Siasat Memelihara Kepuasan Lidah dan Kestabilan Harga
Urusan lidah jangan sampai menimbulkan inflasi berkepanjangan. Persoalan volatilitas harga cabai merah di Jambi perlu disiasati lewat berbagai upaya terobosan.
Bagi masyarakat Jambi, cabai merah adalah makanan pokok. Sampai-sampai muncul istilah bukan makan nasi pakai sambal cabai, melainkan makan sambal berlauk nasi.
Tradisi mengonsumsi cabai merah sudah seperti makanan pokok. Sayangnya, kebutuhan yang tinggi di pasar belum seiring oleh ketersediaan pasokan yang memadai.
Harga cabai merah alhasil kerap melonjak dengan cepat. Kerentanannya membawa komoditas cabai merah menjadi penyumbang tertinggi inflasi di provinsi itu.
Berdasarkan data Bank Indonesia Perwakilan Jambi, sejak September hingga awal Desember 2020, kenaikan inflasi terbilang tajam. Inflasi di Jambi bahkan mencetak rekor tertinggi se-Sumatera sekaligus melampaui rata-rata inflasi nasional.
Inflasi di Provinsi Jambi pada November mencapai 0,56 persen. Bandingkan dengan rata-rata inflasi Sumatera sebesar 0,46 persen dan rata-rata nasional 0,28 persen. Daerah lain yang mendekati inflasi Jambi adalah Sumatera Barat sebesar 0,52 persen dan Bengkulu 0,35 persen.
Baca juga : Harga Cabai Rawit Perlahan Turun Jadi Rp 30.000
Kenaikan inflasi berjalan seiring meroketnya harga cabai merah. Dari awalnya Rp 15.000 per kilogram, merangkak naik menuju Rp 20.000 pada Oktober. Menjelang pertengahan November, kenaikan harga seakan berlari. Satu kilogram cabai merah kini sekitar Rp 50.000. Bahkan, di wilayah timur Jambi, harga cabai merah lebih mahal lagi.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jambi Suti Masniari Nasution menyebutkan, hal ini bukan kali ini saja. ”Dalam enam tahun terakhir, cabai merah telah menjadi komoditas utama penyumbang inflasi di Jambi,” katanya dalam rapat virtual High Level Meeting Tim Pengendali Inflasi Daerah Provinsi Jambi, Kamis (2/12/2020). Rapat itu dihadiri Penjabat Gubernur Jambi Restuardy Daud serta kepala daerah di Jambi dan satuan-satuan kerja terkait.
Sepanjang tahun ini saja, frekuensi kontribusinya pada pergerakan inflasi mencapai 30 kali hingga awal Desember. Persentase kontribusi itu 24,77 persen alias tertinggi di antara 10 komoditas penyumbang utama inflasi. Melampaui kontribusi daging ayam ras, angkutan udara, bawang merah, telur ayam, beras, hingga tarif ilstrik.
Suti juga menjelaskan faktor-faktor lain penyumbang inflasi di Jambi, seperti kenaikan tarif angkutan udara menyusul aktivitas ekonomi dan mobilitas antarwilayah yang meningkat seiring terbukanya pembatasan sosial. Selain itu, faktor curah hujan menyebabkan beberapa komoditas sayuran dan bahan pangan lainnya mengalami kerusakan.
Jambi sebenarnya merupakan sentra tanam potensial cabai di Sumatera. Bahkan merupakan salah satu dari peringkat ke-10 provinsi penghasil cabai merah terbesar nasional. Tahun 2015, produksinya 30.342 ton (BPS). Penanaman paling luas di Kabupaten Kerinci dan Merangin lebih dari 4.000 hektar. Namun, sebagian produksi itu memasok kebutuhan daerah tetangga, yakni Sumatera Barat.
Baca juga : Barang Bergejolak Kontributor Utama Inflasi November 2020
Sementara, pasokan cabai merah di Kota Jambi selain dari produksi lokal juga dari wilayah Jawa. Ketika pasokan berkurang, harga dengan cepat meroket dan memicu terjadi inflasi.
Karena itu, perlu ada siasat. Persoalan volatilitas harga cabai merah memerlukan upaya terobosan. Terkait itu, Bank Indonesia Perwakilan Jambi telah mengupayakan intervensi lewat Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) di sentra tanam cabai merah di Desa Sumber Agung, Kecamatan Sungal Gelam, Kabupaten Muaro Jambi.
Program pengembangan kluster cabai merah di desa itu dimulai lewat pembenahan praktik budidaya hingga pengolahan menuju hasil produk-produk turunan. Lewat produk turunan, petani tak perlu risau lagi ketika harga cabai anjlok di pasaran. Sebab, cabai kering dan olahan lebih stabil harganya. Begitu pula di masyarakat, tak perlu lagi merisaukan soal pasokan cabai.
Peneliti Institut Pertanian Bogor, Firdaus, mengatakan, pada wilayah yang tingkat kebutuhannya tinggi, ketersediaan pangan perlu disiasati. Jika produksi di lahan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya, perlu ada upaya khusus. Terkait cabai merah, pemerintah daerah agar mendorong penyediaan rumah-rumah pendingin untuk mengawetkan cabai. Bisa juga lewat pengembangan produksi cabai kering sehingga bisa berumur panjang.
Terobosan seperti itu telah mengubah kebiasaan masyarakat di negara lain tak lagi harus mengosumsi cabai segar. Pada sejumlah negara di Asia, seperti Thailand dan Pakistan, konsumsi cabai merahnya juga tinggi. Namun, cabai-cabai kering olahan telah diterima oleh masyarakatnya sehingga harganya pun stabil di pasaran.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jambi Ibnu Sulistyono juga mengingatkan faktor alam dapat menjadi penyebab kegagalan panen. Curah hujan yang meningkat pada musim hujan ini serta dampak La Lina dapat mengancam banjir dan longsor. Jika tak diantisipasi, akan berdampak pada gagal panen di sentra-sentra pangan, termasuk pula sentra tanam cabai merah. Jika ini terjadi, masalah volatilitas harga akan menjadi berkepanjangan.
Saat ini saja, sebagian wilayah Jambi dalam status Siaga Banjir. Tinggi muka air Sungai Batanghari di pos pengamatan Tanggo Rajo, Kota Jambi, telah mencapai 14,50 meter sejak Rabu (2/12/2020). Ketinggian tersebut melampaui batas Level 2 Status Siaga Banjir, yakni 14,30 meter.
Penjabat Gubernur Jambi Restuardy Daud meminta seluruh tim bersama dinas instansi terkait turut memperkuat sinergi mengendalikan inflasi, terlebih karena saat ini dalam masa pandemi Covid-19. ”Kita memerlukan penguatan strategi maupun inovasi untuk menjaga stabilitas harga di masyarakat,” katanya.
Ketersediaan pasokan pangan, lanjutnya, perlu menjadi prioritas. Tak hanya cabai merah, tetapi juga bahan pokok lainnya, seperti beras, gula, tepung, telur, dan sayuran.
Ardy Daud mengingatkan pula menjelang akhir tahun, ada potensi terjadinya kembali inflasi yang disebabkan kenaikan harga pangan. Soal ketersediaan pasokan bahan pangan agar diantisipasi sejak dini. Namun, masyarakat juga diingatkan bijak dalam pengeluaran konsumsinya.
Jangan sampai karena urusan lidah yang tidak disiasti, jadi persoalan ekonomi berkepanjangan. Jika masih terus berlanjut, masyarakat juga yang menderita.