Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Kota tetap akan tumbuh berkembang semasa dan usai pandemi Covid-19. Untuk itu, butuh terobosan membiayai pengadaan infrastruktur publik di kawasan urban yang mencukupi kebutuhan seluruh warga di era virus korona ini.
Di tengah bencana global, daerah perkotaan tetap menjadi lokasi di mana hampir semua fasilitas publik yang diperlukan untuk mengatasi pandemi berada. Selain itu, perkotaan juga masih sebagai media utama dunia untuk berproduksi, berinovasi, dan berdagang, tempat tersedianya lapangan kerja formal dan informal. Meski terpuruk akibat pagebluk, roda ekonomi masih berputar dan terpusat di perkotaan.
Menurut Maimunah Mohd Sharif, Wakil Sekretaris Jenderal dan Direktur Eksekutif UN-Habitat dalam World Cities Report 2020 berjudul ”The Value of Sustainable Urbanization”, Covid-19 tidak akan membalikkan urbanisasi. Dorongan utama untuk berkumpul di kota besar dan kecil untuk mengejar aspirasi dan kehidupan yang lebih baik akan terus berlanjut.
Namun, katanya, dunia memiliki kesempatan membuat proses aglomerasi ini lebih inklusif dengan fokus yang jelas pada kesejahteraan publik. ”Untuk memanfaatkan kekuatan transformatif urbanisasi menuju pembangunan berkelanjutan, kita membutuhkan perencanaan, pengelolaan, dan tata kelola yang efektif,” kata Sharif.
Masalahnya sekarang, bagaimana mencari sumber pendanaan pembangunan yang berfokus pada kesejahteraan publik di kota-kota yang kepayahan dihantam pandemi?
PAD tak lagi andalan
Pembangunan infrastruktur urban, sampai saat ini rata-rata masih amat tergantung dari program nasional. Sumber dana pembangunan daerah bersandar pada pemasukan pajak dan pembagian berbagai dana alokasi dari pemerintah pusat. Di sisi lain, garis besar kebijakan pembangunan nasional tidak selalu mencerminkan urgensi kebutuhan tiap daerah.
Akibatnya, pembangunan infrastruktur daerah yang berfokus pada peningkatan layanan publik, seperti kelengkapan fasilitas kesehatan, sistem sanitasi, penyediaan air bersih, hingga jaringan angkutan umum lebih sering terpinggirkan. Padahal, infrastruktur publik tersebut kini mendesak dipenuhi sebagai bagian dari penangggulangan dampak wabah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Badan Pengembangan Investasi PBB (UNCDF) dan Badan untuk Urusan Sosial Ekonomi PBB (UNDESA) menyatakan, di era Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), perspektif nasional sentris sebenarnya telah dipaksa bergeser dengan menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama pembangunan. Akan tetapi, meskipun puluhan bahkan ratusan negara telah meratifikasi SDGs, tetap saja hampir 65 persen arsitektur keuangan global–terutama di negara berkembang dan kurang berkembang– belum beroperasi atas dasar kepentingan publik di tingkat lokal.
Baca juga: Menggapai Kota Inklusif demi Pulih dari Pandemi
Selain perbedaan kepentingan antara nasional dan daerah, kebutuhan investasi pembangunan fasilitas publik perkotaan memang amat besar dan sering kali tidak tercukupi oleh kemampuan keuangan daerah yang terangkum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Indikator kemampuan keuangan daerah antara lain dapat dilihat dari besar penerimaan atau pendapatan asli daerah (PAD), seperti dari pajak dan retribusi.
Sebagai contoh, PAD Provinsi DKI Jakarta tahun ini merosot karena terdampak Covid-19. Dari target PAD di atas Rp 82 triliun, hingga September 2020 baru terkumpul Rp 35 triliun. Desember ini, perolehan PAD diyakini tak beranjak dari kisaran 45-50 persen target awal.
Tanda-tanda bahwa PAD tidak mencukupi untuk pembangunan perkotaan sebenarnya telah dimulai jauh sebelum pagebluk datang. Untuk itu, dalam beberapa tahun terakhir, pendanaan non-APBD atau non-tradisional dikembangkan. Publik mungkin kurang terinformasikan bahwa kota bisa mengakses dana segar bersumber pinjaman daerah dari pasar modal atau obligasi daerah, serta pinjaman dari pemerintah pusat, lembaga donor, juga dari bank komersial di dalam ataupun luar negeri.
Pemerintah dengan jajaran aparatur sipil negara di dalamnya wajib memahami dan menguasai aspek bisnis ataupun hukum terkait sehingga tidak menjadi bahan permainan pihak swasta, pemberi donor, ataupun lembaga lain.
Aliran dana juga bisa berasal dari wakaf, sukuk, kerja sama pemerintah dan swasta atau badan usaha (public private partnership/PPP), serta sejumlah instrumen pembiayaan lain, seperti menyewa dari pihak lain. Alternatif lain, memanfaatkan aset kota. Pemerintah daerah menjadi pihak yang menggelar kerja sama usaha atas lahan atau fasilitas yang dikuasainya. Peran pemda dapat diwakili badan usaha milik daerah (BUMD) setempat.
Jika di tingkat pusat ada program kawasan ekonomi khusus dan sejenisnya, keran pendapatan daerah dapat pula dibuka dari upaya pengembangan wilayah khusus. Pemerintah berwenang menetapkan area tertentu di dalam kota sebagai area pengembangan dan memungut biaya dari pemilik bisnis atau properti di sana. Kawasan sentra pengembangan bisnis, kini banyak terdapat di kota-kota besar, termasuk Jakarta.
Baca juga: Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik?
Terbaru, agar arah pembangunan benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat, pembiayaannya turut merangkul warga. Istilah public private people partnership (PPPP) perlahan makin dikenal. Skema pembiayaan ini biasanya diterapkan dalam program pembangunan yang makin spesifik.
Penataan suatu kawasan kumuh, misalnya, dengan menerapkan PPPP, warga setempat turut menyumbang untuk membiayai program. Tidak harus berupa uang, tetapi bisa dengan merelakan sebagian lahannya dipotong dan dijadikan area terbuka hijau. Biaya pembangunan dan fasilitas ruang terbuka hijau bisa dari swasta, sedangkan perawatannya kelak menjadi kewajiban pemerintah daerah.
Seiring kian banyaknya alternatif pembiayaan dan melihat kembali posisi penting kawasan urban dalam memerangi dampak pandemi, segala kendala pembiayaan infrastruktur perkotaan sudah seharusnya menjadi fokus perhatian pusat dan daerah untuk segera diatasi. Upaya itu perlu dilengkapi kebijakan pusat yang menyediakan payung hukum agar memungkinkan pemda bekerja sama dengan pihak lain ataupun menemukan sumber pembiayaan dalam bentuk lain, serta mengikat pemda agar bertanggung jawab atas utangnya.
Lintas kerja sama
Berbagai cara pembiayaan bisa diterapkan bersamaan dalam satu proyek infrastruktur kota. Pengadaan air bersih, misalnya, ada serangkaian tahap yang masing-masing dapat dibiayai dengan cara berbeda. Pengolahan sumber air bersih bisa berbeda pembiayaannya dengan proyek mengalirkan air perpipaan kepada publik. Fasilitas perpipaannya sendiri bisa dikelola terpisah dengan cara pembiayaan berbeda pula.
Dalam pembiayaan memanfaatkan aset kota, pemerintah sebagai pemilik berhak mendayagunakan aset atau fasilitas melalui sistem sewa, build operate transfer (BOT), build own operate (BOO), dan build own operate transfer (BOOT). Realisasi keempat sistem itu, antara lain, pemerintah boleh menyewakan asetnya kepada pihak lain dalam masa kontrak tertentu. Atau, penanam modal diberi hak membangun dan mengelola suatu fasilitas selama periode waktu tertentu. Seusai masa kontrak, fasilitas dan hak kelola kembali ke pemerintah.
Meskipun melibatkan pihak lain, kendali pemerintah terhadap proyek di tingkat hulu hingga ke hilir harus sangat kuat. Pemerintah juga harus tegas keberpihakannya, yaitu semata menyediakan layanan publik memadai serta merata bagi seluruh warga, khususnya bagi warga rentan.
Untuk itu, pemerintah dengan jajaran aparatur sipil negara di dalamnya wajib memahami dan menguasai aspek bisnis ataupun hukum terkait sehingga tidak menjadi bahan permainan pihak swasta, pemberi donor, ataupun lembaga lain. Tak lupa, pemerintah memiliki kebijakan tinggi membangun layanan publik secara berkesinambungan, bukan terputus setiap ganti pemimpin.
Baca juga: Hiperlokal dan Urgensi Pembangunan Kota Digital
Di antara berbagai alternatif pembiayaan perkotaan, kerja sama pemerintah dengan swasta dan lembaga donor untuk menggarap proyek fasilitas publik tertentu ternyata lebih diminati, termasuk di Indonesia. Cara ini dinilai lebih fokus menuntaskan satu program infrastruktur dalam jangka waktu tertentu dan langsung berdampak bagi publik. PBB dalam The Future of Development is Local menyebut Indonesia masuk dalam sebagian kecil negara berkembang di dunia yang memiliki terobosan karena telah menetapkan payung hukum di bidang kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau PPP.
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah menelurkan sederet aturan terkait KPBU, yaitu Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Lima tahun kemudian, ditetapkan Perpres No 38/2015 tentang KBPU dalam Penyediaan Infrastruktur. Di bawah perpres ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjamin daya dukung kelayakan KBPU, penjaminan infrastruktur dalam proyak KPBU, hingga fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi proyek KPBU.
Adopsi teknologi
Dalam perjalanannya, kota-kota di negara berkembang dan kurang berkembang sama-sama memerlukan lompatan besar untuk menutup kekurangan infrastruktur dasar perkotaan maupun kesenjangan kemampuan keuangan. Di masa kini, lompatan besar itu dibutuhkan demi memaksimalkan layanan kepada warga agar tidak semakin terpuruk akibat wabah global.
Dalam dokumen Smart Cities Funding and Financing in Developing Economies, digarisbawahi bahwa kondisi saat ini memerlukan intervensi berupa adopsi teknologi terkini dalam pengadaan layanan publik sehingga bisa memenuhi tuntutan kebutuhan adaptasi normal baru di tengah pandemi dan setelahnya.
Baca juga: Memupuk Harmoni di Daerah Aliran Sungai Pesanggrahan
Layanan air bersih dan sanitasi di permukiman padat menjadi salah satu sasaran prioritas untuk segera diwujudkan. Di kawasan padat Ibu Kota, seperti Tambora di Jakarta Barat, dengan pendekatan pendataan dan pemetaan secara digital bisa dihitung kebutuhan WC dan kamar mandi komunal, serta harus ditempatkan di lokasi mana saja.
Lalu, demi sirkulasi udara yang lebih baik, penetrasi cahaya alami sinar matahari, dan mencegah kebakaran, maka atap rumah, tali jemuran, juntaian kabel-kabel listrik perlu ditata ulang agar tak menutupi gang-gang sempit di tengah kampung yang sudah padat. Semua langkah itu seperti membersihkan pori-pori kulit dan mencegah jerawat alias penyakit bermunculan.
Mengenai fasilitas kesehatan, perlu fokus menerapkan layanan daring mulai tingkat puskesmas hingga rumah sakit umum daerah dan pusat. Minimalkan interaksi tatap muka antarindividu, tetapi ada jaminan ruangan, tenaga kesehatan, serta obat dan sarana kesehatan saat warga membutuhkan perawatan sewaktu-waktu. Sistem layanan daring terintegrasi antarfasilitas kesehatan menjadi jawaban yang realisasinya tak bisa lagi ditunda-tunda. Investasi pada infrastruktur digital diperlukan agar kemudahan hadir di banyak fasilitas publik lain.
Tuntutan kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah, adalah fokus pada program pembangunan layanan publik yang terdampak virus korona diikuti reformasi tata kelola keuangan yang mendukung adaptasi normal baru. Itu bagian dari skenario global agenda urban baru.
Pemenuhan atas tuntutan itu akan membawa kita semakin dekat pada salah satu poin penting Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan dimaksud adalah terwujudnya kota inklusif yang tidak meninggalkan satu orang pun menjadi yang paling belakang atau menderita sendiri.