Tahi Ayam
Warsih berusaha menahan diri agar emosinya tak meledak. Sebagai warga baru di kampung ini, ia berusaha menjaga sikap.
Warsih menatap dengan perasaan kesal ke arah tahi-tahi ayam yang berceceran di lantai keramik putih teras rumahnya. Tahi-tahi ayam yang baunya cukup menyengat itu berasal dari ayam-ayamnya Bu Broto, tetangga samping kiri, yang dibiarkan bebas berkeliaran sesuka hati. Sialnya, ayam-ayam yang hobi berkeliaran di halaman rumah Warsih belakangan ini, bila dihalau hanya pergi sebentar. Tak berselang lama ayam-ayam tak tahu diri itu akan muncul lagi. Lalu tanpa sepengetahuan Warsih dan Karman, suaminya, mereka akan bergerombol. Lalu naik ke teras rumah dan berak sesukanya di sana.
Warsih berusaha menahan diri agar emosinya tak meledak. Sebagai warga baru di kampung ini, ia berusaha menjaga sikap. Jangan mudah terpancing amarah dengan orang-orang yang belum begitu ia kenal. Ia harus tahu diri. Yang bisa ia lakukan adalah segera ke belakang untuk mengambil ember dan air. Dengan gayung warna biru tua di tangan, ia mengguyur perlahan-lahan lantai bekas tahi-tahi ayam itu. Keringat pun berleleran dari tubuh seusai mengepel lantai agar bersih kembali.
”Tahi ayam lagi, Bu?” tanya Karman, suami Warsih, yang sedang duduk sambil menikmati segelas kopi dan sebatang rokok saat Warsih sedang meletakkan ember kosong di dapur.
”Iya, Pak. Capek lama-lama kalau kayak gini terus,” Warsih menggerutu dengan raut menggurat lelah. Wajahnya yang masih basah oleh keringat disekanya dengan telapak tangan. Mendengar jawaban Warsih, Karman tampak terdiam sambil mengisap dalam-dalam rokok kreteknya sebelum kemudian menyemburkan asap putihnya ke udara.
”Menurut Bapak, kita harus gimana? Lama-lama makan hati kalau dibiarkan, Pak?”
Bapak tampak menghela napas, lalu berkata, ”Kalau Ibu pergi ke rumah Bu Broto, gimana? Jelaskan semuanya,” jawaban Bapak membuat Warsih dengan tegas menggeleng.
”Bapak saja yang ke sana, Ibu enggak berani,” tentu saja menolak karena ia cukup paham karakter Bu Broto yang menurut cerita orang-orang judes dan pelit. Memang, selama ini ia belum pernah berurusan dengan Bu Broto. Ia hanya pernah berpapasan sekali dan menyapa sekadarnya saat kebetulan lewat di depan halaman rumahnya. Warsih masih ingat saat ia menyapa Bu Broto yang tengah membersihkan rumput liar di pot-pot bunganya.
”Permisi, Bu,” sapa Warsih sambil tersenyum ramah kala itu.
Bu Broto hanya mengangkat wajah sebentar, mengangguk dengan tatapan dingin. Tanpa sedikit pun senyum terpoles dari kedua sudut bibirnya. Perihal sifat pelit Bu Broto, Warsih hanya mendengar dari cerita para tetangga. Bu Marni misalnya, tetangga belakang rumah itu pernah menceritakan wataknya beberapa hari lalu saat tengah belanja sayur di warung Bu Jamil. Jadi pada suatu hari, Bu Mirna hendak meminta daun pepaya untuk dibuat ramuan jamu pada Bu Broto. Kebetulan di depan halaman Bu Broto banyak ditumbuhi pohon pepaya dan jambu klutuk.
Bu Marni tak menyangka ternyata Bu Broto tak memperkenankan daun pohon pepayanya dipetik. Alasannya, nanti pepayanya sulit berbuah. Kaget bukan main, Bu Marni saat mendapat jawaban dengan nada ketus dari bibir Bu Broto.
”Padahal cuma daunnya lho, dasar orang kaya tapi pelit,” begitu komentar Bu Marni saat bercerita di warung Bu Jamil. Bu Jamil menanggapinya dengan tersenyum. Dalam hati, ia juga mengamini kalau Bu Broto orang yang pelit. Ia ingat saat Bu Broto belanja di warungnya dan tampak sangat perhitungan tiap beli sesuatu. Bahkan, uang kembalian seratus perak pun selalu diminta, tak mau diganti dengan sebiji permen atau minimal diikhlaskan. Bu Broto bahkan rela menunggu uang kembalian esoknya saat belanja ke warung lagi.
Selain Bu Marni, ada seorang tetangga yang begitu detail mengisahkan watak Bu Broto yang terkenal pelit dan berwajah judes. Dia adalah Yu Atun, perempuan 32 tahun yang telah 5 bulan menjadi rewang di rumah Bu Broto. Yu Atun memilih mengisi hari-harinya bantu-bantu di sana sebenarnya bukan karena butuh uang, sebab perihal uang ia sudah memiliki jatah yang cukup dari kiriman suaminya yang saat ini bekerja menjadi TKI di Taiwan. Yu Atun hanya bosan tinggal di rumah sendirian, sementara ia belum memiliki momongan. Maka, ketika Bu Broto memintanya agar tiap pagi hingga sore bekerja di rumahnya yang besar dengan pekarangannya yang cukup luas, ia langsung mengangguk senang.
Kepada para tetangga, Yu Atun selalu menjawab saat ditanya perihal watak Bu Broto yang memang pelit, judes, misterius, dan kadang memarahi Yu Atun saat pekerjaannya kurang berkenan di hatinya. Tebak Yu Atun, Bu Broto memiliki watak seperti itu karena merasa kesepian hidup di kampung sendiri. Suaminya telah lama meninggal dunia. Sementara kelima anaknya memilih hidup nyaman di kota dan hanya mudik saat hari raya tiba.
”Kok, kamu betah, sih, kerja di rumah Bu Broto?”
”Iya, kok mau-maunya kamu kerja di sana.”
”Ih, kalau aku, sih, ogah, ya?”
”Iya, aku juga ogah lihat wajah judesnya.”
Para ibu begitu bersemangat menyerbu Yu Atun dengan ujaran dan pertanyaan. Lantas, dengan enteng Yu Atun menjawab, ”Aku, sih, menikmati bekerja di rumah Bu Broto, justru watak judes dan pemarahnya itu lho, yang bikin aku merasa terhibur,” jawaban Yu Atun yang aneh itu sontak membuat para ibu itu saling pandang dengan raut takjub. Di lain hari, saat Yu Atun sedang ngendong atau main-main di rumah Bu Marni, ia pun tak luput dari cecaran Bu Marni yang wajahnya terlihat haus dengan kisah keseharian Bu Broto.
”Bu Broto hobi banget nonton televisi,” ujar Yu Atun saat Bu Marni merasa kepo dengan aktivitas Bu Broto saat di rumah.
”Pasti tontonan favoritnya sinetron, ya?” celetuk Watiyah yang waktu itu sedang berada di rumah Bu Marni.
”Kumenangiis, membayangkan...,” sahut Bu Marni menirukan lagunya Rossa yang kerap menjadi back sound sinetron Indosiar. Mereka bertiga secara kompak tertawa cekikikan.
”Ha-ha-ha bukan, ih! Bu Broto enggak suka sinetron. Beliau sukanya nonton... mmm, kasih tahu enggak, ya?” Yu Atun sengaja menggantung ucapan. Membikin Bu Marni dan Watiyah kian penasaran.
”Ih, jangan bikin penasaran, dong?”
”Kalian pasti enggak bakal percaya kalau aku kasih tahu tontonan favorit beliau,” Yu Atun senyam-senyum dengan wajah puas karena telah berhasil membuat raut wajah Bu Marni dan Watiyah sangat penasaran.
”Tahu enggak, Bu Broto itu suka begadang, karena beliau hobi nonton pertandingan sepak bola,” ucapan Yu Atun sukses membuat Bu Marni dan Watiyah saling bersitatap dengan bibir sama-sama melongo tak percaya.
***
”Gimana Pak, sudah ketemu Bu Broto?” cecar Warsih yang barusan mengepel lantai akibat tahi-tahi ayam yang lagi-lagi mengotori lantai teras rumah. Karman menggeleng.
”Belum ada waktu, Bu?”
”Belum ada waktu apa enggak berani?”
”Ha-ha-ha, kalau Ibu enggak sabar, Ibu saja yang bilang sana,”
”Ih, Bapak ngeselin,”
”Lha, iya tho?”
Warsih menghentikan obrolan saat melihat Yu Atun lewat di depan rumahnya. Rumah yang belum genap sebulan mereka huni. Mereka berdua terpaksa membeli rumah di kampung sebelah, karena rumah dan tanah kelahirannya ikut tergusur pembangunan jalan tol lintas selatan. Awalnya Warsih dan Karman berpikir merasa beruntung menemukan rumah tak terlalu besar, tapi cukup bagus yang dijual oleh pemiliknya dengan harga sangat terjangkau tersebut. Namun, ketika akhir-akhir ini banyak ayam berkeliaran di rumahnya, mereka jadi merasa tak nyaman.
”Yu Atun!” Warsih memanggil Yu Atun yang tengah menuju rumah Bu Broto.
”Eh, Mbak Warsih. Ada apa, Mbak?” ucap Yu Atun sambil mendekati Warsih yang kedua tangannya mencangking ember dan gayung. Kepada Yu Atun, Warsih menceritakan semua-muanya. Warsih meminta Yu Atun agar menyampaikan unek-uneknya kepada Bu Broto. Ia berharap Bu Broto segera mengurung ayam-ayamnya atau setidaknya tak membiarkannya berkeliaran dan meninggalkan tahi-tahi ayam di teras rumahnya. Yu Atun manggut-manggut paham dan berjanji akan menyampaikannya pada Bu Broto.
***
Pagi itu Warsih berniat belanja ke warung Bu Jamil yang berada di seberang jalan. Untuk sampai ke warung ia harus melewati jalan yang bersisian dengan halaman rumah Bu Broto. Dari jarak beberapa meter, Warsih melihat Bu Broto sedang sibuk menata pot-pot bunganya. Bu Broto langsung melengos saat melihat Warsih melewati halaman rumahnya. Padahal, Warsih berniat akan menyapa meski tak yakin bila sapaannya berbalas keramahan sebagaimana terjadi beberapa hari lalu. Jangan-jangan Yu Atun sudah menyampaikan unek-uneknya pada Bu Broto. Warsih bergumam-gumam sendiri.
Tak dinyana, saat berada di warung Bu Jamil, Yu Atun juga tengah belanja sayur-mayur di sana. Karena penasaran dengan sikap Bu Broto barusan, Warsih pun menanyakan pada Yu Atun, apakah unek-uneknya sudah disampaikan pada Bu Broto. Tentu saja ia bertanya saat mereka berdua sudah rampung belanja dan tengah berjalan menuju rumah masing-masing.
”Sudah kusampaikan kemarin,” jawab Yu Atun.
”Gimana responsnya?” raut Warsih tampak penasaran.
”Duh, gimana ngomongnya ya, Mbak.”
”Aku siap mendengar apa pun jawabannya.”
Yu Atun akhirnya bercerita. Saat ia menyampaikan unek-unek Warsih kepada Bu Broto, raut beliau langsung menegang. ”Tun, aku yang lebih dulu tinggal di sini, jadi suka-suka mau miara ayam dan melepasnya sesuka hati,” Yu Atun menirukan ucapan Bu Broto dengan gestur dan intonasi layaknya pemeran antagonis dalam sinetron yang kerap ia lihat. Terjawab sudah mengapa barusan Bu Broto langsung melengos saat melihat Warsih melewati rumahnya.
***
Ketika tiba di halaman rumah, Warsih melihat suaminya tengah sibuk menghalau puluhan ayam yang barusan naik ke lantai teras dengan menggunakan sapu ijuk. Ayam-ayam sialan itu tampak kocar-kacir, berlarian ke sana kemari dan akhirnya masuk ke pekarangan rumah Bu Broto. Warsih mendesah lelah saat menyaksikan tahi-tahi ayam berceceran di sana-sini. Kepalanya terasa berat memikirkan bagaimana caranya agar ayam-ayam itu tak masuk ke teras dan meninggalkan tahi ayam si sana.
Kepada suaminya, Warsih lantas bercerita perihal Yu Atun yang telah menyampaikan unek-uneknya kepada Bu Broto. Termasuk respons Bu Broto yang menurut Warsih egois. Tak mau peduli nasib dirinya yang sangat terganggu dengan ulah ayam-ayam piaraan Bu Broto yang hobi naik ke lantai teras dan berak sembarangan.
”Bu, aku punya ide, gimana kalau terasnya dikasih jaring-jaring, agar ayam-ayam Bu Broto enggak bisa masuk?”
”Ah, aku enggak setuju, Pak. Kesannya rumah kita jadi terlihat berantakan dan enggak enak dilihat,”
”Terus, gimana, dong?”
Keduanya terdiam sejenak. Tiba-tiba tebersit ide membuat pagar tembok di benak Warsih. Pikirnya, kalau rumahnya dikitari pagar tembok kan ayam-ayam piaraan Bu Broto tak bakal bisa masuk. Toh, Warsih dan suaminya masih memiliki uang cukup banyak dari hasil ganti rugi rumah dan tanahnya yang tergusur proyek pembangunan tol. Warsih tersenyum saat membayangkan ide yang menurutnya cemerlang itu. Baru saja ia akan mengutarakan idenya, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh cukup keras dan membuat Warsih dan Karman kaget dibuatnya.
”Pak, suara apa itu?”
”Sepertinya benda jatuh... aduh, jangan-jangan kelapa...,”
”Kelapa apa tho, Pak?”
Karman tak menjawab pertanyaan istrinya. Ia malah bergegas menuju ke belakang. Dugaan Karman benar, suara itu berasal dari tepi atap rumah bagian belakang. Atap berupa genteng warna coklat itu hancur berkeping akibat kejatuhan buah kelapa. Pohon kelapa milik Bu Broto itu memang tumbuh subur di tepi pembatas pekarangan rumahnya dan pekarangan rumah Bu Broto. Sialnya, pohon itu tumbuh dengan posisi melengkung ke arah tepian atap rumahnya.
”Masalah satu belum kelar, datang masalah lagi,” gumam Karman sambil menatap istrinya yang raut wajahnya kian terlihat muram.
Puring Kebumen, 22 Juli 2020
***
Sam Edy Yuswanto lahir dan berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya tersiar di berbagai media massa, seperti Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Riau Pos, dan Kedaulatan Rakyat. Tiga buku kumpulan cerpennya yang telah terbit: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, dan Impian Maya.