Babak Baru Perundingan Damai Afghanistan dan Dilema Sulit bagi NATO
›
Babak Baru Perundingan Damai...
Iklan
Babak Baru Perundingan Damai Afghanistan dan Dilema Sulit bagi NATO
Pemerintah AFghanistan dan Kelompok Taliban membuat kemajuan dalam perundingan intra Afghanistan. Tapi, di lapangan, kekerasan masih terus terjadi, membuat penarikan pasukan Amerika Serikat menjadi dilema bagi NATO.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Sebuah kabar gembira datang dari Doha, Qatar, Rabu (2/12/2020) malam atau Kamis dini hari WIB. Utusan Khusus AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad dan jubir kelompok Taliban Mohammad Naeem mencuit tentang disepakatinya aturan dan prosedur perundingan intra Afghanistan antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban. Dokumen kesepakatan sebanyak tiga halaman ini akan jadi fondasi jalannya perundingan intra Afghanistan ke depan.
Dokumen itu merupakan hasil signifikan dalam proses perundingan yang alot. Mulai berunding sejak awal September lalu, tidak mudah bagi tim negosiator merumuskan kesamaan pandangan agar proses perundingan bisa terus berlanjut, lalu kedua pihak mulai merundingkan masalah yang bisa mengakhiri perang puluhan tahun di Afghanistan dan menentukan masa depan negara itu pascaperang.
Khalilzad, dalam serangkaian cuitannya pada Kamis dini hari WIB berharap, kedua pihak segera merundingkan peta jalan politik Afghanistan dan gencatan senjata permanen. “Rakyat Afghanistan sekarang mengharapkan kemajuan pesat pada peta jalan politik dan gencatan senjata. Kami memahami keinginan mereka dan kami mendukung mereka,” cuit Khalilzad.
"(Kesepakatan) ini merupakan langkah penting dalam proses yang pada ujungnya menghasilkan kesepakatan damai yang bertahan lama dan inklusif di Afghanistan," demikian pernyataan bersama menlu Indonesia, Jerman, Norwegia, dan Uzbekistan.
"Kami mendorong kedua pihak terus saling berhubungan dengan penuh kepercayaan, konstruktif, dan siap mencapai titik temu. Kami mengimbau kedua pihak memprioritaskan penghentian kekerasan."
Menlu AS Mike Pompeo, yang menandatangani nota kesepahaman damai dengan Taliban pada 29 Februari lalu menyambut baik kesepakatan tersebut. “Saat negosiasi tentang peta jalan politik dan gencatan senjata permanen dimulai, kami juga akan bekerja keras dengan semua pihak untuk mencapai pengurangan kekerasan yang serius,” katanya.
Harapan Pompeo tentang berakhirnya kekerasan menjadi harapan banyak pihak, termasuk rakyat Afghanistan. Namun, sebelum muncul berita adanya kesepakatan tentang aturan dan prosedur perundingan intra Afghanistan, Rabu sore, terjadi ledakan di Kabul, Afghanistan dan melukai staf Kedutaan Besar Rusia.
Tiga hari sebelumnya, tepatnya Minggu (29/11), sebanyak 34 orang tewas dan belasan luka-luka dalam ledakan yang terjadi di dua tempat terpisah. Di Provinsi Ghazi, sebanyak 31 orang tentara tewas setelah sebuah kendaraan militer penuh dengan bahan peledak menabrak bangunan markas militer dan memicu ledakan hebat.
Di tempat lain, pelaku bom bunuh diri menyerang konvoi kendaraan pejabat parlemen setempat. Menurut juru bicara pemerintah setempat, Gul Islam Sial, sedikitnya tiga orang tewas dan melukai puluhan orang, termasuk anak-anak dalam peristiwa tersebut.
Dilema
Kondisi keamanan yang tidak menentu dan kekerasan bersenjata yang terus menelan korban jiwa, terutama warga sipil, menjadi dilema tersendiri bagi NATO. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengakui, pihaknya kini tengah menghadapi dilema.
“Kami menghadapi dilema yang sulit. Apakah akan pergi, dan berisiko bahwa Afghanistan sekali lagi menjadi tempat berlindung yang aman bagi teroris internasional atau tetap tinggal dan mengambil risiko misi yang lebih lama, dengan kekerasan yang terus terjadi,” kata Stoltenberg, Senin (30/11).
Kini pasukan NATO berjumlah 11.000 orang, sebagian besar berasal dari Eropa dan negara mitra. Mereka bertugas melatih dan memberi masukan kepada pasukan keamanan Afghanistan. Aliansi itu sangat bergantung pada militer AS untuk dukungan udara, transportasi, dan logistik. Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk hanya menyisakan 2.500 anggota militer AS di Afghanistan membuat NATO limbung. Keputusan Trump ini membuat Mark Esper, menteri pertahanan AS, dipecat.
Penarikan pasukan AS dinilai Dubes AS untuk NATO Kay Bailey Huthcison tidak akan mengurangi kekerasan bersenjata. “Kami tidak berpikir Taliban akan menepati janjinya sesuai perjanjian. Kekerasannya terlalu tinggi, dan rakyat Afghanistan serta tentara Afghanistan telah membayar mahal,” kata dia.
Kepala Staf Gabungan Militer AS Jenderal Mark Milley meyakini, meski dirinya menyebut personel pasukan AS hanya menyisakan 2.500 anggotanya di Afghanistan sebagai sebuah kebuntuan strategis, keberadaan militer AS selama dua dekade terakhir di negara itu setidaknya telah mencapai sedikit kesuksesan mencegah wilayah tersebut menjadi sarang kelompok teroris.
"Untuk sebagian besar, kami telah, setidaknya sampai saat ini, berhasil mencegah hal itu terjadi lagi. Kami percaya bahwa sekarang setelah 20 tahun, dua dekade upaya yang konsisten di sana kami telah mencapai sedikit kesuksesan,” kata Milley.
Miley mengatakan, lima sampai tujuh tahun terakhir, di lapangan telah terjadi kebuntuan strategis: kedua pihak tidak bisa saling mengalahkan. Satu-satunya cara agar perang bisa berakhir--dengan cara yang selaras dengan kebutuhan keamanan AS--adalah melalui jalan perundingan.
"Apa yang terjadi setelah itu, itu tergantung pada pemerintahan baru. Kita akan mengetahuinya setelah 20 Januari dan seterusnya," katanya. (AP/AFP)