Pelaksanaan pilkada sudah menjadi kehendak politik. Namun, sejauh yang terpantau dalam pemberitaan, masih didapati alat untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan belum sepenuhnya hadir di lapangan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Kamis, 3 Desember 2020, dalam grup percakapan, seorang pemimpin redaksi membagikan tautan berita. Berita itu berjudul ”Meledak Lagi. Kasus Baru Covid-19 Tembus 8.369”. Dalam grup percakapan lain dibagikan juga berita ”A dramatic rise in the number of new cases today saw over 8.000 new cases across Indonesia with Papua being the highest at over 1.700 new cases. Let’s have that election next week”!
Mencemaskan. Itulah pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan pandemi di Tanah Air. Kasus aktif per 3 Desember 2020 mencapai 77.969 orang. Jumlah kasus akumulatif sebanyak 577.877 orang. Fasilitas kesehatan dikhawatirkan tidak mampu menampung pasien.
Dalam situasi kecemasan nasional itulah ”pesta demokrasi” bernama pilkada digelar. Pilkada serentak adalah ujian bangsa ini. Bangsa ini, sebenarnya, tidak sendirian. Belum lama berlalu, Amerika Serikat sukses menggelar pemilu presiden di tengah pandemi dan melahirkan kepemimpinan baru Joe Biden-Kamala Haris. Tidak terdengar laporan adanya lonjakan warga terpapar Covid-19 karena pemilu. Amerika Serikat mengizinkan pemilih menggunakan pos.
Presiden Joko Widodo menerbitkan keputusan presiden yang menyatakan hari saat pilkada serentak berlangsung di 270 wilayah, yakni di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, sebagai libur nasional. Lebih dari 100 juta orang berhak menggunakan hak pilihnya. Pilkada digelar di tengah pandemi yang tengah menanjak. Angka kepositifan 10-15 persen. Jumlah warga terpapar Covid-19 pada Rabu 9 Desember bisa mendekati angka 600.000.
Sebenarnya, imbauan dari kelompok tengah, yaitu masyarakat sipil, pimpinan ormas, dan akademisi, untuk menunda pilkada sampai ditemukannya vaksin sudah kerap disampaikan. Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Prof Dr Azyumardi Azra secara terbuka mengatakan, ”Saya akan golput sebagai tanda solidaritas terhadap korban yang wafat terkena Covid-19.” PP Muhammadiyah menyuarakan keselamatan rakyat lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaan pilkada. Nahdlatul Ulama juga meminta pelaksanaan pilkada ditunda. Begitu juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Saya akan golput sebagai tanda solidaritas terhadap korban yang wafat terkena Covid-19.
Namun, Istana bergeming. Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman mengatakan, pelaksanaan pilkada di masa pandemi Covid-19 bukanlah hal mustahil. Singapura, Jerman, dan Korea Selatan menggelar pilkada dengan protokol kesehatan ketat. Apalagi, tak ada satu pun negara yang tahu kapan pandemi berakhir. ”Penyelenggaraan pilkada tetap sesuai jadwal 9 Desember demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih,” kata Fadjroel dalam siaran pers tertulis, 21 September 2020.
Kekuatan politik pendukung pilkada memang mayoritas. KPU yang seharusnya independen ikut saja. Kelompok tengah menjadi kekuatan moral mengingatkan risiko yang dihadapi. Pilkada jalan terus. Argumen disampaikan. Pilkada adalah hak konstitusional rakyat memilih dan dipilih. Untuk hak dipilih, sejumlah keluarga elite politik ikut berkontestasi. Ada benturan kepentingan di sana.
Pelaksanaan pilkada sudah menjadi kehendak politik. Namun, sejauh yang terpantau dalam pemberitaan, masih didapati alat untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan belum sepenuhnya hadir di lapangan. Harian Kompas memberitakan kebutuhan akan thermogun, alat pengukur suhu tubuh, belum tersedia karena penyedianya mundur dari tender. KPU mensyaratkan protokol kesehatan wajib hukumnya.
Penanganan pandemi mencemaskan. Hingga awal Desember 2020, secara akumulatif sebanyak 48 kepala daerah terpapar Covid-19. Ada yang sembuh dan kembali beraktivitas, ada yang masih menjalani isolasi mandiri, ada juga yang meninggal. Presiden Jokowi dalam sebuah rapat kabinet berkata keras bahwa penanganan pandemi memburuk. Presiden Jokowi pun mengutip ungkapan Cicero yang sering dikutip, ”keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”.
Pilkada serentak dilangsungkan dalam tarikan dua kutub. Kutub yang berargumen bahwa hak memilih dan hak dipilih adalah hak asasi manusia dan kutub kedua yang mengedepankan hak hidup atau dalam bahasa Cicero ”keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Ketika elite politik menjatuhkan pilihan bahwa pilkada tetap digelar, tentunya dengan segala risiko yang siap diambilnya, terserah kepada pemilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Memilih adalah hak, bukan kewajiban!
Peringatan Presiden Jokowi bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi perlulah menjadi perhatian utama. Hak untuk tetap sehat, hak hidup, lebih utama daripada hak memilih. Ketika protokol kesehatan tidak diyakini dipenuhi penyelenggara pemilu di tempat pemungutan suara (TPS), menghindari kerumunan di TPS adalah pilihan bijak. Tetap di rumah.
Sore hari, sahabat saya mengirim pesan, ”Wali Kota Los Angeles: Its’ Time to hunker down. It is time to cancel everything.” CNN merilis pernyataan Wali Kota Los Angeles Eric Garcetti. Sahabat saya itu kemudian mengirim lagi pesan, ”Saya berharap ada yang mau berbicara seperti itu di negeri ini.”
Pilkada serentak adalah pertaruhan reputasi. Rendah atau tingginya partisipasi politik, berjalannya protokol kesehatan, dan terbebaskannya pilkada sebagai kluster akan tercatat dalam sejarah bangsa.
Semoga yang terpilih bukan kepala daerah yang menganggap remeh nyawa manusia. Seorang kepala daerah yang enteng mengatakan, ”Tes PCR masif hanya menghabiskan anggaran.” ”Covid apa! Pembangunan infrastruktur harus karena itu fasilitas untuk rakyat. Kepala daerah, ya, infrastruktur. Enggak usah mikirin pendidikan, enggak usah mikirin kesehatan. Enggak perlu itu,” ujar seorang bupati di Jawa Tengah. Pandemi masih lama. Apabila kepala daerah nir-visi kesehatan terpilih, demokrasi hanya akan menjadi bencana!