Pasung Korupsi dan Dinasti Politik Klaten
Pilkada tahun ini harus menjadi momentum bagi masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, untuk memimpin calon pemimpin yang bersih. Jangan sampai bayang kasus korupsi yang pernah terjadi kembali terulang.
Empat tahun silam, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, diguncang kasus korupsi yang melibatkan sang kepala daerah. Kasus itu merebak dalam bayang dinasti politik di daerah agraris antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Solo tersebut. Saatnya memilih calon yang bersih agar lepas dari pasung korupsi.
Pada 30 Desember 2016, warga Klaten dikejutkan operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kabupaten itu. Dalam operasi tersebut, KPK menangkap Bupati Klaten saat itu, Sri Hartini, bersama tujuh orang lainnya. Selain itu, KPK juga menyita uang Rp 2 miliar serta 5.700 dolar Amerika Serikat dan 2.035 dolar Singapura.
Setelah penangkapan itu, KPK menetapkan Sri Hartini sebagai tersangka dugaan suap terkait promosi dan mutasi jabatan di Kabupaten Klaten. Dalam kasus itu, ia disangka sebagai penerima suap. Selain itu, KPK juga menetapkan Suramlan, kepala seksi SMP pada Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten waktu itu sebagai tersangka karena diduga memberikan suap pada Sri Hartini.
Sri Hartini pun menjalani proses hukum dan kasusnya disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jateng. Pada 20 September 2017, dia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 11 tahun penjara serta denda sebesar Rp 900 juta. Majelis hakim menilai Sri Hartini terbukti menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 12,88 miliar terkait jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten.
Baca juga: Bupati Klaten Divonis 11 Tahun Penjara
Sri Hartini terpilih sebagai bupati Klaten pada pilkada tahun 2015. Sebelumnya, dia menjabat sebagai Wakil Bupati Klaten periode 2010-2015. Sri Hartini juga merupakan istri dari almarhum Haryanto Wibowo, Bupati Klaten periode 2000-2005. Dalam Pilkada 2015, Sri Hartini berpasangan dengan Sri Mulyani yang merupakan istri dari Sunarna, Bupati Klaten periode 2005-2015.
Setelah memenangi Pilkada Klaten tahun 2015, pasangan Sri Hartini dan Sri Mulyani seharusnya menjabat sebagai bupati dan wakil bupati pada periode 2016-2021. Namun, Sri Hartini harus kehilangan jabatan bupati setelah tersandung kasus korupsi. Setelah Sri Hartini ditangkap dan divonis bersalah, jabatan Bupati Klaten diemban Sri Mulyani.
Penangkapan Sri Hartini oleh KPK merupakan kado pahit yang barangkali belum bisa dilupakan sebagian masyarakat Klaten hingga kini. Kasus yang menjerat Sri Hartini itu juga harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar kasus korupsi tak kembali terjadi di Klaten.
Dinasti politik
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, mengatakan, kasus korupsi yang terjadi di Klaten tidak bisa dilepaskan dari kuatnya aroma dinasti politik di daerah seluas 655,56 kilometer persegi tersebut. ”Klaten, korupsi, dan dinasti (politik) itu tidak terpisahkan. Jadi, korupsi yang terjadi di Klaten itu salah satu faktor penyebabnya adalah dinasti politik,” ujarnya, Senin (23/11/2020).
Zaenur menjelaskan, keberadaan dinasti politik di suatu daerah akan membuat kekuasaan terpusat di keluarga tertentu saja. Penumpukan kekuasaan itu berpotensi menyebabkan pengawasan terhadap pemerintahan yang dilakukan lembaga legislatif ataupun kelompok masyarakat tidak berjalan baik.
Baca juga: Dinasti Politik dan Banalitas Korupsi
Agar korupsi di Klaten tidak terus terulang, Zaenur berpendapat, ada beberapa hal yang mesti dilakukan masyarakat di kabupaten itu. Salah satunya masyarakat harus menolak praktik politik uang dalam pilkada. Sebab, pejabat yang terpilih karena menjalankan praktik politik uang berpotensi melakukan korupsi untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan.
Klaten, korupsi, dan dinasti itu tidak terpisahkan. Jadi, korupsi yang terjadi di Klaten itu salah satu faktor penyebabnya adalah dinasti politik.
”Korupsi itu terjadi karena motif. Salah satu motif korupsi yang paling kuat adalah untuk mengembalikan modal politik. Jadi, ketika ada politik uang, kemungkinan pejabat terpilih melakukan tindak pidana korupsi menjadi sangat besar karena kebutuhan untuk mengembalikan modal,” ujar Zaenur.
Di sisi lain, kelompok-kelompok masyarakat juga harus aktif mengawasi kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten Klaten. Zaenur berpendapat, selama ini, tindak pidana korupsi kerap berkait dengan tiga hal, yakni pengadaan barang dan jasa, perizinan, serta pengisian jabatan. Oleh karena itu, tiga hal tersebut harus diawasi secara ketat untuk mencegah terjadinya korupsi.
Ironisnya, korupsi di Klaten terjadi di tengah kemiskinan daerah yang masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Klaten, persentase penduduk miskin di Klaten tahun 2019 sebesar 12,28 persen. Persentase itu memang menurun dibandingkan 2018 sebesar 12,96 persen. Namun, angka itu masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata persentase penduduk miskin Jateng sebesar 10,80 persen.
Bahkan, jika dibandingkan dengan enam kabupaten lain di wilayah Solo Raya, persentase penduduk miskin di Klaten merupakan yang tertinggi kedua setelah Kabupaten Sragen. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah penduduk miskin, Klaten justru menduduki peringkat pertama di Solo Raya dengan jumlah penduduk miskin sekitar 144.000 orang.
Baca juga: Bupati Klaten Bantah Gunakan Bansos Terkait Covid-19 untuk Kampanye
Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Klaten pada 2019 mencatat, di wilayah itu masih terdapat 43 desa yang masuk klasifikasi desa tertinggal dan enam desa sangat tertinggal. Dari 26 kecamatan di Klaten, hanya delapan kecamatan yang seluruh wilayahnya tidak masuk kategori desa tertinggal ataupun sangat tertinggal.
Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Mulyanto, mengatakan, untuk mengatasi persoalan kemiskinan di Klaten, perlu pemetaan potensi di setiap desa. Berdasarkan pemetaan itu, Pemkab Klaten dapat mengetahui potensi ekonomi di setiap wilayah yang bisa dioptimalkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
”Seharusnya Pemkab Klaten melihat potensi wilayah. Kalau suatu wilayah tidak punya potensi pertanian, mungkin sektor lain bisa dikembangkan di wilayah itu, misalnya perdagangan, industri, atau wisata,” ujar Mulyanto.
Sebab, soal pemanfaatan potensi lokal, Klaten bukan tanpa contoh. Desa Ponggok di Kecamatan Polanharjo, misalnya, selama beberapa tahun terakhir, berhasil menjadi desa wisata yang maju karena mampu mengelola umbul atau sumber air di desa itu menjadi obyek wisata yang ramai dikunjungi para wisatawan. Dari wisata, pengelolaan ekonomi meluas ke sektor-sektor usaha lain yang mengangkat kesejahteraan warga.
Baca juga: Mengapa Tidak 10 Ponggok Baru?
Kontestasi
Kondisi ini yang mesti dijawab para calon kepala daerah Klaten mendatang. Pilkada Klaten tahun ini diikuti tiga pasangan calon. Pasangan nomor urut satu adalah Sri Mulyani, calon bupati petahana; serta Yoga Hardaya yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Dua partai itu menguasai 26 dari total 50 kursi DPRD Klaten.
Pasangan nomor urut dua adalah One Krisnata dan Muhammad Fajri yang diusung Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Gerindra. Tiga partai itu memililiki 13 kursi di DPRD Klaten. Keduanya adalah politisi.
Adapun pasangan nomor urut tiga adalah Arif Budiyono dan Harjanta. Mereka diusung Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Nasdem yang mempunyai 11 kursi di DPRD Klaten. Arif adalah ASN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mengundurkan diri untuk ikut Pilkada Klaten. Adapun Harjanta merupakan bekas kader PDI-P Klaten.
Dalam acara debat publik Pilkada Klaten, Jumat (20/11/2020), Sri Mulyani berjanji akan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan antikorupsi. Untuk mewujudkan hal itu, dia berjanji melakukan reformasi birokrasi melalui beberapa langkah, misalnya lelang jabatan dan uji kompetensi. ”Kami juga akan menguatkan aktivitas pencegahan korupsi,” katanya.
One Krisnata mengatakan, jika terpilih menjadi bupati Klaten, dirinya akan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembangunan. One meyakini, banyak warga Klaten yang cerdas sehingga bisa berpartisipasi memajukan kabupaten itu. ”Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat adalah program yang akan kami kejar,” ujarnya.
Kasus korupsi yang pernah mencoreng Klaten seyogianya menjadi pelajaran bagi calon kepala daerah ini mendatang.
Sementara itu, Arif Budiyono berjanji memajukan Klaten melalui upaya kolaborasi dan inovasi. Untuk mewujudkan janji itu, Arif mengatakan, tata kelola pemerintahan di Klaten harus diperbaiki. Selain itu, dia juga berjanji akan menata penggunaan lahan (land use) di Klaten. ”Kami akan membangun Klaten dengan penuh kesungguhan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tegasnya.
Kasus korupsi yang pernah mencoreng Klaten seyogianya menjadi pelajaran bagi calon kepala daerah ini mendatang. Narasi kesuksesan Desa Ponggok harus menjadi pelecut bagi nakhoda pemerintahan selanjutnya untuk kreatif mendorong ekonomi rakyat melalui kepemimpinan bersih dan transparan.