Komunitas penggiat alam di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, merintis hadirnya Arboretum Noken Papua untuk melestarikan bahan baku kerajinan noken.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Papua untuk pertama kalinya memiliki arboretum atau hutan penangkaran berbagai jenis pohon sebagai bahan baku kerajinan tradisional noken, di Kabupaten Jayapura. Ini untuk menjaga kelestarian bahan baku noken yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda oleh organisasi PBB, UNESCO, pada 4 Desember 2012.
Arboretum Noken Papua diresmikan bertepatan dengan peringatan 8 tahun penetapan noken sebagai warisan dunia tak benda di hutan wisata milik Club Pencinta Alam (CPA) Hiroshi, di Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (4/12/2020). Noken adalah rajutan khas Papua. Bahannya serat kulit kayu, daun pandan, atau batang anggrek. Serat-serat itu diproses menjadi benang untuk dirajut dalam bentuk tas.
Ketua CPA Hiroshi Marshall Suebu, saat ditemui seusai peresmian Arboretum Noken Papua, mengatakan, tempat ini adalah yang pertama di Papua. Kehadiran fasilitas ini juga menjadi salah satu dari enam persyaratan utama yang ditetapkan UNESCO untuk mengevaluasi status warisan tak benda pada noken setiap empat tahun.
Ia memaparkan, Arboretum Noken Papua memiliki lahan untuk penanaman pohon sebagai bahan baku noken dan bahan pewarna yang berasal dari alam. Selain itu, arboretum ini juga berfungsi mengedukasi generasi milenial tentang jenis-jenis noken di lima wilayah adat Papua dan cara merajut noken.
Arboretum Noken Papua juga memiliki fasilitas bagi para pengunjung untuk merajut noken di hutan wisata milik CPA Hiroshi dengan udara yang bersih dan pemandangan yang indah. Tempat ini terletak di bawah kaki gunung Cagar Alam Cycloop.
”Kami telah memiliki 17 bibit pohon dan tumbuhan yang menjadi bahan baku noken dan lima bibit pohon untuk pewarna noken. Bibit yang menjadi bahan baku noken di antaranya genemo, mahkota dewa, dan pandan. Adapun bahan baku untuk pewarna noken, misalnya buah merah,” untuk Marshall, yang juga pendiri Komunitas Noken Papua (Konopa).
Ia berharap, pemerintah pusat maupun Pemprov Papua terus berkomitmen bersama komunitas masyarakat melestarikan noken sebagai warisan dunia tak benda dan kebanggaan masyarakat Papua di dunia internasional. ”Noken tak hanya menjadi kerajinan tangan asal Papua yang telah mendunia, tetapi noken juga adalah cerminan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam aktivitasnya sehari-hari,” tutur Marshall.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Noken Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Papua, Erik Ohe, di tempat yang sama, mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi inisiatif organisasi Konopa untuk melahirkan tempat pelestarian bahan baku noken. Ia pun menyatakan telah menyediakan program, khususnya untuk pengadaan fasilitas di Arboretum Noken Papua.
”Kami mengakui pelestarian noken selama beberapa tahun terakhir terkesan lambat. Lembaga UPTD Noken baru saja dibentuk tiga bulan lalu. Kami telah menyediakan anggaran sebesar Rp 200 juta untuk menyediakan benih pohon dan tanaman yang menjadi koleksi di Arboretum Noken Papua,” kata Erik.
Elfira Wambrauw, pemuda asal Kabupaten Jayapura, mengaku sangat senang dengan hadirnya Arboretum Noken Papua. Sebab, fasilitas ini akan menjadi tempat bagi Elfira untuk berlatih merajut noken dari berbagai jenis bahan pohon ataupun tumbuhan.
Titus Pekey, salah satu penggiat kerajinan noken, mengatakan, 250 suku di Papua dan Papua Barat telah menggunakan noken sebelum pendudukan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-18. Jumlah perajin noken di lima wilayah adat di Papua dan Papua Barat mencapai sekitar 100.000 orang.
Sayangnya, kata Titus, noken yang menjadi sumber kemandirian dan kreativitas masyarakat Papua berjuang di tengah era modernisasi dalam kondisi minimnya dukungan dari pemerintah. ”Saya berharap pemerintah daerah di seluruh tanah Papua memberdayakan para perajin dan menyiapkan tempat yang layak agar mereka terus berkarya untuk kelestarian noken di masa mendatang,” katanya.