Bupati Banggai Laut Diduga Korupsi untuk Biaya Kampanye
›
Bupati Banggai Laut Diduga...
Iklan
Bupati Banggai Laut Diduga Korupsi untuk Biaya Kampanye
Sekalipun ditahan KPK dan berstatus tersangka, Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo tetap bisa ikut dalam Pilkada Banggai Laut 2020 dan dipilih 9 Desember mendatang. Atas penindakan oleh KPK itu, PDI-P pecat Wenny Bukamo.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamo yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi ditengarai melakukan korupsi untuk biaya kampanyenya dalam Pemilihan Kepala Daerah Banggai Laut 2020. KPK menyatakan, koruptor yang menyebabkan kerugian saat negara dan rakyat kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 bakal dituntut maksimal.
Wenny yang merupakan politisi PDI-P maju kembali sebagai calon bupati dalam pemilihan bupati/wakil bupati Banggai Laut 2020. Ia ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada Kamis (3/12/2020). Ia diduga menerima hadiah atau janji terkait pengadaan barang atau jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banggai Laut tahun anggaran 2020.
”Dalam tahap penyelidikan, kita melihat indikasi bahwa uang yang terkumpul ini dimaksudkan untuk digunakan dalam biaya-biaya kampanye ataupun kemungkinan digunakan untuk serangan fajar dan lain sebagainya. Itu barangkali indikasinya ke situ,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/12/2020).
Nawawi menambahkan, KPK belum menemukan dan menelusuri lebih mendalam, apakah sudah ada yang digunakan untuk kepentingan kampanye. Namun, indikasi awal bahwa perbuatan tersebut sebagai upaya pemenangan dalam kampanye sudah ada.
Dalam OTT ini, KPK mengamankan 16 orang di Banggai Laut dan Kabupaten Luwuk. KPK telah menetapkan Wenny sebagai tersangka penerima suap. Begitu pula orang kepercayaan Wenny dan Komisaris Utama PT Alfa Berdikari Group Recky Suhartono Godiman serta Direktur PT Raja Muda Indonesia Hengky Thiono.
Adapun Komisaris PT Bangun Bangkep Persada Hedy Thiono, Direktur PT Antarnusa Karyatama Mandiri Djufri Katili, dan Direktur PT Andronika Putra Delta Andreas Hongkiriwang ditetapkan sebagai tersangka pemberi.
Nawawi menjelaskan, Wenny diduga memerintahkan Recky untuk membuat kesepakatan dengan para rekanan yang mengerjakan beberapa proyek infrastruktur, di antaranya peningkatan sejumlah ruas jalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Banggai Laut.
Wenny juga diduga mengondisikan pelelangan di Banggai Laut dengan Basuki Mardiono selaku Kepala Dinas PUPR dan Ramli Hi Patta selaku Kepala Bidang Cipta Karya Kabupaten Banggai Laut.
Lebih dari Rp 1 miliar
Agar bisa menang dan kembali mendapatkan proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Banggai Laut tahun anggaran 2020, rekanan sepakat menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk commitment fee kepada Wenny melalui Recky dan Hengky.
Melalui pengondisian tersebut, diduga ada pemberian sejumlah uang dari beberapa pihak rekanan kepada Wenny yang jumlahnya bervariasi, Rp 200 juta sampai dengan Rp 500 juta.
Setelah pekerjaan oleh pihak rekanan sudah berjalan, Wenny meminta kepada Basuki dan Idhamsyah Tompo selaku kepala BPKAD agar mempercepat pencairan pembayaran beberapa rekanan tersebut.
Sejak September sampai dengan November 2020, terkumpul uang sejumlah lebih dari Rp 1 miliar yang dikemas di dalam kardus yang disimpan di rumah Hengky. Pada 1 Desember 2020, Hengky bersama Hedy dan beberapa pihak lainnya datang menemui Wenny di rumahnya dan dalam pertemuan tersebut Hedy melaporkan uang sudah siap dan sudah berada di rumah Hengky untuk diserahkan kepada Wenny.
Nawawi menegaskan, sejak awal Pilkada 2020, KPK telah menjalin kerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri untuk menjaga pilkada berintegritas.
KPK akan menindak tegas pelaku korupsi yang melakukan perbuatannya di masa pandemi covid-19. Situasi pandemi akan menjadi alasan bagi KPK untuk menuntut maksimal.
Tetap ikut pilkada
Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Wenny tetap bisa mengikuti Pilkada 2020. Komisioner KPU, Hasyim Asyari, mengatakan, Wenny tetap sah sebagai calon karena tak ada aturan di UU Pilkada bahwa status tersangka bisa menggugurkan calon.
Keikutsertaan tersangka dalam pilkada pernah pula terjadi pada Pilkada 2018, persisnya dalam Pilkada Tulung Agung dan Maluku Utara.
Jika kemudian di pilkada Wenny terpilih, ia tetap akan dilantik sebagai kepala daerah. Pemberhentian sementara baru akan dijatuhkan jika status Wenny berubah menjadi terdakwa. Adapun pemberhentian tetap baru akan dijatuhkan setelah Wenny diputuskan bersalah sesuai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Untuk diketahui, pemungutan suara Pilkada 2020 akan digelar 9 Desember mendatang.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, menyatakan, partai memberikan sanksi tegas terhadap Wenny berupa sanksi pemecatan.
”Kami sudah membentuk tim hukum untuk mempelajari persoalan tersebut dan mendengarkan penjelasan dari KPK. Prinsip partai tidak memberikan toleransi terhadap tindakan korupsi,” kata Hasto.
Biaya politik tinggi
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, kepala daerah melakukan korupsi karena mental korup dan ketamakan personal. Mereka memanfaatkan jabatannya sebagai medium untuk memperkaya diri dan memperbesar kekuasaan.
Selain itu, korupsi bisa terjadi karena kebutuhan dana yang besar untuk pembiayaan pilkada yang kebanyakan diperlukan untuk pos-pos ilegal yang tak mampu dijangkau oleh skema pengawasan dan penegakan hukum, seperti dana untuk mahar politik dan politik uang.
Kaderisasi dan perekrutan politik yang tidak berjalan demokratis, membuat setiap kerja-kerja pemenangan yang perlu menggerakkan mesin dan struktur partai hanya bisa dilakukan dengan uang.
Sebab, ada keterputusan ideologis antara struktur dan basis partai dengan calon yang diusung oleh partai. Alhasil, ikatan politik itu tidak bisa terbangun secara alamiah, melainkan selalu digerakkan praktik yang cenderung transaksional.
Untuk mencegah hal serupa terjadi lagi, menurut Titi, pencalonan kepala daerah harus dibuat lebih aksesibel dengan menurunkan syarat pencalonan, penguatan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye, pembatasan belanja atau pengeluaran dana kampanye, pengaturan dan penegakan hukum yang tegas atas praktik politik transaksional, serta pengawasan yang efektif atas kinerja kepala daerah oleh sistem pengawasan pemerintahan yang ada.
Selain itu, kata Titi, perlu ada perbaikan di dalam partai. ”Reformasi kepartaian mendesak untuk dilakukan. Karena hulunya ada di partai,” ujarnya.
Hal lain yang juga penting, perekrutan calon kepala/wakil kepala daerah secara transaksional berkontribusi besar dalam menciptakan perilaku korup dari pimpinan daerah dengan tujuan untuk mengembalikan modal politik yang sudah dikeluarkan.
Karena itu, skema pembiayaan partai oleh negara dengan penguatan akuntabilitas pengelolaannya perlu dipikirkan serius sehingga partai bisa berbenah dan tidak sekadar dikendalikan segelintir orang untuk memperoleh keuntungan.
Titi menegaskan, momen pembahasan RUU Pemilu yang sedang berlangsung di DPR saat ini di mana pengaturan pilkada masuk di dalamnya harus menjadi momentum untuk membenahi persoalan ini.
Mencari formula pendanaan politik yang lebih transparan dan murah, penguatan kaderisasi dan perekrutan calon, serta skema penegakan hukum yang menjamin efektivitas dan keadilan. Jika tidak dimulai dari aturan main kompetisinya, akan semakin sulit untuk bisa diperbaiki.