Berjalan di Dua Jalur
Sebagai kekuatan menengah di kawasan, Indonesia dapat memainkan peran penting sebagai penyeimbang. Peran itu dilakukan dengan mengoptimalkan kerja sama dengan beragam mitra.
Dinamika geopolitik di kawasan Asia-Pasifik bergulir cepat. Bagaikan gelora ombak di kawasan perairan Laut China Selatan dan Laut China Timur, situasinya naik-turun seiring tarikan dua kekuatan utama dunia saat ini, China dan Amerika Serikat.
Washington yang selama puluhan tahun menjadi pemimpin dunia kini ada terus dibayang-bayangi oleh kebangkitan China. Tak hanya di bidang ekonomi, raksasa Asia itu pun melesat dalam bidang teknologi hingga militer.
Baca juga: Quad Menjajaki ASEAN, China Berupaya Menghalangi
Baru-baru ini, untuk mengimbangi kampanye militer China di kawasan, AS bersama India, Australia, dan Jepang menggelar latihan militer bersama sebagai bagian dari kerja sama yang disebut Quad.
Indonesia sebagai salah satu negara menengah di kawasan tentu terimbas oleh dinamisnya situasi di kawasan. Kehadiran militer dan para militer China di wilayah perairan Laut China Selatan tentu perlu mendapat perhatian yang semestinya. Tanpa harus ”mencederai” negara-negara tetangga, Indonesia memastikan kedaulatan wilayah dan hak-hak berdaulatnya dengan mengerahkan kapal perang dan pesawat-pesawat tempur ke sekitar wilayah Natuna hingga ke zona ekonomi eksekutif.
Kehadiran itu penting untuk memastikan bahwa antarnegara yang bertetangga muncul sikap hormat dan menghargai setiap pihak atas wilayah yang diakui sesuai dengan hukum internasional.
Di dalam negeri, menarik mengamati langkah pemerintah memastikan kehadiran di Natuna. Salah satunya adalah rencana pembelian pesawat- pesawat tempur baru dan mutakhir dari sejumlah negara.
Terbaru, mengutip La Tribune.fr, kantor berita Reuters memberitakan, Indonesia dan Perancis tengah menegosiasikan pembelian 48 jet tempur Rafale. Mengutip sejumlah sumber, La Tribune.fr mengatakan, kesepakatan bisa segera ditandatangani. Namun, negosiator Perancis masih membutuhkan waktu untuk menyempurnakan detailnya.
Baca juga: Di Bawah Biden, AS Melunak di Indo-Pasifik dan Tidak Konfrontatif pada China
Kepada wartawan, Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly, Kamis lalu, mengatakan, pembicaraan itu ”sangat maju”. ”Jika pesanan itu terwujud, itu berarti 7.000 pekerjaan selama 18 bulan. Itu sangat besar,” katanya kepada BFM TV.
Untuk Perancis, pesanan itu memberi efek pada kinerja ekonomi. Di sisi lain, apabila Indonesia akhirnya membeli Rafale, kekuatan Indonesia di udara meningkat cukup signifikan, tentu jika yang didatangkan adalah Rafale dengan spesifikasi tertinggi.
Merujuk pada sejumlah sumber, Rafale memang dikembangkan untuk mengemban beragam misi. Selain diciptakan untuk mampu unggul di udara, Rafale juga dikembangkan untuk mampu melakukan serangan pada sasaran di darat dan permukaan laut. Bahkan, dapat dikembangkan kemampuannya untuk mampu menggotong rudal nuklir.
Kemampuan yang lebih kurang setara dimiliki jet buatan pabrikan AS, F-18 Super Hornet Block 3. Pesawat yang ditawarkan ke Indonesia sebagai ganti permintaan Indonesia atas penempur siluman F-35 itu juga mampu dipersenjatai dengan rudal antikapal.
Perimbangan
Pentingnya penguasaan teknologi baru dan setidaknya mengimbangi kekuatan negara mitra di kawasan penting. Tentang mana yang sebaiknya dipilih, pengamat militer dan pertahanan, Connie Rahakundini, mengatakan, pentingnya memperhatikan prinsip Platform Centric Warfare sebelum masuk ke level Network Centric Warfare atau orkestrasi pertempuran masa depan yang berbasis pada analisis big data, dengan memanfaatkan aneka teknologi sensor dan manajemen informasi.
Baca juga: Indonesia, antara Quad dan SCO
”Sebelum NCW, diperlukan sebuah kondisi Platform Centric Warfare. Artinya, sebanyak mungkin matra atau intermatra punya platform yang sama. Semisal sebelum NCW AS, mereka punya berbagai platform lintas matra yang sama. Seperti platform jip sama, yaitu Humvee; punya platform Helicopter sama, seperti UH60 Blackhawk; atau sebelumnya UH1 Huey, punya platform senapan serbu sama, yaitu M16 atau setelah itu M4 dari Colt. Konsekuensinya, logistik akan simpel, lebih murah, dan memenuhi prinsip selanjutnya, yaitu Prinsip Economical Mass, beli banyak jatuhnya lebih murah,” kata Connie.
Menurut Connie keunggulan dari prinsip itu adalah memudahkan, murah, dan meningkatkan kemampuan tempur menjadi lebih efisien dan efektif. Berangkat dari prinsip itu, Connie menyarankan memperbanyak jumlah pesawat multirole dari jenis yang telah digunakan oleh TNI Angkatan Udara, yaitu F-16. Lebih lanjut jika Indonesia memiliki cukup dana, tidak tertutup kemungkinan apabila pesawat itu dibuat di dalam negeri dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, anggaran, dan kemampuan Indonesia.
Terkait kemampuan pengembangan itu, Connie berpendapat, ada baiknya Indonesia konsisten dengan perjanjian kerja sama yang dibuat dengan sejumlah negara, seperti KFX/IFX dengan Korea Selatan. Pengalaman dan alutsista yang dikembangkan bersama dengan negara mitra dapat menjadi platform standar yang menjadi basis bagi pengembangan alutsista yang dikembangkan oleh industri pertahanan dalam negeri.
Selain itu, selain konsisten pada peta jalan pengembangan pertahanan, Connie pun menegaskan pentingnya terlibat pada isu-isu demokrasi dan kerja sama kesehatan, seperti penanggulangan Covid-19
Pragmatis
Di sisi lain, meski disadari pengembangan kemampuan alusista diperlukan, secara terpisah, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu berpendapat, dinamika di kawasan, baik jangka pendek maupun menengah, memiliki kecenderungan untuk didekati secara pragmatis.
Isu terkait pertahanan dan militer pun akan masuk dalam kerangka ekonomi. Jemadu mengatakan, saat ini kesalingtergantungan antarnegara sangat kuat, apalagi di tengah deraan pandemi Covid-19.
Baca juga: Meramu ”Resep” RCEP
Pemerintah Indonesia, kata Jemadu, dilihatnya juga masuk dalam perspektif itu. ”Pemerintah tak ingin meninggalkan legacy buruk, misalnya ekonomi yang buruk,” ujar Jemadu.
Menurut dia, keterlibatan China di beragam platform, seperti RCEP, penanggulangan Covid-19, serta Prakarsa Sabuk dan Jalan, dapat menjadi pintu masuk untuk memperkuat kerja sama Indonesia-China.