Ekonomi Tahun Depan Pulih Bersyarat
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal, syarat utamanya adalah vaksinasi dan disiplin protokol Covid-19. Sinergi pemerintah dengan pemangku kepentingan ekonomi dan moneter perlu terus diperkuat.
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi Indonesia dinilai telah melewati titik terendah setelah dihantam pandemi Covid-19 sepanjang tahun ini. Tahun depan, perekonomian diperkirakan tumbuh 4,8-5,8 persen. Namun, vaksinasi dan disiplin protokol Covid-19 merupakan syarat utama optimalnya pemulihan ekonomi nasional tersebut.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memproyeksikan, pada 2021, ekonomi Indonesia bisa tumbuh di kisaran 4,8-5,8 persen. Faktor-faktor pendukung pertumbuhan ini, antara lain, peningkatan kinerja ekspor, konsumsi swasta dan pemerintah, serta investasi portofolio dan penanaman modal asing (PMA) secara langsung.
”Aliran investasi diproyeksi akan semakin deras sebagai respons positif terhadap Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja. Pertumbuhan di seluruh wilayah juga akan meningkat, khususnya Jawa dan wilayah Indonesia timur, yakni Sulawesi, Maluku, Papua,” kata Perry saat membuka Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2020 ”Bersinergi Membangun Optimisme Pemulihan Ekonomi” yang digelar secara virtual, Kamis (3/12/2020).
Menurut Perry, stabilitas ekonomi makro pada 2021 akan terjaga dengan inflasi yang terkendali sesuai sasaran 2-4 persen. Nilai tukar rupiah akan bergerak stabil dan berpotensi menguat. Neraca pembayaran juga akan surplus, didukung defisit transaksi berjalan yang rendah berkisar 1-2 persen produk domestik bruto (PDB).
Perry juga menekankan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal, syarat utamanya adalah vaksinasi dan disiplin protokol Covid-19. Meningkatnya mobilitas manusia karena vaksinasi bisa menopang konsumsi yang selama ini menjadi kontributor utama PDB.
”Berhentinya kasus penularan Covid-19 akan mempermudah implementasi sejumlah kebijakan, seperti pembukaan sektor produktif, percepatan realisasi stimulus fiskal, dan peningkatan penyaluran kredit untuk dunia usaha,” tuturnya.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal, syarat utamanya adalah vaksinasi dan disiplin protokol Covid-19.
Selain itu, lanjut Perry, sinergi pemerintah dengan pemangku kepentingan ekonomi dan moneter perlu terus diperkuat. Sinergi itu penting guna mengimplementasikan sejumlah kebijakan, seperti pembukaan sektor produktif dan aman, percepatan realisasi stimulus fiskal, peningkatan kredit kepada dunia usaha, serta digitalisasi ekonomi dan keuangan, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
BI akan terus menggulirkan stimulus kebijakan moneter secara terukur untuk mendukung pemulihan ekonomi tahun depan, di antaranya suku bunga yang akan tetap rendah hingga muncul tanda-tanda tekanan inflasi meningkat dan melanjutkan pembelian surat berharga negara dari pasar perdana untuk pembiayaan APBN 2021 sebagai pembeli siaga.
Baca juga: Masih Ada Risiko yang Dihadapi pada 2021
Perry menambahkan, BI juga akan terus mengakselerasi implementasi cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 dan mempercepat pendalaman pasar uang sesuai cetak biru pendalaman pasar uang (BPPU) 2025. Caranya adalah dengan mendukung pengembangan ekonomi-keuangan syariah dan UMKM dan terus aktif dalam berbagai forum internasional dari sisi kebijakan internasional.
”Dengan begitu, kami optimistis stabilitas sistem keuangan juga semakin membaik dengan rasio permodalan yang tinggi, rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah, serta pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit yang masing-masing meningkat 7-9 persen pada 2021,” tuturnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, untuk membuat pemulihan ekonomi pada 2021 semakin optimal, OJK telah memperpanjang program restrukturisasi kredit dari sebelumnya hingga 2022. ”Dengan program tersebut, bank tak perlu khawatir mengenai peningkatan rasio kredit bermasalah,” ujarnya.
Ia pun optimistis proses transmisi penurunan suku bunga acuan BI terhadap suku bunga kredit akan optimal pada 2021. Data OJK menunjukkan, pada Agustus 2020, rata-rata suku bunga kredit konsumsi di bank umum 11,13 persen, turun tipis dari bulan lalu 11,16 persen. Suku bunga kredit modal kerja sebesar 9,44 persen, berkurang dari sebelumnya 9,47 persen. Adapun suku bunga kredit investasi sebesar 9,16 persen, turun dari sebelumnya 9,21 persen.
Sementara itu, DBS Bank memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2020 minus 2 persen. Ekonomi diperkirakan baru akan pulih pada 2021 dengan pertumbuhan 4 persen. Pemulihan ekonomi ini juga masih dibayangi tren inflasi rendah yang diproyeksikan sebesar 2 persen pada 2020 dan 2,2 persen pada 2021.
”Indonesia menjadi salah satu negara Asia yang perekonomiannya paling tertekan karena kasus Covid-19 terus naik. Stimulus fiskal berkelanjutan dibutuhkan, tetapi harus dibarengi penyerapan lebih optimal dan tepat waktu,” kata Chief Economist and Managing Director DBS Bank Taimur Baig.
Indonesia menjadi salah satu negara Asia yang perekonomiannya paling tertekan karena kasus Covid-19 terus naik. Stimulus fiskal berkelanjutan dibutuhkan, tetapi harus dibarengi penyerapan lebih optimal dan tepat waktu.
Ketimpangan
Pandemi Covid-19 tidak hanya menekan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperlebar jurang ketimpangan. Masalah ketimpangan akan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat dan menghambat pemulihan masa depan.
Ekonom senior dan Menteri Keuangan periode 2012-2013, Chatib Basri, mengingatkan, Indonesia berisiko mengalami tren pemulihan ekonomi menyerupai huruf K. Kelompok menengah atas akan naik kelas, sementara kelompok menengah bawah turun kelas. Akibatnya, ketimpangan semakin melebar.
Kelompok menengah atas akan selamat dari krisis Covid-19 karena memiliki tabungan yang cukup dan akses internet yang mumpuni. Mereka juga mampu mentransformasikan dirinya ke dunia digital. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok menengah bawah yang serba terbatas.
”Risikonya akan ada pemulihan ekonomi berbentuk huruf K di mana yang akan selamat dari pandemi Covid-19 adalah kelompok menengah atas,” kata Chatib dalam webinar Konferensi Nasional Perpajakan, Kamis.
Baca juga: Chatib Basri: Ada Potensi Risiko, Hanya Kelompok Menengah Atas yang Selamat
Pada Maret 2020, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019. Sementara rasio gini yang menunjukkan ketimpangan di Indonesia, per Maret 2020 sebesar 0,381. Angka ini lebih tinggi 0,001 dari September 2019. Rasio gini berkisar 0-1. Semakin mendekati 1, menandai ketimpangan semakin lebar.
Data kemiskinan dan ketimpangan terbaru ini sekitar satu bulan sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia, yakni pada 2 Maret 2020. Garis kemiskinan pada Maret 2020 adalah Rp 454.652 per kapita per bulan.
Sementara itu, dalam Pertemuan Tahunan BI, Presiden Joko Widodo mengatakan, kerja keras dan pengorbanan dalam menangani pandemi Covid-19 selama sembilan bulan terakhir telah menunjukkan hasil positif. Ini tampak pada perbaikan indikator di bidang kesehatan dan ekonomi.
Meski begitu, Presiden mengajak semua pihak untuk fokus bergerak ke depan sekaligus keluar dari pandemi. Salah satunya dengan mempersiapkan vaksin dan program vaksinasi secara cermat.
”Kita harus bergerak cepat karena masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Kita akan dihadapkan pada besarnya jumlah pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja pada masa pandemi. Kita menghadapi besarnya angkatan kerja yang memerlukan lapangan kerja,” kata Presiden.
Baca juga: Presiden Jokowi: Kita Akan Berhadapan dengan Besarnya Jumlah Pengangguran
Badan Pusat Statistik dalam Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 mencatat, sebanyak 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19. Jumlah pengangguran meningkat 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang dibandingkan dengan Agustus 2019. Upah pekerja rata-rata juga turun 5,18 persen menjadi Rp 2,76 juta per bulan.
Presiden juga meminta, dalam situasi krisis ini, setiap pihak harus mampu bergerak cepat dan tepat. ”Buang jauh-jauh egosektoral dan egosentrisme lembaga. Jangan membangun tembok tinggi-tinggi, berlindung di balik otoritas masing-masing. Kita harus berbagi beban, berbagi tanggung jawab untuk urusan bangsa dan negara,” tuturnya.