Teknologi Robotik dan Kecerdasan Buatan Jadi Kunci AS Ungguli Militer China
›
Teknologi Robotik dan...
Iklan
Teknologi Robotik dan Kecerdasan Buatan Jadi Kunci AS Ungguli Militer China
Keunggulan perang di masa depan bukan ditentukan banyaknya personel militer, melainkan ditentukan perangkat robotik dan kecerdasan buatan yang mengendalikan amunisi secara presisi serta komunikasi satelit canggih.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Militer Amerika Serikat harus memanfaatkan dan mengembangkan teknologi robotik dan kecerdasan buatan jika tetap mau lebih unggul dari militer China. Departemen Pertahanan AS menilai AS lebih membutuhkan angkatan bersenjata yang ramping atau minimalis, tetapi berkemampuan tinggi dan bersenjatakan rudal jarak jauh yang kemudian ditempatkan di seluruh wilayah Asia.
Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Mark Milley mengatakan saat ini tengah terjadi perubahan fundamental dalam karakter perang. Siapa saja yang memiliki dan menguasai amunisi yang bisa dikendalikan secara presisi, pesawat tanpa awak, dan komunikasi satelit canggih akan lebih unggul dalam perang.
”Dengan peralatan seperti itu, kita bisa melihat, melacak, mengidentifikasi, dan menjangkau dengan amunisi presisi jarak jauh. Kita tidak bisa melihat targetnya langsung, tetapi bisa menyerangnya. Ini penting dan akan menentukan masa depan pertempuran,” kata Milley dalam simposium daring Forum Pertahanan Washington di Institut Angkatan Laut AS, Kamis (3/12/2020).
Gaya pertempuran secara global sudah mulai berubah dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan. Ditambah dengan pasukan robot yang dipersenjatai amunisi presisi seperti senjata hipersonik, tak akan ada lagi peperangan konvensional yang berhadapan.
Milley mengatakan, persenjataan robotik bisa jadi akan lazim di mana-mana dalam 10-15 tahun ke depan. Apalagi, mengingat China saat ini sedang mengembangkan teknologi robotik itu dengan cepat.
”Mereka bisa jadi tidak hanya akan mengimbangi kita, tetapi juga melebihi kita, mendominasi, bahkan mengalahkan kita jika kita terlibat dalam peperangan pada pertengahan abad ini,” kata Milley.
Milley, yang diperkirakan tetap bertugas di pemerintahan Joe Biden itu, mengusulkan agar AS juga sebaiknya mengurangi jumlah pasukan dan pangkalan militernya di luar negeri. Pangkalan-pangkalan militer AS yang permanen di banyak tempat, seperti Korea Selatan dan Bahrain, justru dikhawatirkan akan membuat posisi pasukan AS, keluarganya, dan karyawan lainnya lemah.
”Saya tidak terlalu setuju dengan pangkalan militer besar yang permanen di luar negeri. Infrastruktur permanen kita di luar negeri sudah terlalu banyak. Pasukan yang minimalis dan terdistribusi meluas justru lebih efektif karena akan sulit dideteksi. Ini kunci masa depan militer,” kata Milley.
Penempatan di negara ASEAN
Untuk mencegah China agar tidak mengambil alih Pasifik barat jika terjadi konflik, AS sebaiknya menempatkan perlengkapan militer di Filipina, Vietnam, dan Australia. Perlengkapan militer ini yang akan mengoperasikan baterai-baterai rudal jarak jauh presisi yang bisa menyerang kapal-kapal perang China.
Untuk bisa melakukan hal tersebut, Pentagon harus membangun kekuatan armada angkatan lautnya menjadi lebih dari 500 kapal perang pada tahun 2045. Saat ini jumlahnya sekitar 300 kapal. Sekitar 50 kapal merupakan kapal tanpa awak, kapal robotik, dan 90 kapal selam.
”Kalau mau serius dalam kompetisi kekuatan ini, mencegah perang besar, sekaligus melampaui kekuatan China, sebanyak 500 kapal mungkin caranya,” kata Milley.
Penambahan 500 kapal itu di luar penambahan kapal-kapal induk berukuran besar yang mengangkut pesawat-pesawat tempur AS. Meski dibutuhkan, kapal induk ini termasuk target serangan rudal jarak jauh China yang relatif mudah.
”Saya tidak mengatakan kita akan berperang dengan China. Kita justru mau mencegah perang dengan China dan mau tak mau harus berinvestasi meningkatkan kemampuan mencegah perang,” kata Milley.
Lebih selektif
Milley mengusulkan agar ke depan militer AS lebih selektif menempatkan pasukan di luar negeri. Itu pun dengan penempatan yang dilakukan dengan sistem rotasi atau sesuai kebutuhan sehingga tidak perlu permanen secara terus-menerus. Cara ini akan lebih menghemat anggaran.
Milley secara spesifik menyebut Bahrain. Di wilayah itu, AS membangun pangkalan AL Armada ke-5 berseberangan dengan Iran, musuh besar AS.
Milley juga menyebut pangkalan militer Korea Selatan yang menjadi tempat bertugas 28.000 tentara yang mayoritas membawa keluarganya. Pangkalan militer di Korsel itu merupakan peninggalan perang Korea tahun 1950. Diplomasi antara pemerintahan Presiden AS Donald Trump dan Korsel buntu karena AS menuntut Korsel membayar biaya yang lebih besar untuk mempertahankan kehadiran AS di Korsel.
AS juga menempatkan puluhan ribu tentara secara permanen di Jepang dan Eropa. Tanpa menyinggung transisi, Milley melihat ada peluang pertumbuhan anggaran pertahanan keamanan dengan target 3-5 persen. Pentagon menerbitkan strategi pertahanan sekitar tiga tahun lalu yang memfokuskan investasi pada persenjataan, peralatan, dan teknologi yang dirancang untuk bersaing dengan China.
”Tetapi, rencana itu sepertinya tidak realistis untuk beberapa tahun ke depan karena anggaran Pentagon akan sama saja atau malah berkurang. Salah satu penyebabnya karena masalah ekonomi akibat pandemi,” kata Milley.
Ancaman terbesar
Pertimbangan untuk memperkuat kemampuan militer AS semata-mata karena China merupakan ancaman terbesar bagi AS dan juga seluruh dunia sejak Perang Dunia II. Direktur Intelijen Nasional AS, John Ratcliffe, menyebutkan informasi intelijen selama ini sudah jelas, China berniat mendominasi AS dan seluruh dunia baik dari sisi ekonomi, militer, dan teknologi.
Ratcliffe dalam tulisannya di harian The Wall Street Journal menyebutkan banyak perusahaan terkemuka China yang menjadi kamuflase aktivitas Partai Komunis China. ”Pendekatan mereka itu mata-mata ekonomi mencuri, meniru, dan menggantikan’. China mencuri properti intelektual perusahaan-perusahaan AS, meniru teknologinya, lalu menggantikan posisi perusahaan AS di pasar global,” tulisnya.
Trump pernah mengingatkan sikap Biden ke China pasti tidak akan tegas. Padaha,l Biden sebenarnya juga setuju kalau China melanggar aturan-aturan perdagangan internasional. Biden juga menilai China mencuri inovasi-inovasi teknologi AS.
Pemerintahan Trump dulu pernah dekat dengan Presiden China Xi Jinping, tetapi merenggang karena tak setuju dengan sikap dan tindakan China terhadap Taiwan, Tibet, perdagangan, Hong Kong, dan Laut China Selatan. AS juga menjegal perusahaan telekomunikasi raksasa China, Huawei, dan kini hendak membatasi penggunaan aplikasi media sosial China seperti TikTok dan WeChat.
Ratcliffe mengatakan telah mengalihkan uang dalam anggaran intelijen tahunan sebesar 85 miliar dollar AS untuk mengatasi ancaman dari China. China sedang menyiapkan konfrontasi terbuka dengan AS dan ini yang harus diantisipasi.
”Ini tantangan sekali seumur hidup, dan AS selalu bisa menghadapi tantangan apapun, termasuk mengalahkan fasisme dan meruntuhkan tirai besi," tulis Ratcliffe.
Seorang jubir Kedutaan Besar China untuk AS menolak pernyataan Ratcliffe dan menyebutnya sebagai "hal yang mendistorsi fakta dan hipokrit. ”(Pernyataan) itu memperlihatkan kuatnya mental Perang Dingin dan prasangka ideologis di kalangan sebagian warga AS,” demikian pernyataan Kedubes China. (REUTERS/AFP/AP)