Pemohon Optimistis meski PTUN Tolak Pemeriksaan Cepat
›
Pemohon Optimistis meski PTUN ...
Iklan
Pemohon Optimistis meski PTUN Tolak Pemeriksaan Cepat
Keputusan yang dibuat pemerintah, DPR, dan KPU melanjutkan Pilkada 2020 pada 9 Desember membuahkan gugatan di PTUN. Meskipun hakim menolak proses cepat pembahasan, pemohon gugatan optimistis ada putusan adil.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan pemohon kepada majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk memeriksa secara cepat perkara gugatan keputusan pelaksanaan pilkada di masa pandemi ditolak. Pemeriksaan perkara baru akan dimulai sehari setelah hari pemungutan suara, yaitu 10 Desember. Meskipun demikian, pemohon berharap majelis hakim dapat memberikan putusan seadil-adilnya.
Sebelumnya, gabungan warga yang terdiri dari Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqoddas, Inisiator KawalCovid-19 Irma Hidayana, Direktur Yayasan Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro, wartawan senior Ati Nurbaiti, dan aktivis Elisa Sutanudjaja. Mereka menilai keputusan yang dibuat pemerintah, DPR, dan KPU untuk melanjutkan Pilkada 2020 yang sempat ditunda, pada 21 September, mengabaikan suara publik. Pelaksanaan pilkada di saat pandemi belum tertanggulangi juga mengancam kesehatan dan keselamatan publik.
Nurcholis Hidayat, kuasa hukum warga dari Lokataru Foundation, dalam keterangan kepada media, Kamis (3/12/2020), mengatakan, permintaan pemohon untuk pemeriksaan cepat ditolak oleh majelis hakim. Menurut dia, salah satu alasannya adalah karena majelis hakim tidak mau melanggar hak para tergugat yang tidak hadir. Tergugat dalam perkara ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), DPR, dan Kementerian Dalam Negeri.
Permintaan pemohon untuk pemeriksaan cepat ditolak oleh majelis hakim. Menurut dia, salah satu alasannya adalah karena majelis hakim tidak mau melanggar hak para tergugat yang tidak hadir.
Dalam dua kali persidangan, pihak DPR terutama kerap tidak hadir. Oleh karena itu, agenda sidang yang dimulai sejak Kamis (19/11/2020) itu terus ditunda. Padahal, permohonan pemeriksaan cepat itu salah satunya adalah agar permohonan provisi, yaitu penundaan pilkada karena pandemi Covid-19, belum tertangani dengan baik dapat dikabulkan majelis. Dalam perkembangannya, sidang pemeriksaan justru digelar setelah hari pemungutan suara 9 Desember.
”Kami melihat majelis hakim masih bersikap konservatif dalam pemeriksaan perkara ini. Ketika ada satu tergugat tidak hadir, sidang ditunda pekan depan sehingga membuat pemeriksaan perkara tertunda,” kata Nurcholis.
Pemohon sendiri sebenarnya berharap hakim dapat bersikap progresif dalam memeriksa perkara tersebut. Selain karena sudah ada permintaan pemeriksaan cepat, hakim diharapkan dapat melihat urgensi perkara tersebut, yaitu membahayakan jiwa masyarakat. Dalam perkara penggusuran tanah untuk kepentingan umum, misalnya, majelis hakim PTUN pun pernah memeriksa dengan metode pemeriksaan cepat.
Hal itu karena urgensi perkara yang harus segera diputus karena berkaitan dengan surat perintah bongkar. Namun, dalam perkara ini, ternyata majelis hakim berpandangan berbeda. Bahkan, salah satu petitum pemohon, yaitu permohonan penundaan pilkada di masa pandemi, diminta untuk dihapuskan. Namun, pemohon tetap mencantumkan itu di petitumnya.
Meskipun putusan dalam perkara ini dipastikan setelah hari pemungutan suara, Nurcholis mengatakan, warga tidak pesimistis. Pemeriksaan dalam perkara ini, nantinya akan membutikan apakah gugatan warga berdasar argumen dan data yang kuat atau tidak. Sebab, warga sudah menyiapkan berbagai data pendukung yang memperkuat bahwa keputusan untuk tetap melanjutkan pilkada di masa pandemi adalah perbuatan melawan hukum.
Saksi-saksi dari organisasi dokter dan tenaga kesehatan pun telah disiapkan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah salah satu pihak yang mendesak agar pilkada serentak 2020 ditunda. Mereka khawatir pilkada serentak akan menciptakan kluster baru penularan Covid-19. Padahal, kapasitas rumah sakit di sejumlah daerah telah penuh. Beban tenaga medis pun berat karena menangani pandemi selama sembilan bulan penuh.
”Meskipun putusan dipastikan setelah hari pemungutan suara, signifikansi dari gugatan warga ini tetap tidak bisa dipatahkan. Kami akan beradu fakta dan data dengan tergugat, apakah keputusan mereka melanjutkan pilkada di masa pandemi itu memiliki legitimasi atau tidak,” kata Nurcholis.
Meskipun putusan dipastikan setelah hari pemungutan suara, signifikansi dari gugatan warga ini tetap tidak bisa dipatahkan. Kami akan beradu fakta dan data dengan tergugat, apakah keputusan mereka melanjutkan pilkada di masa pandemi itu memiliki legitimasi atau tidak.
Konsekuensi hukum
Nurcholis menambahkan, meskipun diputus setelah hari pemungutan suara, konsekuensi hukum dari gugatan warga juga tidak main-main. Apabila majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan warga, legitimasi dari pilkada serentak 2020 bisa dipertanyakan. Apalagi, jika majelis PTUN Jakarta memutuskan agar tergugat melakukan tindakan korektif. Ini akan berkonsekuensi serius terhadap pilkada yang telah berlangsung.
Putusan tersebut, kata Nurcholis, juga bisa menjadi bentuk tanggung jawab pemerintah, DPR, dan KPU apabila sampai ada kluster baru penularan pilkada. Ketika ada penambahan data kasus penularan Covid-19 setelah pilkada misalnya, warga bisa meminta pemerintah, DPR, dan KPU untuk bertanggung jawab. Terlebih, jika sampai ada korban setelah pelaksanaan pilkada serentak.
Gugatan ini, kan, sifatnya mencegah sesuatu yang membahayakan masyarakat. Karena aspirasi masyarakat sudah diabaikan, pemerintah juga harus mau dimintai pertanggungjawabannya jika sampai ada lonjakan kasus Covid-19 setelah pilkada.
Busyro Muqoddas menambahkan, jika gugatan warga diterima, legalitas dan legitimasi pilkada bisa dipermasalahkan. Apalagi, selama penentuan kelanjutan pilkada di masa pandemi itu, banyak aspirasi masyarakat yang diabaikan. Sejumlah pihak yang meminta pilkada ditunda adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komnas HAM, dan sebagainya. Karena aspirasi tersebut diabaikan, potensi pilkada untuk digugat pun terbuka lebar. Masyarakat berhak untuk mempertanyakan legalitas dan dasar keputusan tersebut di pengadilan.
”Gugatan ini, kan, sifatnya mencegah sesuatu yang membahayakan masyarakat. Karena aspirasi masyarakat sudah diabaikan, pemerintah juga harus mau dimintai pertanggungjawabannya jika sampai ada lonjakan kasus Covid-19 setelah pilkada,” kata Busyro.