Jepang Investasi Rp 57 Triliun di Dana Abadi Indonesia
›
Jepang Investasi Rp 57 Triliun...
Iklan
Jepang Investasi Rp 57 Triliun di Dana Abadi Indonesia
Japan Bank for International Cooperation (JBIC) berkomitmen berinvestasi di Indonesia sebesar 4 miliar dollar AS atau Rp 57 triliun. Investasi itu diharapkan dapat mulai masuk ke Indonesia pada triwulan I-2021.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Japan Bank for International Cooperation atau JBIC berkomitmen berinvestasi di Indonesia sebesar 4 miliar dollar AS atau Rp 57 triliun. Dana itu akan ditanamkan di lembaga pengelola investasi atau dana abadi Indonesia, Nusantara Investment Authority.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Gubernur JBIC Maeda Tadashi menyatakan komitmen investasi sebesar 4 miliar dollar AS melalui Nusantara Investment Authority (NIA) itu dalam pertemuan dengan delegasi Indonesia di Tokyo, Jepang.
”Ini dua kali lipat lebih besar dari yang disampaikan The US International Development Finance Corporation (DFC), lembaga pembiayaan asal Amerika Serikat,” ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (5/12/2020).
Sebelumnya, Luhut menyampaikan, IDFC AS, salah satu sovereign wealth fund (SWF) milik Pemerintah AS, telah menandatangani surat minat (letter of interest/LOI) berupa investasi 2 miliar dollar AS atau Rp 28,2 triliun untuk ditanamkan melalui lembaga pengelola investasi (Kompas, 24 November 2020).
Investasi sebesar 4 miliar dollar AS itu dua kali lipat lebih besar dari yang disampaikan The US International Development Finance Corporation (DFC), lembaga pembiayaan asal Amerika Serikat.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada Jumat lalu itu, Luhut didampingi Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Duta Besar RI untuk Jepang Heri Akhmadi. Pertemuan maraton juga dilakukan dengan 20 investor potensial Jepang lainnya di bidang keuangan dan energi.
NIA merupakan lembaga pengelola investasi (LPI) atau SWF Indonesia. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lembaga tersebut dibentuk khusus oleh pemerintah pusat untuk menggandeng investasi dari dalam dan luar negeri untuk menanamkan dana dalam bentuk proyek ataupun aset. Investasi itu dikembangkan untuk mendongkrak perekonomian domestik atau pembangunan proyek strategis nasional, seperti infrastruktur dan lain sebagainya.
Pembentukan lembaga itu ditargetkan rampung pada Januari 2021. Saat ini, pemerintah sedang menjajaki kerja sama dengan pemerintahan dan investor dari negara lain untuk berinvestasi ke Indonesia melalui lembaga tersebut.
Erick Thohir mengemukakan, komitmen dari JBIC itu akan segera ditindaklanjuti di tingkat teknis. Harapannya, investasi JBIC dapat mulai masuk ke Indonesia pada triwulan I-2021.
”Peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang SWF Indonesia akan selesai pada pertengahan Desember ini dan tentunya PP tersebut akan semakin mempercepat pembentukan lembaga dana abadi Indonesia,” kata Erick.
Sementara, Heri Akhmadi berpendapat, dukungan JBIC dan Pemerintah Jepang itu akan semakin memperkuat ikatan kerja sama strategis Indonesia-Jepang. Tentu saja ini akan semakin menarik sektor swasta Jepang lainnya berinvestasi di Indonesia.
Komitmen dari JBIC itu akan segera ditindaklanjuti di tingkat teknis. Harapannya, investasi JBIC dapat mulai masuk ke Indonesia pada triwulan I-2021.
Pada Kamis (3/12/2020), Luhut juga telah membujuk Pemerintah Jepang berinvestasi melalui NIA dalam pertemuannya dengan Penasihat Perdana Menteri Jepang Izumi Hiroto. Selain berinvestasi lewat NIA, Jepang juga tertarik berinvestasi dalam pembangunan wisata kesehatan (health tourism), manajemen operator pelabuhan, dan peningkatan investasi di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah.
Selama ini, Jepang termasuk salah satu negara yang banyak menanamkan modal di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dari periode 2015-2019, Jepang merupakan negara investor kedua terbesar di Indonesia dengan total realisasi investasi mencapai 25,2 miliar dollar AS atau atau Rp 365,4 triliun.
Posisinya ada di bawah Singapura sebagai investor terbesar. Adapun selama semester I-2020, realisasi investasi Jepang sebesar 1.212,9 juta dollar AS dengan penyerapan tenaga kerja Indonesia sebanyak 33.318 orang.
Investasi asal Jepang didominasi sektor peralatan transportasi dan transportasi lainnya (28 persen); listrik, gas, dan air (22 persen); perumahan, kawasan industri dan perkantoran (10 persen); serta mesin, elektronik, peralatan kesehatan, optik (7 persen).
Investasi ramah lingkungan
Managing Direktor Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva dan President The Rockefeller Foundation Rajiv J Shah dalam artikelnya, ”How Governments Can Create a Green, Job-Rich Global Recovery”, di situs IMF, 4 Desember 2020, menyatakan pentingnya investasi ramah lingkungan untuk mengatasi perubahan iklim dan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan.
Georgieva dan Rajiv menyebut, di tengah ancaman krisis iklim global dan pandemi Covid-19, investasi yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan terkoordinasi harus dikedepankan. Saat ini, dunia sedang dalam kebutuhan mendesak untuk memulai ulang ekonomi demi menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja.
”Alih-alih berinvestasi pada teknologi berbasis energi fosil, seperti industri batubara, yang akan mendorong krisis iklim, investasi sebaiknya dilakukan dengan cara yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta mampu menyerap banyak tenaga kerja,” sebut mereka.
Investasi sebaiknya dilakukan dengan cara yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Uni Eropa, misalnya, telah berkomitmen untuk menghabiskan lebih dari 640 miliar dollar AS pada proyek-proyek pembangunan yang berkesinambungan dalam beberapa tahun ke depan. Negara-negara seperti Indonesia dan Mesir juga telah meluncurkan surat utang berwawasan lingkungan (green bonds).
Namun, setiap pemerintahan, negara, dan investor swasta tetap harus berbuat lebih banyak. Hasil observasi dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sejauh ini, degradasi lingkungan masih akan terjadi karena pembangunan masih berorientasi pada perspektif nonhijau.