Aturan Baru Pungutan Ekspor Berpotensi Berdampak Positif
›
Aturan Baru Pungutan Ekspor...
Iklan
Aturan Baru Pungutan Ekspor Berpotensi Berdampak Positif
Selain tarif progresif mengikuti harga referensi, aturan baru pungutan ekspor kelapa sawit membedakan tarif antara produk mentah dan olahan. Aturan itu dinilai mendorong hilirisasi di dalam negeri.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menerbitkan aturan baru mengenai skema pungutan ekspor produk kelapa sawit yang nantinya dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Skema ini dinilai dapat berdampak positif terhadap ekosistem industri kelapa sawit nasional.
Skema baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 Tahun 2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Pemerintah mengundangkannya pada Kamis (3/12/2020) dan akan berlaku tujuh hari setelahnya.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 Bayu Krisnamurthi, skema pungutan baru bersifat progresif. ”Skema seperti ini memberikan lebih banyak dampak positif,” katanya saat dihubungi.
Berbeda dengan aturan sebelumnya, PMK Nomor 191/2020 menjadikan harga referensi sebagai acuan besaran pungutan. Harga referensi ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan bidang perdagangan.
Peraturan baru itu menyebutkan, tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) sebesar 55 dollar AS per ton ketika harga CPO 670 dollar AS per ton atau lebih rendah. Besaran pungutan meningkat ketika harga refensi naik. Harga referensi tertinggi di atas 995 dollar AS per ton dengan pungutan 255 dollar AS per ton.
Sementara untuk produk minyak sawit olahan (refined, bleached, and deodorized palm olein/RBD PO), pungutan ekspornya 35 dollar AS per ton jika harga referensi CPO sama dengan 670 dollar AS per ton atau lebih rendah. Apabila harga referensinya di atas 995 dollar AS per ton, pungutannya 202,5 dollar AS per ton.
Dengan perbedaan pungutan ekspor antara produk mentah dan olahan, menurut Bayu, aturan baru dapat mendorong hilirisasi. Industri pengolahan kelapa sawit terdorong untuk mengekspor produk olahan karena ada nilai tambah.
Dampak positif lainnya adalah tarif progresif menjaga stabilitas harga kelapa sawit. Menurut Bayu, harga CPO yang sudah dikenai pungutan ekspor minimal bergerak di kisaran 615-740 dollar AS per ton.
Terkait perbedaan antara harga solar dunia dan biodiesel yang berdampak pada penyaluran dana untuk program mandatori pencampuran biodiesel sebanyak 30 persen (B-30), Bayu mengusulkan agar ada penetapan batas subsidi yang dapat diberikan BPDPKS.
”Harga solar dan biodiesel merupakan faktor yang tidak bisa dikontrol, begitu pula harga CPO. Sementara batas subsidi dapat menjadi faktor yang dapat dikontrol,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan, menyoroti harga solar dunia sepanjang tahun 2020 yang bergerak di rentang yang lebih rendah dibandingkan harga biodiesel. Selisihnya 461 dollar AS per ton pada September 2020.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang menjadi landasan kerja BPDPKS menyebutkan, dana yang dihimpun dapat digunakan untuk menutup selisih antara harga indeks pasar bahan bakar minyak jenis solar dengan harga biodiesel. Selain itu, dana juga disalurkan untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit rakyat.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang memperkirakan produksi CPO pada tahun 2021 sebesar 49 juta ton. Apabila pemerintah berhasil menerapkan program B-30, harga CPO diperkirakan berkisar 750-850 dollar AS per ton. Namun, jika B-20 masih berlaku dan B-30 belum, harganya bergerak di rentang 600-700 dollar AS per ton.
Pada tahun 2021, jumlah ekspor CPO Indonesia diperkirakan 7,5 juta ton. Pasar ekspor utama CPO Indonesia adalah dari India, China, dan negara-negara di Afrika. Menurut Togar, perhitungan mesti dilakukan secara berhati-hati, mengingat potensi gelombang kedua pandemi Covid-19 di dunia.
Direktur Eksekutif Solvent Extractors’ Association (SEA) BV Mehta memperkirakan, impor CPO dan RBDPO India pada periode 2020-2021 akan meningkat hingga 7,5-8 persen. Namun, peningkatan ini bergantung pada situasi pandemi Covid-19 di India. Pandemi mengakibatkan permintaan hotel, restoran, dan kafe di India terhadap minyak kelapa sawit menurun.