Sebagian masyarakat sebenarnya sudah berdisiplin, bernalar, dan berempati. Sayangnya, kebaikan ini tertutup oleh mereka yang tak peduli. ”Laissez faire”.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·3 menit baca
Perilaku masyarakat dalam menyikapi pandemi Covid-19 dapat menjadi bahan kajian pakar. Untuk menemukan cara yang pas mendidik masyarakat sehingga sadar bahaya.
Masyarakat Sunda membagi manusia menjadi dua. Pertama, yang sebelum melangkah berpikir engke kumaha? Bagaimana dampaknya nanti? Atau yang langsung melangkah dengan semboyan kumaha engke, bagaimana nanti. Urutan kata mengubah makna.
Sudah ada 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan 3P (pengujian, penelusuran, pengobatan). Tetapi apa yang kita lihat? Banyak pelanggaran. Akibatnya, angka penularan terus meningkat.
Dua situasi terjadi. Pertama, libur panjang, sehingga ada berbagai kegiatan yang memicu kerumunan. Kedua, kerumunan saat kedatangan Rizieq Shihab, diikuti perhelatan pernikahan dan kumpulan orang di acara ceramahnya.
Dua situasi di atas mencerminkan perilaku laissez faire, frasa dalam bahasa Perancis yang berarti ”biarkan terjadi”. Istilah ini awalnya untuk mendefinisikan sikap di bidang ekonomi yang menolak campur tangan pemerintah.
Namun, laissez faire juga bisa untuk menilai watak kepemimpinan seseorang. Tampaklah sikap tidak peduli pada urusan masyarakat luas di luar dirinya.
Pada awal pandemi, pemerintah pun sempat salah langkah. Beranggapan Indonesia tidak terkena sehingga malah mendorong wisatawan datang. Ternyata, 2 Maret 2020, kasus Covid-19 diumumkan ada di Indonesia. Memang berbagai upaya dijalankan, dari PSBB hingga stimulus ekonomi, tetapi kekeliruan menakar situasi telah berakibat panjang dan merugikan.
Perilaku laissez faire dapat kita lihat dari pejabat di Jawa Tengah yang menyelenggarakan panggung dangdutan atau tokoh di Sumatera Barat yang menyelenggarakan perhelatan dan mengundang kerumunan.
Sebagian masyarakat sebenarnya sudah berdisiplin, bernalar, dan berempati. Sayangnya, kebaikan ini tertutup oleh mereka yang tak peduli. Laissez faire.
Meskipun vaksin menjanjikan, harus disadari itu bukan hal yang utama. Dalam menghadapi pandemi ini dan berbagai situasi pelik lainnya ke depan, dibutuhkan sikap yang mau peduli situasi dan rela berkorban demi kemaslahatan bersama yang lebih luas.
Teringat beberapa puluh tahun lalu senantiasa didengungkan pentingnya character building. Tampaknya saat ini hal itu sangat relevan diterapkan, mulai dengan keteladanan yang ditunjukkan oleh para pegiat politik hingga mereka yang berada di jaringan pemerintahan.
Semoga.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta 12970
Cerpen ”Kompas”
Membaca cerpen Kompas, Minggu, 29 November 2020, saya ikut terbawa emosi. Marah kepada serdadu Jepang, marah kepada orang-orang yang mau menjadi kaki tangan dan bahkan lebih kejam.
Karya Budi Darma berjudul ”Kita Gendong Bergantian” memang sangat mengaduk-aduk perasaan.
Betapa tidak, di akhir cerita, Misbahul dan Umar yang selalu dihinakan oleh Peket—kepala sekolah yang jadi antek serdadu Jepang—di alinea terakhir malah mau mereka tolong dengan cara bergantian menggendong Peket.
Peket baru saja ditabrak sepeda motor serdadu Jepang yang ia puja. Padahal, saya sebagai pembaca sudah siap menginjak-injak tubuhnya.
Begitulah kekuatan cerpen-cerpen Budi Darma. Saya pun ikut sedih, marah, tetapi pada akhirnya terharu pada kebaikan Misbahul dan Umar.
Bravo, Pak Budi Darma.
Muhisom Setiaki
Karang Tengah, Parakan, Temanggung
Rindu Pustakaloka
Dulu, salah satu rubrik yang saya tunggu adalah Pustakaloka. Hadir pada hari Minggu dan Senin di harian Kompas. Satu bulan sekali terbit laporan khusus.
Pustakaloka menghadirkan rubrik seputar buku, seperti resensi buku utama, resensi buku (yang terlupakan, yang terlarang), informasi buku pilihan, terbaru, dan terlaris. Ada pula agenda buku, tokoh dan buku, publik dan buku. Pustakaloka hadir bagi penikmat buku seperti saya.
Ketika buku fisik makin terpinggirkan dan teknologi jempol menguasai jagat, informasi perbukuan di halaman Kompas ikut langka. Saya berharap, suatu hari nanti, rubrik Pustakaloka bisa hadir kembali menyapa pembaca.