Para petugas kesehatan di daerah berjibaku demi meningkatkan tes PCR sebagai bagian dari penanganan pandemi. Ada yang nomor ponsel pribadinya dijadikan pusat pengaduan Covid-19 hingga kehilangan waktu libur.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/DHANANG DAVID ARITONANG/IRENE SARWINDANINGRUM/HARRY SUSILO
·4 menit baca
Lima belas menit sudah lewat dari waktu istirahat pegawai di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Akan tetapi, Adi Nugroho masih sibuk. Ia baru saja menerima kotak es berisi 31 sampel spesimen hasil tes usap atau swab dari Puskesmas Bojong, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Rabu (4/11/2020).
Seusai menandatangani keterangan penerimaan, Adi mengenakan sarung tangan karet. Kemudian memeriksa identitas peserta tes usap yang tertempel di tabung viral transport medium (VTM) dan mencocokkannya dengan lembaran data yang ia terima, satu per satu. Setelah tuntas, kotak disimpan ke dalam lemari es.
Tersimpannya spesimen tidak berarti tugasnya selesai. Berselang beberapa menit, ada sopir yang menghampirinya, melapor akan segera pergi ke Laboratorium Mikrobiologi Molekuler Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof Dr Margono Soekarjo, Banyumas, Jawa Tengah, untuk mengantarkan spesimen. Tak lama, teleponnya berdering. Petugas dari salah satu puskesmas menghubunginya, berkoordinasi perihal penyelenggaraan tes usap.
Sejak Maret lalu, epidemiolog Dinkes Purbalingga itu memang menjadi sangat sibuk. Tugasnya menumpuk, tak hanya yang terkait dengan jabatannya. Semua yang berhubungan dengan pandemi Covid-19, mulai dari mengorganisasikan penyelenggaraan tes usap di 22 Puskesmas, menginput data, hingga melayani aduan masyarakat seputar Covid-19.
Saat ini konsep jam kerja sudah tidak relevan bagi Adi. Seusai beraktivitas di kantor sejak pagi hingga malam, ia masih perlu mengerjakan tugas atau sekadar berjaga khawatir ada warga yang butuh bantuan. Sebab, nomor ponsel pribadinya dijadikan sebagai call center Covid-19 Purbalingga.
Ya, sejak awal pandemi, Adi berinisiatif menjadikan nomor ponsel pribadinya sebagai call center Covid-19 Purbalingga karena tidak ada nomor yang disediakan khusus. ”Dari awal pandemi, nomor saya terpajang di baliho di seluruh Purbalingga,” ujar Adi sambil tertawa.
Sejak saat itu, panggilan dan pesan tidak henti-henti masuk ke ponsel Adi. Pagi, siang, sore, malam, ada saja yang menghubungi. Selain petugas atau warga setempat, warga Purbalingga yang tinggal di kota lain pun kerap menghubunginya ketika terdampak Covid-19.
Alhasil, ia kerap tidak tidur demi menuntaskan pekerjaan. Terutama dua bulan ini, Purbalingga tengah menggenjot pelacakan kasus Covid-19. Sebanyak 22 puskesmas diminta melacak kasus dan kontak erat dengan penderita Covid-19, kemudian mengetes usap semua orang yang berkaitan.
Tes usap digencarkan demi mencapai standar WHO, yakni mengetes 1 per 1.000 penduduk setiap pekan. Sebagai gambaran, pada Juni 2020, jumlah tes PCR hanya 207 tes sebulan atau rata-rata 52 tes per pekan. Padahal, seharusnya 943 tes per pekan sesuai standar WHO.
Setelah tes usap digencarkan, selama rentang waktu 1-21 Oktober jumlah tes PCR di Purbalingga mencapai 1.698 tes atau rata-rata 566 tes per pekan.
Tenaga pendata
Beban kerja pencatatan naik drastis seiring dengan gencarnya pelacakan dan tes usap. Pada Maret-Agustus, tes usap dilaksanakan terhadap 60-100 warga per minggu, begitu pula pencatatannya.
Sementara itu, saat ini data yang harus dicatat jauh lebih banyak. Sehingga Pemerintah Kabupaten Purbalingga membutuhkan tenaga tambahan, salah satunya dari relawan. ”Rata-rata ada 250 data peserta yang harus dientri dalam sehari,” kata Rosha Yudha (28), tenaga penginput data di Dinkes Purbalingga.
Oleh karena itu sebagai satu-satunya tenaga penginput data, Rosha bekerja setidaknya 12 jam per hari. Sepulang dari kantor, tidak jarang masih melanjutkan pekerjaan di rumah.
Selain sistem yang terbatas, alat kerja yang mendukung Rosha juga terbilang sederhana. Ia dibekali sebuah laptop usang. Bekerja di aula yang digunakan sebagai ruang kerja karena sebagian gedung Dinkes tengah direnovasi. Ketimbang kantor, aula itu lebih mirip gudang.
Kendati demikian, ia tetap bersemangat. Bagi Rosha, kesempatan menjadi relawan membuatnya memahami bagaimana pandemi dikelola. Pekerjaan ini juga membuatnya lebih sadar akan situasi kesehatan masyarakat sesungguhnya. Oleh karena itu, waktu kerja yang tak berbatas bukan masalah bagi Rosha.
”Menyenangkan sih karena saya jadi tahu proses penanganan Covid-19, mulai dari pelacakan, tes, entri data. Dari data itu juga terpantau sebenarnya berapa kasus yang sudah ada,” kata Rosha.
Kesibukan para petugas penelusuran, pelacakan, dan pengelolaan data tes usap PCR di Purbalingga hanya sebagian kecil dari kondisi nasional. Secara umum, kekurangan tenaga juga banyak terjadi di daerah lain.