Implementasi Pasal Ujaran Kebencian Dinilai Salah Kaprah
›
Implementasi Pasal Ujaran...
Iklan
Implementasi Pasal Ujaran Kebencian Dinilai Salah Kaprah
Substansi Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang seharusnya untuk melindungi kelompok lemah justru dipakai sebagai alat penekan dari pihak yang berkuasa.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Implementasi pasal ujaran kebencian, yaitu Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, dinilai salah kaprah. Substansi pasal yang seharusnya untuk melindungi kelompok lemah justru dipakai sebagai alat penekan dari pihak yang berkuasa.
Hal ini disampaikan Widati Wulandari, dosen Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, dalam diskusi daring ”Membaca Putusan Jerinx: Bahaya UU ITE Berlanjut”, Jumat (4/12/2020), yang diselenggarakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Widati mengatakan, adanya pasal ujaran kebencian dalam UU ITE dibuat berdasarkan semangat untuk melindungi kaum minoritas. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah meratifikasi Artikel 20 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Artikel 4 Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) yang menyatakan, ujaran kebencian atas dasar kebangsaan, agama, ras yang berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang hukum.
Ia menjelaskan, alur berpikirnya adalah ada benang merah dalam ujaran kebencian, yaitu ekspresi seperti gambar atau kata-kata, lalu hasutan, dan ditujukan kepada kelompok tertentu. Untuk melindungi kelompok yang lemah karena identitas yang bersifat permanen, seperti ras atau kebangsaan, ini lalu diadakan pasal ujaran kebencian. ”Oleh karena itu, yang paling penting adalah melihat ujaran kebencian ini dalam konteks hak asasi manusia,” katanya.
Namun, dalam implementasinya, pasal kebencian itu kemudian memakan korban, terutama mereka yang kritis. Orang-orang yang mengkritisi sistem kerap dituduh telah melakukan ujaran kebencian.
Widati tidak heran, masyarakat kemudian merasa ada yang salah dalam pasal ini. Ia bahkan menggarisbawahi, dalam Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, ada kelompok ”antar-golongan”, yang diterjemahkan terlalu lentur dalam hukum Indonesia. Akibatnya, menghasilkan putusan-putusan yang tidak adil.
”Orang jadi bertanya, apakah betul orang yang menyatakan kekesalannya bisa dituduh melakukan hate speech?” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, tujuan pemidanaan sebenarnya untuk memulihkan keadaan. Akan tetapi, adanya ujaran kebencian yang terlalu gampang dikenai pasal pidana, menurut dia, terasa berlebihan. Adanya ucapan kritis, seperti Jerinx yang mengkritisi soal tes cepat Covid-19, bisa diatasi dengan komunikasi, sosialisasi, atau pendekatan yang lain. ”Pidana bukan untuk atributif atau balas dendam,” katanya.
Menurut Taufik, Pasal 28 Ayat (2) UU ITE memang harus ditinjau kembali. Dalam implementasinya, seharusnya ada konteks HAM yang dimasukkan, mulai dari penyelidikan. Dengan demikian, pasal itu bisa tetap melawan ujaran kebencian, tetapi diberi batasan-batasan dalam konteks pemahaman HAM.
”Selalu harus ada wakil dari Komnas HAM untuk dihadirkan sebagai saksi ahli, misalnya,” katanya.
Muhammad Arsyad, Kepala Subdivisi Paguyuban Korban UU ITE Safenet, mengatakan, UU ITE berbahaya karena digunakan untuk membungkam orang-orang yang kritis dengan kerangka yang terlalu subyektif.
Ia memberikan beberapa contoh, seperti dosen di Aceh yang mempertanyakan dosen yang tidak mumpuni dengan menggunakan kata ”pimpinan”. Dekan kemudian mengadukan dosen itu dan dosen dikenai pasal ujaran kebencian.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, seseorang yang mengkritisi anak wali kota juga dikenai Pasal 28 UU ITE karena hakim mendefinisikan ”anak wali kota” sebagai golongan. Di Surabaya, Jawa Timur, bahkan seorang konsumen yang kecewa dengan produk kosmetik dikenai pasal yang sama. Hal yang sama dialami Jerinx. ”Dasarnya terlalu subyektif, tidak jelas,” ucap Arsyad.
Pengacara Jerinx, I Wayan Gendo Suardana, mengatakan, Jerinx mengkritik Ikatan Dokter Indonesia karena adanya banyak korban yang sulit mendapat pelayanan rumah sakit akibat persyaratan tes cepat. Tidak ada motivasi ingin membuat masyarakat membenci dokter.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu yang dipidana karena mengkritik pelayanan sebuah rumah sakit, UU ITE terus memakan korban.
Musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia maya kali ini bukan hanya Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, melainkan ada ”tamu” baru, yaitu delik ”kesusilaan” dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE dan delik ”ujaran kebencian” dalam Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Pengaturan yang masih sangat karet jadi alasan.
Korban pun berjatuhan. Baiq Nuril, perempuan korban pelecehan seksual yang akhirnya menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo, menjadi tamparan keras pada problem rumusan dan praktik penggunaan pasal-pasal pidana dalam UU ITE. Terakhir, perdebatan mencuat ketika Jerinx, seorang musisi yang mengkritik persoalan tes cepat Covid-19 pada sebuah organisasi yang kredibel, justru dijawab dengan pidana.
Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan, sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE, penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, mencapai 88 persen (676 perkara).
Laporan terakhir Safenet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.
Sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, prodemokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama. ”Bahaya laten pembungkaman terpapar jelas dalam pasal-pasal pidana UU ITE. Semua bisa kena, hari ini mereka, besok bisa jadi kita,” kata Erasmus.