Jumlah piutang negara yang harus segera ditagih mencapai Rp 75,3 triliun. Guna mengefektifkan penagihan, Kementerian Keuangan memberikan wewenang kepada kementerian/lembaga untuk menagih piutang di bawah Rp 8 juta.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai piutang negara yang harus segera ditagih mencapai Rp 75,3 triliun. Angka itu berasal dari 59.514 berkas kasus. Guna mengefektifkan penagihan, piutang dengan nilai di bawah Rp 8 juta dapat dilakukan langsung oleh kementerian/lembaga terkait.
Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Lukman Effendi mengatakan, berkas piutang senilai Rp 75,3 triliun sudah dilimpahkan ke Kementerian Keuangan. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu, nilai piutang negara tercatat meningkat.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2019 yang dirilis BPK, piutang yang dijadwalkan akan diterima dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan setelah pelaporan (piutang jangka panjang) mencapai Rp 56,9 triliun. Piutang bersumber dari kementerian/lembaga, bendahara umum negara, dan pemerintah.
”Di satu sisi, nilai piutang negara terus berkembang. Namun, di sisi lain, penagihan piutang negara dihadapkan tantangan yang tidak mudah,” kata Lukman, Jumat (4/12/2020).
Menurut Lukman, penagihan piutang negara terkendala masalah dokumen, keberadaan debitor, dan jaminan. Banyak kasus piutang terjadi di masa lalu dan berkasnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Selain itu, penagihan piutang negara sulit dilakukan karena debitor hilang, pindah, atau meninggal.
Jika dokumen dan debitor tidak bermasalah, pemerintah kerap kesulitan menagih piutang negara karena jaminan bermasalah. Misalnya, jaminan adalah aset dalam sengketa atau nilainya jauh lebih rendah. Berbagai tantangan itu acap kali menyebabkan piutang negara tidak tertagihkan.
Untuk mengefektifkan penagihan utang negara, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163 Tahun 2020 Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga, Bendahara Umum Negara, dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara pada 21 Oktober 2020.
Lukman mengatakan, PMK No 163/2020 memberikan wewenang kepada kementerian/lembaga untuk menagih piutang negara yang nilainya di bawah Rp 8 juta. Selama ini, seluruh penagihan piutang negara dilimpahkan ke Kementerian Keuangan, mulai dari bernilai ratusan ribu rupiah hingga triliunan rupiah.
Selain bernilai paling tinggi Rp 8 juta per penanggung utang, kementerian/lembaga dapat menagih piutang negara yang tidak memiliki barang jaminan, piutang sengketa di pengadilan negara, piutang yang dikembalikan atau ditolak panitia urusan piutang negara (PUPN).
”Kementerian/lembaga harus bertanggung jawab dalam mengelola piutang, tidak hanya asal membuat piutang. Harapannya, potensi piutang negara yang tidak tertagih semakin kecil,” kata Lukman.
Kasus piutang
Beberapa kasus piutang negara yang mencuat ke publik, antara lain, piutang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya dalam kasus lumpur lapindo, serta piutang putra mantan Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta mengatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan BPK untuk menagih piutang ke perusahaan Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya. Penagihan piutang negara terus diupayakan kendati sangat alot.
”Yang kita minta sekarang ini adalah pembayaran tunai. Pembayaran tunai opsi pertama bagi kami,” kata Isa.
Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan, Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara Rp 1,91 triliun. Pengembalian uang negara itu merupakan pokok, bunga, dan denda atas pinjaman dana talangan akibat luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.
Adapun piutang Bambang Trihatmodjo ke negara bermula dari penyelenggaraan SEA Games XIX Tahun 1997. Saat itu, Bambang menjabat sebagai ketua konsorsium swasta penyelenggara SEA Games XIX. Namun, konsorsium swasta itu kekurangan dana sehingga mendapat dana talangan dari pemerintah.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menambahkan, BPK telah memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan kepada pemerintah agar pengendalian intern semakin efektif serta pelaksanaan kegiatan dan program lebih ekonomis, efektif, dan efisien. Rekomendasi ditunjukkan untuk mencegah kerugian negara.
Terkait piutang, BPK merekomendasikan Direktur Jenderal Pajak segera memutakhirkan sistem informasi dalam memastikan validitas data Piutang Pajak dan Penyisihan atas Piutang Pajak serta memastikan Piutang Pajak Bumi Bangunan yang terintegrasi dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.