Percaya Diri di Negeri Orang, tetapi Waswas di Negeri Sendiri
Penegakan protokol kesehatan dan kepatuhan warga mematuhinya jadi kunci Singapura mengendalikan pandemi Covid-19. Berikut oleh-oleh catatan perjalanan wartawan ”Kompas” yang berkunjung ke negara itu, 23-27 November 2020.
Tak banyak negara yang sudah membuka perbatasannya di tengah pandemi Covid-19. Setiap pemerintah masih berjuang mengendalikan penyebaran Covid-19 di dalam negerinya dan menapis kasus positif dari negara lain sambil perlahan mulai menggerakkan lagi ekonominya.
Jika ada kesempatan pergi ke luar negeri pun, prosesnya tak semudah seperti dulu. Ke mana pun pergi, ada syarat utama yang harus dipenuhi, yakni negatif Covid-19.
Salah satu negara yang sudah membuka diri bagi warga negara Indonesia melalui mekanisme reciprocal green lane (RGL) adalah Singapura. Mekanisme ini hanya diperuntukkan bagi keperluan bisnis dan dinas, bukan wisata.
Ketika Kompas mendapat undangan liputan ke Singapura melalui mekanisme RGL ini, Senin-Jumat (23-27/11/2020), ada rasa waswas, tetapi juga penasaran. Waswas karena selama perjalanan pasti akan bertemu dengan banyak orang yang kita tak tahu kondisi kesehatannya. Namun, pada saat yang sama juga penasaran bagaimana proses perjalanan ke luar negeri di tengah pandemi dan bagaimana situasi pandemi di negara-kota itu.
Salah satu syarat untuk bisa masuk Singapura adalah negatif Covid-19 yang dibuktikan dengan surat keterangan hasil pemeriksaan tes PCR dari laboratorium di Tanah Air yang diakui oleh Pemerintah Singapura, 72 jam sebelum berangkat.
Baca juga: Bepergian ke Singapura Kini Tak Semudah Dulu
Ternyata, bukti negatif Covid-19 dari laboratorium di Tanah Air tidak cukup. Ketika sampai di Bandar Udara Internasional Changi di Singapura, semua warga asing harus menjalani tes PCR lagi yang hasilnya keluar kurang dari dua hari. Selama proses pemeriksaan ini, kebijakan jaga jarak dan kewajiban pakai masker dengan benar diterapkan secara tegas.
Karena diundang untuk kepentingan bisnis—dalam hal ini pameran dagang— rencana perjalanan pun diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun kesempatan untuk keluar dari rencana perjalanan yang sudah disetujui Kementerian Kesehatan Singapura. Risiko jika keluar dari rencana perjalanan yang disetujui adalah dideportasi dan masuk daftar hitam imigrasi Singapura.
Untuk merekam mobilitas selama di sana, kami diberi token yang akan dipindai setiap kali masuk ke dan keluar dari satu tempat. Kami juga harus menjalani tes antigen setiap kali akan memasuki lokasi pameran. Jika ternyata hasilnya positif Covid-19, siap-siap dibawa ke rumah sakit untuk karantina atau dirawat.
Selama beraktivitas di sana, undangan dari Indonesia dibagi dalam kelompok kecil maksimal lima orang. Ke mana-mana harus bersama anggota kelompok masing-masing. Anggota kelompok ini tidak boleh bertukar dengan kelompok lain. Setiap anggota kelompok juga wajib jaga jarak 1 meter.
Selain itu, ada staf yang disebut social distancing ambassador dan social distancing officer. Mereka memakai baju merah dan akan menegur jika kami terlalu dekat berkerumun atau berkumpul lebih dari lima orang.
Denda berat
Tidak main-main, sanksi bagi pelanggar jaga jarak adalah minimal 300 dollar Singapura (Rp 3,1 juta) dan maksimal bisa sampai 10.000 dollar Singapura (Rp 105,5 juta). Karena, social distancing ambassador dan social distancing officer berbaju merah ada di mana-mana menegakkan aturan jaga jarak warga Singapura menjuluki mereka ”semut merah.”
Baca juga: Wajah Wisata Singapura Saat Pandemi
Ketika di Kampong Glam ada seorang perempuan warga Singapura maskernya melorot di bawah hidung saja langsung mereka tegur dan perempuan yang ditegur pun patuh. Sesuatu yang jarang kita lihat di Tanah Air. Di negara kita, masih banyak yang ketika beraktivitas di tempat umum tidak memakai masker dengan benar dan tidak ada petugas yang menegur, apalagi menjatuhkan sanksi.
Tingkat kepatuhan warga di Singapura menjalankan protokol kesehatan pun patut diapresiasi. Seorang bapak tua penjaga kedai minuman di Terminal 3 Bandara Changi bergeming tidak mau melayani konsumen yang tidak memindai tokennya sebagai bukti bahwa ia pernah ada di situ.
Ketegasan penegakan aturan protokol kesehatan dan kepatuhan warga menjalaninya menjadi pelajaran berharga yang bisa diimplementasikan di dalam negeri walaupun jika melihat kondisi berbagai aspek tantangan yang dihadapi Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Singapura.
Salah satu peserta pameran dari Indonesia, Edhie Sutadharma dari agen perjalanan Golden Rama, mengatakan, dirinya merasa lebih aman ketika mengikuti acara pameran dagang industri meetings, incentives, conferences, and exhibition (MICE) di Singapura. Itu karena setiap peserta wajib menjalani tes antigen Covid-19 yang hasilnya negatif untuk bisa masuk ke area pameran.
Selain itu, sekitar sepekan sebelum acara dimulai, Singapura sudah tidak lagi melaporkan ada penularan Covid-19 lokal. Kasus baru Covid-19 semuanya impor dan jumlah terkendali tidak sampai 10 kasus sehari.
Baca juga: Singapura Kembangkan Model MICE Aman di Tengah Pandemi
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi) Hosea Andreas Runkat menyebutkan, sebenarnya industri MICE sudah memiliki protokol kesehatan standar penyelenggaraan pameran yang mengacu pada panduan internasional, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, persoalannya, pemerintah belum berani menerapkannya sebagai bagian dari pemulihan ekonomi dengan aman.
”Melihat Singapura memang bagus, tetapi tidak semua aturan di sana bisa diaplikasikan begitu saja di Tanah Air. Di negara kita, syarat tes cepat untuk penyelenggaraan acara saja banyak kendalanya, apalagi harus tes antigen,” katanya.
Direktur Eksekutif Ekshibisi dan Konferensi Singapore Tourism Board Andrew Phua mengatakan, sebelum mulai menggelar acara yang mengundang banyak orang, Singapura sudah berada dalam pembatasan sosial atau circuit breaker fase kedua. Dalam fase ini, kapasitas restoran, tempat pertemuan, termasuk lokasi atraksi wisata, dibatasi maksimal 50 persen.
Bertahap
Acara besar di Singapura yang mengundang banyak warga asing pun dilakukan bertahap, mulai dari pameran energi Oktober lalu dengan peserta sekitar 50 orang hingga TravelRevive dengan peserta hampir 1.000 orang dari beberapa negara. Otoritas kesehatan Singapura akan terus mengevaluasi pelaksanaan setiap acara yang mengundang banyak orang.
Baca juga: Singapura HIdupkan Kembali Industri MICE secara Bertahap
”Jika situasi penyebaran Covid-19 semakin buruk dan circuit breaker naik menjadi fase ketiga, saya tidak tahu, tergantung dari pemerintah akan seperti apa,” ujar Andrew.
Ia mengakui bahwa menggelar acara besar di tengah pandemi bukanlah perkara mudah. Banyak syarat yang harus disiapkan untuk memastikan keamanan dari sisi kesehatan.
Apa yang dilakukan Singapura merupakan sebuah jalan tengah untuk mulai memulihkan roda ekonomi dengan aman sambil mengelola risiko penyebaran Covid-19 seminimal mungkin. Di satu sisi, perjalanan menjadi terasa sangat kaku dan merepotkan. Namun, di sisi lain, inilah upaya untuk mulai memulihkan ekonomi dengan cara yang aman dengan norma-norma baru yang harus dipatuhi.
Perjalanan singkat ke Singapura itu seolah menegaskan istilah ”rumput tetangga selalu lebih hijau”. Mengetahui tidak ada lagi penularan lokal dan kasus baru Covid-19 sudah terkendali membuat banyak undangan dari Indonesia lebih percaya diri selama beraktivitas meskipun harus bertemu dengan banyak orang yang berbeda.