Komarudin Ibnu Mikam dan Gerakan Edukasi Kampung
Komarudin Ibnu Komar sejak 2017 mendirikan Sekolah Alam Prasasti, di Kampung Piket Indah, Sukatenang, Bekasi. Di sekolah itu, ia merekrut para pelajar dari anak-anak yang tak beruntung.
Belasan anak duduk membentuk lingkaran di bawah naungan pepohonan rindang di Desa Sukatenang, Sukawangi, Kabupaten Bekasi, Selasa (24/11/2020) siang. Para bocah itu irit bicara lantaran sibuk dan saling berlomba untuk terlebih dahulu menyelesaikan santapan yang ada di piring masing-masing.
Di hadapan mereka berdiri Komarudin Ibnu Mikam (49) yang mengawasi anak-anak itu makan. Bagi anak-anak yang rata-rata masih berusia di bawah 10 tahun itu, lelaki yang berdiri di hadapan mereka tak hanya dianggap sebagai orangtua, tapi juga berperan menjaga dan merawat mimpi mereka.
Komar mulai mendamping anak-anak itu pada 2016 setelah ia mendirikan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Ia bertekad kembali mengabdi membangun Bekasi dari kampung setelah bertahun-tahun berkecimpung di berbagai lembaga swadaya masyarakat, komunitas sosial, aktivitas kebudayaan, hingga partai politik.
"Saya menyimpulkan untuk kembali. Kembali sebagai apa adanya kita. Kembali sebagai orang kampung," kata Komar.
Upaya Komar membangun Bekasi dimulai dari Kampung Piket Indah, Desa Sukatenang. Ia mendirikan sekolah Alam Prasasti. Wujud fisiknya berupa tiga tiga bangunan sederhana tanpa dinding. Di sekolah itu, belasan anak-anak dari keluarga tak beruntung belajar. Secara keseluruhan, sejak 2017 atau sejak sekolah itu mulai beroperasi hingga kini jumlah siswa yang belajar di tempat itu mencapai 85 orang.
Baca juga: Dedi, Eko, dan Setitik Surga di Kawasan Industri
Siswa sekolah alam itu terdiri dari anak yatim piatu, anak yang bermasalah dengan keluarga, atau anak putus sekolah karena kenakalannya selama duduk di bangku sekolah konvensional. Selain itu, ada sebagian pelajar yang datang dari keluarga tak mampu atau anak-anak yang melewatkan masa sekolahnya demi membantu orangtua mencari nafkah. Para pelajar itu mengeyam pendidikan secara cuma-cuma. Komar tak memungut biaya sedikit pun.
Sistem pembelajaran di tempat itu fleksibel. Potensi desa, mulai kebiasaan warga, seni tradisi, adat-istiadat, permainan tradisional, hingga sawah, ternak, dan sungai beserta isinya menjadi sumber pengetahuan mereka. Anak-anak itu belajar beratapkan langit dan menyatu dengan alam sekitar.
"Kami bisa bahagia berjemur atau mandi matahari sambil belajar apa saja yang membuat bahagia. Toh, orang belajar, tujuannya untuk mencapai kebahagian," ucap Komar.
Model pembelajaran berbasis kampung kaya akan nilai-nilai kemasyarakatan seperti gotong royong dan kemandirian. Anak-anak diajarkan untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan mandiri dalam menyelesaikan konflik yang mucul di antara sesama mereka.
Permainan tradisional di kampung secara alami membangun proses interaksi sosial. Potensi konflik yang muncul di antara sesama anak juga diselesaikan secara mandiri melalui berbagai jenis permainan, mulai dari permainan benteng, galah asin, dampu, dan geprak bambu.
"Ini model pendidikan yang diajarkan orang kampung untuk anak-anak kampung. Di masyarakat kota, permainan yang dominan itu gadget. Masing-masing (orang) di kamarnya, di tempatnya. Tak ada interaksi sosial di sana," tutur Komar.
Para pelajar Sekolah Alam Prasasti, Kampung Piket Indah, Desa Sukatenang, Sukawangi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, saat belajar bersama di saung sekolah mereka pada, Selasa (24/11/2020) siang. Anak-anak itu merupakan anak yang sempat putus sekolah, anak yatim piatu, atau anak dari keluarga miskin.
Ruang hidup
Ide mendirikan sekolah tidak terlepas dari latar belakang Komar yang aktif dalam kegiatan kebudayaan, menulis, dan pembangunan motivasi. Lewat sekolah itu ia ingin turut berperan membangun generasi bangsa yang berkarakter, patuh pada ajaran agama, mencintai lingkungan dan alam sekitar, serta tak melupakan identitas atau jati diri sebagai orang kampung yang berbudaya.
Baca juga: Eklin Amtor de Fretes, Menembus Sekat Segregasi dengan Dongeng
"Saya memutuskan mendirikan sekolah alam karena menurut saya lebih cocok untuk wilayah ini. Dari sarana prasarana, tidak membutuhkan biaya besar, kami apa adanya. Konsep ini juga sangat membantu anak-anak yang kurang mampu karena mereka tak harus punya seragam atau fasilitas pendidikan yang lengkap dan mahal," ucap Komar.
Hal lain yang turut mengusik batin Komar untuk membangun sekolah alam, yakni meluasnya pembangunan di Bekasi. Masifnya pembangunan, termasuk perluasan kawasan industri dan perumahan kian mengancam sumber hidup masyarakat kampung.
"Saya merasakan fenomena masyarakat setiap hari terancam. Hak kita untuk bahagia tereduksi oleh pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang ada malah menimbulkan pemanasan global, bencana ekologis," ucap Komar.
Pemerintah daerah dinilai tak memiliki strategi untuk menyiapkan pembangunan dengan konsep berkelanjutan atau ramah lingkungan. Alih fungsi lahan kini jadi hal biasa dengan dalil meraih pendapatan asli daerah atau menopang pertumbuhan ekonomi daerah.
Baca juga: Toni Artaka, Anggrek yang Menggerakkan Konservasi Hutan
Padahal, kata Komar, sejarah mencatat, Bekasi termasuk daerah yang berkontribusi dalam menjaga lumbung pangan nasional. Namun, yang terjadi saat ini, ada proses konversi atau alih fungsi lahan yang masif. Lahan pertanian kian berubah jadi perumahan atau kawasan industri. Sawah berubah menjadi hutan beton.
"Ini menjadi persoalan yang berlipat-lipat dan hampir setiap hari intensitasnya bertambah, mulai dari kesehatan, ekonomi, ekologis, termasuk nanti persoalan-persoalan kebudayaan. Ujungnya, proses pembangunan ini adalah penggerusan budaya," ujar Komar.
Koneksi jadi aset
Mimpi turut berkontribusi bagi keberlanjutan bangsa dengan mendirikan sekolah alam dilalui Komar dengan susah payah. Namun, semua mimpi itu perlahan berjalan berkat koneksi yang telah ia rawat bertahun-tahun. Pertemanan menjadi aset tak ternilai yang dimiliki Komar.
Segala kebutuhan untuk membangun sekolah alam datang dari berbagai pihak, mulai dari pengusaha, aktivis, pegiat sosial, politisi, akademisi, hingga pemerintah daerah. Bantuan yang diterima beragam, mulai dari biaya pembebasan lahan sekolah seluas 3.200 meter hingga penyediaan sarana belajar, seperti saung termasuk biaya transportasi para pengajar di sekolah itu.
Di awal sekolah itu berdiri, pengajar yang direkrut merupakan masyarakat sekitar desa, mulai pengurus wilayah, tokoh agama, hingga pemuda-pemudi kampung tamatan sekolah menengah atas. Bahkan, sebagian pengajar merupakan para pelajar yang juga sedang mengemban pendidikan di bangku sekolah menegah atas.
Untuk pengajar yang masih sekolah, Komar berusaha mendorong mereka untuk terus melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Sejauh ini, para pengajar yang terlibat membimbing dan membina siswa-siswa di sekolah alam mulai dari tingkat TPQ, TK, SD, SMP, dan SMA masih sebatas sukarela. Tak ada upah bulanan.
"Pengajar yang terlibat tidak ada biaya apapun, hanya uang transportasi. Jumlahnya hanya sekitar Rp 500.000 per bulan," kata Komar.
Baca juga: Yohan Wijaya Membuat Limbah Sabut Kelapa Melanglang Buana
Untuk pengajar yang masih sekolah, Komar berusaha mendorong mereka untuk terus melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Sejauh ini, para pengajar yang terlibat membimbing dan membina siswa-siswa di sekolah alam mulai dari tingkat TPQ, TK, SD, SMP, dan SMA masih sebatas sukarela. Tak ada upah bulanan.
"Pengajar yang terlibat tidak ada biaya apapun, hanya uang transportasi. Jumlahnya hanya sekitar Rp 500.000 per bulan," kata Komar.
Secara keseluruhan, apa yang dilakukan Komar adalah semacam gerakan dari kampung untuk kebaikan anak bangsa.
Komarudin Ibnu Mikam
Lahir: Bekasi, 20 Januari 2020
Pendidikan terakhir: Universitas Ibnu Chaldun Jakarta (Tidak selesai).
Pekerjaan: Penulis dan Pembangunan Motivasi