Pertanian Tradisional Terancam
Selain mengancam kehidupan suku Dayak yang sudah selaras dengan alam desakan untuk melakukan perubahan sistem pertanian tradisional gilir balik secara drastis tidaklah bijaksana. Apalagi menjadi bagian identitas Dayak.
Judul ini saya ambil dari judul berita Kompas (1/11/2020) yang mewartakan hasil diskusi daring perihal sistem pertanian gilir balik Dayak Kalimantan. Diskusi diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Adat "Heart of Borneo" (Forma-HOB).
Diketahui bahwa pertanian tradisional sistem gilir balik Dayak Kalimantan didesak berubah oleh pihak luar, sehingga dapat mengancam sistem pertanian tradisional Dayak. Padahal, sistem ini berlandaskan pada pengetahuan lokal yang mengutamakan keberlanjutan ekologi lingkungan.
Baca juga: Pertanian Tradisional di Pulau Kalimantan Terancam
Sistem pertanian gilir balik tanam padi sudah turun temurun dipraktikkan penduduk lokal di berbagai wilayah di Indonesia. Geertz (1963), mengategorikan sistem budi daya tanam padi di Indonesia menjadi dua kategori utama, yaitu sistem tani sawah dan sistem tani gilir balik (ladang berotasi).
Pada umumnya sistem tani sawah dipraktikkan penduduk di Indonesia Dalam (Inner Indonesia), seperti Jawa, kecuali di Priangan dan Banten Selatan, Bali, dan Lombok Barat. Sementara sistem pertanian gilir balik dominan dipraktikkan petani di Indonesia Luar (Outer Indonesia), seperti Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan lainnya.
Untuk tanah subur
Sistem sawah telah lama di praktikkan penduduk di Pulau Jawa karena tanahnya subur, hasil dari proses pelapukan tanah yang disemburkan lewat erupsi gunung api, yang banyak ditemukan di Pulau Jawa. Selain itu, sistem irigasi berkembang maju di Jawa. Hal tersebut merupakan imbas dari program tanam paksa, ketika penjajah Belanda memaksa lahan-lahan sawah subur di Jawa ditanami jenis tanaman yang laku di Eropa, seperti tebu.
Seiring dengan budi daya tebu ini, dibangun pula sistem irigasi. Dengan kata lain, sistem sawah dipraktikkan di Jawa karena lahannya subur, penduduk banyak, sistem irigasi telah dibangun, ditambah berbagai insentif dari pemerintah.
Baca juga: Anomali Menekan Petani Padi
Berbeda dengan Jawa, wilayah Kalimantan memiliki kawasan hutan luas, penduduknya jarang, dan tanahnya tidak subur. Kalimantan tidak memiliki banyak gunung api, sehingga kesuburan tanah tergantung dari tutupan vegetasi hutan. Namun, di lahan yang tidak ada vegetasi hutan, tanahnya menjadi tidak subur, miskin unsur hara, dan memiliki tingkat keasaman tinggi, khususnya pada lahan gambut. Sistem drainasenya pun jelek.
Maka bukan hal aneh jika penduduk lokal, penduduk Dayak Kalimantan, mengadaptasikan lingkungan yang tidak subur, dengan mengembangkan sistem tanam padi gilir balik.
Penduduk Dayak Kalimantan memiliki kecerdikan dan keterampilan dalam mengelola kesuburan tanah, dengan memanfaatkan sistem suksesi hutan alami. Dalam tataran praktik, penduduk setiap tahun memilih suatu petak hutan di teritori mereka untuk dijadikan sistem pertanian gilir balik.
Baca juga: Konsensus Pembangunan Pertanian
Pada petak hutan yang telah dipilih, saat kemarau semak-semak belukar dan pepohonan hutan ditebangi dan biomassa vegetasi hasil tebangan dibakar. Abu pembakaran menjadi pupuk untuk tanaman padi dan lainnya. Menjelang musim hujan, petak lahan yang telah dibakar ditanami aneka padi lokal dan macam-macam tanaman non-padi dengan cara ditugal.
Usai panen padi dan tanaman semusim lainnya, lahan bekas tanam padi diistirahatkan supaya kesuburan tanah pulih kembali. Kesuburan tanah dapat turun sampai 50 persen atau lebih, ketika petak lahan ditanami padi. Agar produksi maksimal, biasanya petani pindah bertani gilir balik di petak hutan lainnya. Lahan sebelumnya diistirahatkan.
Saat diistirahatkan, maka petak-petak lahan tersebut secara alami ditumbuhi semak belukar, membentuk hutan sekunder muda dan terus berkembang menjadi hutan sekunder tua. Melalui proses suksesi vegetasi terjadi pula peningkatan kesuburan tanah yaitu hasil dari seresah, berupa daun-daun dan ranting yang jatuh ke tanah yang kian bertambah seiring meningkatnya umur hutan.
Para petani pun, dengan bekal kearifan lokal, sangat memahami bahwa lahan yang diistirahatkan tersebut, kalau dianggap sudah pulih kesuburannya, dapat digarap balik. Penggarapannya, sama seperti pengerjaan sebelumnya: semak belukar dan pepohonan ditebangi, sisa tebangan dibakar, ditanami padi, dan panen.
Baca juga : Pertanian Tanpa Petani
Itulah sistem pertanian tradisional gilir balik penduduk lokal Dayak Kalimantan secara turun temurun yang telah berlangsung dalam kurun waktu panjang dan berkelanjutan.
Moral versus interes
Dalam perkembangannya, sesuai jumlah penduduk yang kian bertambah, lahan hutan berkurang, dan sistem ekonomi pasar deras mempenetrasi hingga pedesaan. Maka sistem pertanian gilir balik pada masyarakat Dayak Kalimantan pun, mengalami perubahan.
Terbentuklah dua model sistem pertanian gilir balik yaitu pertanian gilir balik partial system dan pertanian gilir balik integral system’(Conklin 1957). Kedua model sistem pertanian gilir balik ini sangat beda.
Penduduk yang mempraktikkan pertanian gilir balik secara partial system, tujuan bertaninya lebih untuk mencari keuntungan ekonomi (economic interest). Sementara penduduk yang mempraktikkan gilir balik dengan integral system, lebih merupakan way of life.
Sementara penduduk yang mempraktikkan gilir balik dengan integral system, lebih merupakan way of life.
Mereka bertani berlandaskan pada moral. Bisa disaksikan, praktik sistem bertani gilir balik dua kategori tani tersebut menghasilkan dampak lingkungan yang berbeda pula, khususnya lingkungan hutan.
Sejatinya penduduk lokal Dayak mempraktikkan sistem pertanian gilir balik integral system dengan cara tradisional. Mereka mengerjakan tiap tahapan berladang, mulai dari menentukan petak lahan hutan untuk dijadikan sistem pertanian gilir balik hingga panen padi. Setiap tahapan senantiasa disertai berbagai upacara adat, guna memohon keselamatan mereka dalam bertani.
Untuk mencari petak lahan hutan yang akan dijadikan lahan tani balik gilir, lazimnya mencari hutan yang sudah siap untuk digarap ulang, setelah diistirahatkan dalam waktu cukup dan kesuburan tanahnya dianggap telah pulih.
Baca juga : Basis Pertahanan Berdaulat Pangan
Mereka sangat peduli untuk menjaga lahan bekas tani balik gilir supaya dapat pulih kembali menjadi hutan. Mengingat para petani gilir balik, sangat menyadari bahwa praktik bertani mereka sangat tergantung pada keberadaan hutan.
Saat menebang vegetasi hutan untuk dijadikan ladang, misalnya, penduduk melakukan mitigasi bencana kebakaran. Antara lain dengan cara membuat koridor-koridor di antara petak hutan yang akan dibakar, untuk membatasi dengan hutan sekelilingnya. Waktu membakar petak bakal lahan tani gilir balik, mereka juga sangat memperhatikan waktu yang sesuai, seperti mempertimbangkan cuaca, arah angin dan lain-lain.
Tanaman beragam
Varietas benih padi gogo yang ditanam sangat beragam dengan memperhatikan kesesuaian terhadap ekosistem lokal, seperti jenis tanah, kesuburan tanah, ketersediaan air, serta kepentingan sosial budaya setempat. Misalnya, untuk cita rasa, kebutuhan membuat kue-kue tradisional, serta upacara adat. Benih-benih padi lokal disediakan sendiri dari hasil panen terdahulu atau saling pinjam tukar dengan tetangga atau kerabat.
Selain ditanami berbagai varietas padi lokal, di petak lahan tani gilir balik juga biasa ditanami anekaragam kacang-kacang, dan tanaman semusim non-padi lainnya. Hal tersebut suatu strategi para petani untuk menghindari gagal panen akibat hama dan gangguan fenomena alam lainnya.
Baca juga : Pertanian dan Petani Terpinggirkan
Penanaman aneka kacang-kacangan, selain produksinya penting untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga penting untuk menyuburkan tanah. Mengingat akar-akar dari aneka jenis kacang-kacangan secara alamiah dapat mengikat nitrogen (N) bebas, sehingga tanah ladang jadi subur.
Pada pemeliharaan tanaman, selain penyiangan tumbuhan pengganggu, juga ada pembasmian hama. Sejatinya, pembasmian hama secara tradisional menggunakan berbagai racikan dari jenis tumbuhan racun, berupa botani pestisida untuk mengusir hama dari pada menggunakan pestisida sintesis yang harus dibeli mahal.
Pada pemeliharaan tanaman, selain penyiangan tumbuhan pengganggu, juga ada pembasmian hama.
Lantas, usai tanaman padi dan tanaman semusim lainnya dipanen, lahan diistirahatkan agar kesuburan pulih kembali. Mengingat lahan diistirahatkan cukup lama, maka bekas-bekas ladang yang ditinggalkan tidak berubah menjadi padang alang-alang, tapi mengalami suksesi vegetasi hutan sekunder muda dan hutan sekunder tua, hingga akhirnya siap dijadikan ladang kembali.
Dengan demikian, sesungguhnya sistem bertani gilir balik tradisional, prinsipnya mempraktekan sistem pertanian organik (organic farming system) dan sistem pertanian memaksimalkan berbagai asupan dari internal dari usaha tani sendiri dan berkelanjutan (LEISA: Low-external input and sustainable agriculture). Inilah paradigma pembangunan pertanian pasca Revolusi Hijau.
Baca juga : Memastikan Petani Sejahtera
Para petani sistem gilir balik juga memiliki jasa dalam upaya mengonservasi varietas padi lokal secara in-situ secara lekat budaya. Hasil kajian para peneliti dari beberapa komunitas Dayak di Kalimantan, telah dapat didokumentasikan berbagai varietas padi yang dibudidayakan dan dikonservasi petani gilir balik. Misalnya, di masyarakat Kantu, Kalimantan Barat, tercatat 44 varietas padi lokal (Dove 1985);
Dayak Kenyah Umak Tukung di Long Sungai Barang, Apo Kayan 25 varietas padi lokal, Dayak Long Pujungan, Kalimantan Utara 58 varietas padi lokal (Soedjito 1999), dan di masyarakat Dayak Kenyah Leppo’ke di Apau Ping, Kalimantan Utara 38 varietas padi lokal (Setiyawati 1999).
Dua kategori
Pada dasarnya sistem tani gilir balik ada dua kategori di masyarakat Dayak, Kalimantan. Pertama, sistem gilir balik integral system yang merupakan sistem gilir balik tradisional yang dipraktikkan oleh penduduk lokal secara turun temurun dan lekat budaya. Mereka senantiasa menjaga hutan terhindar dari kerusakan, seperti bencana kebakaran.
Kedua, sistem pertanian gilir yang dipraktikkan oleh penduduk dari luar, atau penduduk setempat yang telah meninggalkan tradisi, karena berbagai pengaruh dari luar. Praktik pertanian gilir balik non-tradisional dengan model partial sistem ini’ dapat merusak lingkungan, seperti menimbulkan kebakaran.
Walaupun ada dua kategori sistem tani gilir balik di Kalimantan, tapi yang umum diketahui oleh masyarakat luar bahwa semua sistem petani gilir balik dianggap merusak hutan dan menimbulkan bencana kebakaran. Konsekuensinya, menurut pendapat pihak luar, semua sistem gilir balik dipaksa untuk berubah atau dihentikan sama sekali.
Oleh karena itu, untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan yang pro-lingkungan, pro-rakyat miskin, pro-lapangan kerja, dan untuk membasmi kemelaratan dan kelaparan, kebijakan dan desakan pihak luar, yang memaksakan untuk mengubah drastis sistem tani gilir balik yang lekat budaya, sungguh tidak bijaksana.
Selain mengancam kehidupan suku Dayak yang sudah selaras dengan alam, perubahan itu mengancam sistem pertanian tradisional gilir balik sekaligus identitas utama masyarakat Dayak Kalimantan.
Johan Iskandar, Staf Pengajar dan Peneliti Senior Lingkungan di Center for Environment and Sustainability Science (CESS) Unpad.