Pemahaman Keliru Warga soal Covid-19 Menghambat Pelacakan
›
Pemahaman Keliru Warga soal...
Iklan
Pemahaman Keliru Warga soal Covid-19 Menghambat Pelacakan
Persentase tes PCR untuk mendeteksi Covid-19 di Sampang dan Pamekasan merupakan dua terendah bila dibandingkan jumlah penduduk di seluruh Provinsi Jawa Timur. Warga di dua daerah ini kebanyakan menolak dites PCR.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya penolakan warga dan minimnya inisiatif pemerintah daerah menjadi akar rendahnya tes PCR di dua kabupaten di Madura, yaitu Pamekasan dan Sampang. Masih banyak warga menolak bahkan mengancam hingga mengintimidasi petugas demi menghindari tes Covid-19.
Upaya pemerintah setempat untuk mengikis pemahaman salah ini nyaris tak ada selain promosi standar. Bahkan, pemerintah daerah sudah memperbolehkan aktivitas-aktivitas yang mengumpulkan orang.
Mobil tim Kompas sempat didekati warga di perbatasan Sampang-Pamekasan yang mengatakan dengan nada tinggi bahwa Covid-19 sebenarnya tidak ada. ”Saya tidak mau kalau disuruh tes Covid-19. Katanya berbahaya tes Covid-19 itu. Takutnya yang lebih raja-rajanya Covid-19 katanya. Digratisin juga enggak mau. Enggak mau. Pokoknya informasinya banyak enggak mau. Emang Covid-19 enggak ada. Kalau ada, buktinya mana?” kata Ahmad Wahyudi (43), warga Kelurahan Bunder, Pamekasan, Kamis (5/11/2020).
Kepala Desa Mandangin, Sampang, Saiful Anam mengatakan, di Mandangin, orang tidak menghiraukan protokol kesehatan ataupun saat diminta tes Covid-19. Sebab, sebagian besar warga yang berpofesi sebagai nelayan itu tidak percaya adanya Covid-19.
”Ya, pandangan orang Mandangin tidak percaya itu Covid-19. Kan begini, orang sesak napas kok Covid-19, begitu. Padahal, kan, bisa penyakit bawaan. Covid-19 atau tidak, kalau sudah waktunya mati, ya mati gitu,” katanya.
Persentase tes PCR untuk mendeteksi Covid-19 di Sampang dan Pamekasan merupakan dua terendah bila dibandingkan jumlah penduduk di seluruh Provinsi Jawa Timur. Kapasitasnya juga sangat jauh di bawah standar minimal WHO, yaitu 1 tes untuk 1.000 penduduk per pekan.
Saat ini, kedua kabupaten di Madura itu sudah berstatus resiko rendah atau kuning. Sekolah sudah dibuka dengan kapasitas 50:50. Warga terlihat sudah banyak berkumpul tanpa masker baik di jalanan, pasar, hingga masjid. Acara Maulid Nabi digelar dengan meriah dan dihadiri warga ramai.
Kabupaten Sampang, menurut data Satuan Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Jawa Timur sebagaimana tercantum di laman infocovid19.jatimprov.go.id, hingga Sabtu (14/11/2020), hanya terdata 577 tes PCR dan 7.534 tes rapid serologi. Padahal, berdasarkan sensus penduduk BPS tahun 2017, jumlah warga Sampang sebanyak 958.082 jiwa.
Dengan jumlah penduduk ini, menurut syarat minimal WHO, seharusnya Kabupaten Sampang melakukan setidaknya 959 orang per pekan. Bahkan, angka pengukuran tersebut tak bertambah selama dua pekan terakhir atau tidak ada pengetesen PCR sama sekali dalam dua pekan tersebut.
Adapun di Kabupaten Pamekasan, data menunjukkan hanya ada 752 tes PCR sejak 3 November dan 7343 tes rapid serologi. Hingga dua pekan kemudian, angka itu juga tak bertambah. Jumlah penduduk Pamekasan, menurut data BPS dari sensus 2017 sebanyak 863.004 jiwa, seharusnya jumlah minimal pengetesan PCR di kabupaten di Pulau Madura itu 863 jiwa per pekan.
Pelakasan Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan Ahmad Marzuki mengatakan, rata-rata pengambilan swab untuk tes PCR di Pamekasan hanya sekitar 10 sampel per pekan. Pengambilan sampel swab PCR ini dilakukan hanya bila ada pasien yang mengindikasikan tertular Covid-19. Tidak ada pengambilan sampel swab PCR secara masif.
Saat ada warga yang terindikasi, swab pun hanya akan diambil saat pasien itu bersedia. Sampel diambil di salah satu dari dua rumah sakit rujukan di kabupaten itu, yaitu RSUD dr Slamet Martodirdjo Pamekasan dan RSU Mohammad Noer Pamekasan yang berada di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Alasan jumlah tes yang sangat sedikit dari standar WHO ini, kata Marzuki, karena tingginya penolakan warga terhadap tes Covid. Petugas kesehatan banyak mengalami intimidasi dan ancaman saat melakukan tindakan terkait Covid-19.
Sejumlah tindakan intimidasi itu di antaranya pembakaran baju hazmat untuk pemakaman warga yang hasil tes PCR menunjukkan positif Covid-19, ancaman pembakaran puskesmas saat akan dilakukan tracing di suatu desa, pengepungan rumah bidan desa, ancaman senjata tajam celurit saat akan dites, hingga ancaman akan menggelar unjuk rasa di desa lain.
”Dalam tracing ini, sebenarnya petugas puskesmas kami minta tidak putus asa, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Kami tetap harus memprioritaskan keselamatan tenaga kesehatan,” katanya di kantornya.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr H Slamet Martodirjo Pamekasan dr Syaiful Hidayat mengatakan, setidaknya ada 50 persen pasiennya yang masuk dengan indikasi Covid-19 menolak tes Covid dan isolasi. Dengan demikian, ia menduga angka penderita Covid-19 Pamekasan sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang berhasil terdeteksi.