Merapi sekali lagi tak pernah ingkar janji. Tak hanya memuntahkan material vulkanis saat erupsi, gunung ini memberi pelajaran saling peduli pada manusia yang hidup di punggung dan kakinya. Suladi mengabadikan pesan itu.
Oleh
melati mewangi
·5 menit baca
Suladi sudah tidak muda lagi. Usianya pada tahun ini mencapai 76 tahun. Namun, tubuh kurusnya belum kehilangan tenaga. Rabu (11/11/2020), dia masih masuk keluar dusun-dusun di kaki Merapi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Meskipun masker kain menutupi mulut dan hidungnya, ajakan Suladi kepada warga yang tinggal dalam radius 3 kilometer dari puncak Merapi untuk segera mengungsi terdengar tegas. Saat itu, status Merapi sudah berada di level Siaga atau hanya satu tingkat di bawah level Awas, status tertinggi aktivitas gunung api.
”Ayo podo mudhun, sesarengan ning omah e dhewe (Mari mengungsi, berangkat ke balai desa bersama),” begitu kata Suladi berulang-ulang.
Ajakan itu ternyata ampuh terutama bagi warga sepuh yang tadinya enggan mengungsi. Setelah mendengar ajakan Suladi, mereka bersiap-siap untuk pergi. Sebagian besar mengenakan baju terbaik yang mereka miliki, seperti batik lengan panjang. Mereka tak lupa membawa tas berisi dokumen-dokumen penting. Setelah itu, satu per satu warga naik mobil yang disediakan menuju balai desa.
Siang itu, ada 10 warga lansia yang akhirnya mau mengungsi. Proses evakuasi dibantu sukarelawan dari Tim Siaga Desa Klakah. Ada juga sukarelawan Lembaga Penanganan Bencana Desa Gantang, Jampong, Magelang. Kedua desa itu sejak jauh hari sudah sepakat bekerja sama menghadapi bencana.
Pitutur sesepuh
Suladi bukan pejabat penting di desa itu. Namun, dia selalu ada saat aktivitas Merapi meningkat. Lewat ucapan dan ajakan, ia meminta masyarakat di daerah rawan pergi ke tempat aman demi memberi ruang bagi Merapi untuk menggeliat. Jejak mulianya terekam sejak erupsi tahun 1954 hingga 2010.
Kepala Desa Klakah Marwoto yang ikut dalam evakuasi pada siang itu mengatakan, pendekatan Suladi sangat diperlukan di masa rawan seperti saat ini. Masyarakat setempat sangat menghormati pitutur para sesepuh.
Alasannya, sosok sesepuh dipercaya memiliki hubungan dan ikatan batin yang kuat dengan simbah buyut Merapi. Pengalaman sekian lama menjalani hidup diselingi letusan Merapi membuat Suladi dipercaya warga setempat.
”Beliau berpegang pada kearifan lokal, tetapi juga tidak mengesampingkan ilmu pengetahuan dan imbauan pemerintah. Semua membuat warga sangat menghormati dan menjadikannya panutan,” kata Marwoto.
Akan tetapi, disanjung warga sekitar, Suladi tak ingin besar kepala. Dia merendah dengan mengatakan belajar memahami Merapi dari pengalaman erupsi sebelumnya.
Ditemui pada Sabtu (14/11/2020) di Boyolali, ingatan erupsi-erupsi itu masih akrab di ingatan Suladi. Sejak kecil, dia mengaku hidup berdampingan dengan ”Eyang” Merapi, sapaan akrab untuk gunung Merapi.
Salah satu momen yang dia ingat ialah erupsi pada tahun 1954. Saat itu, Senin (18/1/1954) siang, dia bersama beberapa tetangganya pergi meninggalkan rumah ditemani hujan abu pekat. Semua warga berjalan melewati jalan setapak yang masih berupa tanah ke arah Gunung Merbabu atau Magelang hanya dipandu obor bambu. Ketika itu, belum ada anjuran dari pemerintah untuk mengungsi jauh hari sebelum bencana terjadi.
Kemauan Suladi dan sebagian tetangganya untuk mengungsi membuat mereka selamat hingga kini. Berdasarkan catatan Kompas, ada 60-an warga Dusun Pencar yang meninggal karena tersapu awan panas Gunung Merapi.
Kedahsyatan erupsi kala itu kini hanya bisa dikenang pada sebuah jalan selebar lebih kurang 2,5 meter di Dusun Sumber, Desa Klakah, berjarak sekitar 2 kilometer dari puncak. Dusun yang dulunya bernama Pencar itu tak lagi dihuni oleh warga. Yang tersisa hanya lahan pertanian dan makam.
Pengalaman lainnya saat erupsi Merapi terjadi tahun 2010. Erupsi kala itu diklaim menjadi salah satu yang besar sepanjang sejarah Merapi. Seperti erupsi sebelumnya, Suladi sigap mengumpulkan semua anggota keluarga untuk bersiap mengungsi.
Tas berisi dokumen penting dan sejumlah uang sudah disiapkan. Dia dan keluarganya bahkan memilih bermalam di dalam mobil. Upaya ini untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu erupsi terjadi pada malam hari, mereka pun bisa segera tancap gas berangkat.
Beberapa warga ternyata tertarik mengikuti cara tersebut. Tak punya mobil, sebagian tidur dengan pintu tidak terkunci. Warga sadar, kesiapsiagaan harus dibangun dari rumah. Mitigasi ini dipelajarinya mengikuti naluri.
Suladi juga bersikap titen atau membaca tanda-tanda yang ada untuk memperkirakan kapan Eyang Merapi bakal ”menyelenggarakan hajatan”. Tanda-tanda yang dimaksudnya, antara lain, lindhu atau gempa lebih dari tujuh kali dalam sehari, hewan yang tinggal di Merapi mulai turun menjauhi puncak, dan ternak menjadi gelisah. Hal ini didapat dari hasil interaksi keseharian dengan tempat tinggalnya.
Akan tetapi, tanda-tanda tersebut tak bisa sepenuhnya dijadikan patokan. Suladi tak menjumpai tanda itu pada erupsi 2006 dan 2010. ”Terjadi begitu saja, mbotensaged niteni seperti zaman dulu,” ujarnya yang saat itu juga mendatangi rumah penduduk yang masih enggan mengungsi.
Oleh karena itu, Suladi tidak mau mengambil risiko. Pengalaman-pengalaman sebelumnya kian menyadarkannya untuk setia mengajak warga agar mengungsi jauh hari. Apalagi, kondisi pengungsian saat ini lebih memadai dan lengkap. Dulu wajar jika warga kebingungan ke mana harus mengungsi karena koordinasi belum bagus.
Saat ini, perkembangan teknologi dan pengetahuan berpotensi menyelamatkan nyawa. ”Masyarakat tak perlu ragu kalau diminta mengungsi. Kalau ada perintah, ya, berangkat, wong sing angel-angel kui bakal keri (orang yang ngeyel bakal tertinggal),” kata Suladi.
Kerendahan hati Suladi dalam berbagi pengalaman dan arahan membuat warga patuh. Parman (55), salah seorang warga, bersedia mengungsi setelah Suladi menuntun mereka ke pengungsian. Dalam beberapa pertemuan, dia kerap mendengarkan cerita Suladi dalam menghadapi erupsi.
Bergejolaknya aktivitas Merapi diyakini masyarakat setempat bahwa Eyang Merapi sedang ”menggelar hajatan” besar, maka tak boleh diganggu. Langkah Suladi mengajak warga mengungsi merupakan bentuk dukungan memberi ruang istimewa itu kepada Merapi.