Di Jakarta, Ada RT Pungut Biaya Administrasi ke Penerima Bansos
›
Di Jakarta, Ada RT Pungut...
Iklan
Di Jakarta, Ada RT Pungut Biaya Administrasi ke Penerima Bansos
Pembagian bantuan sosial di sejumlah wilayah di Jakarta masih belum sepenuhnya taat aturan. Di Jakarta, ada sejumlah petugas rukun tetangga yang memungut biaya administrasi ke warga penerima bansos.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembagian bantuan sosial untuk warga terdampak pandemi Covid-19 di sejumlah wilayah di Jakarta masih belum sepenuhnya taat aturan. Di Jakarta, ada sejumlah petugas rukun tetangga yang memungut biaya administrasi ke warga penerima bansos dengan alasan untuk biaya operasional.
Warga RT 003 RW 008 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, Sariamah (61), setiap bulan menerima paket bahan kebutuhan pokok bantuan presiden. Dia membayar Rp 5.000 kepada panitia yang mengurus dan membagikan sembako. ”Enggak masalah. Kan cuma Rp 5.000. Daripada enggak dapat sama sekali,” katanya.
Bantuan sembako terdiri dari beras, minyak goreng, ikan sarden, mi instan, dan kecap. Belakangan, ada tambahan dua kaleng biskuit dalam bantuan sembako dengan bungkusan berkelir merah putih itu. Sariamah menyatakan, bantuan itu bertahan selama dua minggu. Di rumahnya, dia tinggal bersama seorang anak dan tiga cucu.
Kader juru pemantau jentik RT 003 RW 008 Palmerah sekaligus panitia pembagian bansos, Ani, menekankan, biaya administrasi tersebut digunakan untuk biaya operasional sukarelawan yang mengangkut bantuan. Bantuan diturunkan di depan McDonald’s Palmerah. Butuh pekerja untuk melangsir sembako ke RT 003.
Enggak masalah. Kan cuma Rp 5.000. Daripada enggak dapat sama sekali.
”Di sini, kan, sempit. Jangankan truk, mobil saja tak bisa masuk. Tapi jangan disalahartikan ya. Bantuannya sebenarnya gratis. Enggak bayar. Itu hanya untuk biaya operasional orang yang bawa bantuan. Jangan sampai masyarakat salah paham,” tegasnya.
Di RT 003 RW 008, ada 90-an penerima bansos dari presiden dan ada 10 penerima paket sembako dari Kementerian Sosial. Bantuan dari presiden berbungkus merah putih. Sementara paket sembako dari Kementerian Sosial dibungkus dalam kardus.
”Kalau datangnya berbarengan, tak ada masalah. Tapi kalau datangnya berbeda, kami yang pusing menjelaskan ke warga kenapa ada di antara mereka yang tidak dapat,” katanya.
Hamid, istri dari Ketua RT 005 RW 003 Joglo, Jakarta Barat, membenarkan bahwa di sejumlah RT ada biaya administrasi Rp 10.000-Rp 15.000 setiap bansos dibagikan. Namun, di RT 005, suaminya memutuskan untuk tak menarik biaya administrasi. Sebab, dia dan suami tidak ingin gaduh dengan warga.
”Boro-boro narik administrasi, yang ada suami saya malah keluar uang sendiri untuk kasih jajan orang-orang yang diajak untuk menurunkan bantuan. Walaupun kami sudah begitu, bagi warga, pengurus RT-nya ini masih saja ada kurangnya. Padahal, mereka tahu, di RT lain warga diminta biaya administrasi, di sini kan enggak,” ujarnya.
Kalau datangnya berbarengan, tak ada masalah. Tapi kalau datangnya berbeda, kami yang pusing menjelaskan ke warga kenapa ada di antara mereka yang tidak dapat.
Dia menjelaskan, paket sembako banpres berjumlah 98. Sementara jumlah keluarga 150, termasuk warga yang tinggal di rumah kontrakan. Di awal pandemi Covid-19, bantuan presiden hanya diberikan ke nama yang terdaftar. Namun, warga yang tak menerima bantuan protes ke RT.
”Lalu, kami memutuskan semua harus dapat. Makanya, ada warga yang dapat separuh dari paket karena kalau dibagikan per satu pake per orang enggak cukup. Ini menguras tenaga karena kami harus menyediakan waktu untuk mengemas ulang paketnya,” katanya.
Kementerian Sosial menganggarkan Rp 128,014 triliun untuk bansos, baik reguler maupun khusus. Besarnya dana bansos di tengah pandemi Covid-19 membuka celah korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja menangkap pejabat pembuat komitmen atau PPK di Kementerian Sosial atas dugaan suap dari vendor program bansos Kemensos.
Bantuan sosial tunai
Selain bantuan sembako, pemerintah juga menyediakan program bantuan sosial tunai (BST). Penerimanya adalah orang-orang yang tidak termasuk ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH) dan tidak menerima paket sembako dari Kementerian Sosial.
Selama pandemi Covid-19, Suripah (60), warga RT 013 RW 003 Grogol Utara, Jakarta Selatan, hanya dua kali menerima bansos. ”Yang pertama di karung merah putih dan setelah itu sembako yang dalam kardus. Setelah itu enggak pernah menerima lagi,” ujarnya.
Suripah berharap dapat menerima BST. Sebab, dia sangat membutuhkan talangan dana. Dia membuka warung kecil di depan rumah. Pelanggannya rerata anak SD di samping warung.
Selama pembelajaran jarak jauh (PJJ), pendapatannya tergerus. Dia sampai berutang ke koperasi atau bank sobek untuk tambahan modal. Dia meminjam Rp 1 juta dengan bunga Rp 200.000 selama satu bulan.
”Kalau terus meminjam ke bank sobek, warungnya enggak bakal maju. Kan harus bayar bunga lagi. Makanya, kalau ada bantuan dari pemerintah, saya maunya uang tunai saja,” katanya.
Sementara itu, Ibrahim (56), pedagang kopi keliling di Jalan Joglo Raya, Jakarta Barat, juga mau BST. Dia bersedia menukar bantuan yang dia dapat sekarang ini asal bisa diganti dengan BST.
Saat ini, Ibrahim dan keluarga menerima sembako banpres. Di rumahnya ada istri dan tiga anak. Ketiga anaknya masih sekolah. ”Bantuan itu enggak sampai sepuluh hari juga sudah habis. Belakangan, ada beberapa barang di bantuan itu yang mendekati kedaluwarsa. Kalau boleh memilih, saya lebih baik diberi uang tunai,” jelasnya.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Nomor 22 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Sosial Tunai dalam Penanganan Dampak Covid-19, BST diberikan dari April hingga Desember 2020. Di tiga bulan pertama, besaran BST Rp 600.000 per bulan. Sementara di enam bulan sesudahnya, besaran BST Rp 300.000 per bulan.