumber pendanaan ini dapat turut meningkatkan belanja kesehatan publik untuk kesehatan.
Pilihan sumber pendanaan publik ini harus memperhatikan beberapa kriteria, antara lain bisa cepat dan mudah terimplementasi, serta memberikan dampak sosial, politik, dan ekonomi yang positif. Itu bisa berasal dari pengalihan subsidi BBM, pengalihan subsidi gas dan listrik, cukai rokok, cukai plastik, cukai makanan yang mengandung tinggi gula garam dan lemak, serta cukai alkohol.
”Revisi peraturan cukai harus dilakukan terlebih dahulu untuk bisa mengoptimalkan sumber pendanaan lain ini. Tentu ini membutuhkan komitmen dari pemerintah juga DPR,” katanya.