Negara-negara di dunia perlu terus mencermati hubungan AS-China. Dinamika hubungan mereka berdampak besar pada ekonomi, geopolitik, dan keamanan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hubungan Amerika Serikat dengan China kian kurang menggembirakan beberapa waktu terakhir. Situasi ini tampaknya tak akan segera berubah drastis.
Washington telah mengumumkan kebijakan memblokade produk kapas dari China untuk masuk ke pasar AS, persisnya penghentian impor produk kapas dan turunan katun dari Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC). Kebijakan ini terkait dengan tuduhan ada pelanggaran hak asasi dan kerja paksa terhadap warga Uighur di Xinjiang.
XPCC merupakan perusahaan keenam dari Xinjiang yang diblokade otoritas AS dalam enam bulan terakhir. Menurut data lembaga Konsorsium Hak Pekerja (Worker Rights Consortium/WRC), perusahaan ini mengontrol sepertiga produksi kapas di Xinjiang dan 6 persen total produksi kapas dunia.
Tentu tuduhan AS dibantah China. Menurut Beijing, tak ada penindasan di Xinjiang. Beijing menilai, tindakan AS sebagai penekanan dan pembatasan bagi perusahaan China serta menahan laju pertumbuhan dan pembangunan negara tersebut.
Tak hanya aspek perdagangan, AS juga mengeluarkan kebijakan terkait pergerakan orang. Dikeluarkan aturan keimigrasian baru yang membatasi durasi perjalanan anggota Partai Komunis China dan kerabatnya ke AS.
Kebijakan ini membuat periode visa perjalanan anggota partai itu maksimum satu bulan ketimbang sebelumnya yang mencapai 10 tahun. Visa pun hanya berlaku sekali dalam satu tahun.
The New York Times menulis jumlah anggota Partai Komunis China mencapai 92 juta orang. Dengan jumlah sebanyak itu, tak mudah bagi otoritas AS untuk memilahnya. Maka, kemungkinan besar mereka yang benar-benar dikenai pembatasan itu ialah pejabat partai, bukan anggota biasa.
AS berargumen aturan ini diterapkan karena banyak warga China yang datang ke AS berniat mencuri kekayaan intelektual, termasuk memengaruhi politik AS. Kesimpulan utama dari dikeluarkannya aturan baru tersebut ialah Washington telah berada di posisi ”sangat mencurigai” China.
Dikombinasikan dengan perang dagang di antara mereka sejak 2018, kondisi relasi AS-China ini, menurut sejumlah kalangan, merupakan bentuk Perang Dingin baru. Istilah ini mengacu pada gagasan bahwa Perang Dingin sebelumnya terjadi antara AS dan Uni Soviet. Keduanya terutama saat itu berebut pengaruh dan bersaing secara militer.
Apakah relasi AS membaik setelah Joe Biden resmi menjabat Presiden AS? Sejumlah analisis menyebut, kondisi relasi AS-China tak berubah banyak setelah Presiden Donald Trump lengser. Sikap tegas AS terhadap China selama ini memang didukung dua kubu besar politik di dalam negeri AS. Bahkan, kemungkinan, isu hak asasi mendapat perhatian lebih besar dari Biden, dan ia diperkirakan mampu menggalang kerja sama global untuk lebih intens memperhatikan isu hak asasi.
Negara-negara di dunia pada akhirnya perlu terus mencermati hubungan AS-China. Dinamika hubungan mereka berdampak besar pada ekonomi, geopolitik, dan keamanan.