Aman dari Covid-19 menjadi ukuran baru Pilkada 2020. Itu menambah ukuran lain di pilkada yang telah ada, seperti tingkat partisipasi serta pelaksanaan yang jujur dan adil.
Oleh
redaksi
·2 menit baca
Pertimbangan keamanan dari pandemi Covid-19 telah membuat Pilkada 2020 ditunda dari rencana awal pada 23 September 2020. Keputusan pilkada digelar pada 9 Desember diambil dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu pada 21 September 2020.
Terkait keputusan tersebut, saat itu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, penundaan pilkada tidak mungkin dilakukan karena tak ada yang bisa memastikan akhir dari pandemi. Pilkada membuat masyarakat bisa segera memperoleh pemimpin yang mempunyai legitimasi kuat dalam menanggulangi pandemi. Pilkada juga diyakini akan mendorong pembagian alat pelindung diri (APD) yang masif di masyarakat. Alasan lainnya, pilkada dapat menstimulasi ekonomi (Kompas, 22/9/2020).
Keputusan untuk menggelar pilkada ini dibuat saat kasus Covid-19 menunjukkan peningkatan.
Keputusan untuk menggelar pilkada ini dibuat saat kasus Covid-19 menunjukkan peningkatan. Bahkan, keputusan itu dibuat pada hari terjadinya rekor tertinggi penambahan kasus baru Covid-19 dalam satu hari, yaitu 4.176 kasus. Kini, rekor itu telah pecah. Pada 3 Desember, ada penambahan 8.369 kasus baru, dua kali lipat dari rekor pada 21 September.
Menanggapi terus meningkatnya kasus Covid-19, Presiden Joko Widodo pada 30 November menyatakan, penanganan Covid-19 memburuk. Presiden juga mengutip filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero, bahwa salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).
Dalam konteks pilkada, protokol kesehatan telah disusun untuk menjaga keselamatan rakyat dari Covid-19. Ketentuan itu, misalnya, adanya penyemprotan disinfektan di sekitar tempat pemungutan suara (TPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertugas wajib memakai APD, serta pemilih wajib memakai masker dan sarung tangan.
Namun, hingga empat hari menjelang pilkada, masih ada sejumlah masalah dalam persiapan penegakan protokol kesehatan itu. APD belum semuanya terdistribusi. Bahkan, penyediaan pistol termometer dan sarung tangan lateks sempat terkendala. Di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ada petugas KPPS yang menolak mengikuti tes cepat Covid-19.
Menanggapi sejumlah masalah itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono U Tanthowi, menuturkan, pistol termometer dan sarung tangan lateks telah dikirim ke provinsi yang menggelar pilkada. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengusulkan, jika KPU tak sanggup memenuhi kesiapan APD, perlu minta bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal mengatakan telah meminta pemerintah daerah membantu dan berkoordinasi dengan KPU serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Hari-hari ini, sejarah akan mencatat bagaimana sejumlah pernyataan terkait upaya melindungi keselamatan rakyat di pilkada mendatang itu akan terwujud di lapangan. Satu hal yang pasti, menyelamatkan demokrasi adalah penting. Namun, menyelamatkan jiwa manusia jauh lebih penting.