Soal Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Tak Bisa Ditawar Lagi
›
Soal Mutu dan Keamanan Produk ...
Iklan
Soal Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Tak Bisa Ditawar Lagi
Bagaimanapun, temuan virus pada produk dan kemasan produk perikanan yang berulang bisa berbuntut serius terhadap perdagangan luar negeri Indonesia. Soal mutu dan keamanan produk tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Kasus penemuan jejak virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, pada produk dan kemasan produk perikanan asal Indonesia yang diekspor ke China terus berulang. Fakta terbaru, Otoritas Bea dan Cukai China atau GACC merilis temuan dua kasus kontaminasi virus SARS-CoV-2 pada kemasan produk perikanan asal Indonesia, 2 Desember 2020.
Dengan dua temuan itu, total ada lima kasus serupa tahun ini sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara terbanyak dalam temuan kasus kontaminasi virus penyebab Covid-19 pada produk perikanan yang dikirim ke China. Dampak temuan pertama dan kedua, China menghentikan sementara pengiriman ikan dari perusahaan selama tujuh hari. Namun, saat berulang di kasus ketiga, Otoritas China mengancam embargo atau menghentikan sementara impor produk perikanan beku Indonesia (Kompas, 3/12/2020).
Ancaman tersebut direspons secara beragam oleh pelaku industri perikanan di Tanah Air. Ada yang pro dan menilai Indonesia perlu segera berbenah. Di sisi lain, tak sedikit pula yang mempertanyakan kesahihan metode uji yang dilakukan China. Belum ada bukti ilmiah yang diakui dunia bahwa produk pangan yang terkontaminasi virus SARS-CoV-2 dapat menjadi sumber penularan kepada manusia.
Dalam sidang sanitary and phytosanitary measures di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Geneva Swiss, November 2020, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, beberapa negara, seperti Kanada dan Amerika Serikat, telah mempermasalahkan temuan otoritas China itu karena dinilai tidak berdasarkan justifikasi ilmiah. Isu itu didukung Australia, Brasil, Paraguay, dan Inggris. Namun, China menyanggah hal itu dengan menyebut produk terkontaminasi virus dapat bertahan pada suhu dingin.
Bagaimanapun, temuan kasus yang berulang dapat berbuntut serius terhadap perdagangan luar negeri Indonesia, mengingat China saat ini merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor perikanan Indonesia. Muncul keraguan sejauh mana kapasitas alat uji untuk mendeteksi jejak virus pada produk perikanan mampu mengimbangi perangkat tes cepat yang dipakai otoritas China.
Sejak awal pandemi, Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Perikanan Kementerian Kelautan danPerikanan baru menguji sekitar 200 sampel dengan meminjam laboratorium milik IPB University. Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan pengujian yang dilakukan China, yakni 800.000 sampel produk yang diimpor.
Industri perikanan melibatkan banyak orang dan memiliki mata rantai hulu-hilir yang panjang, mulai dari produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya, distribusi, pengolahan, pengemasan, dan logistik. Sejauh mana seluruh mata rantai proses pengolahan telah menerapkan ketertelusuran produk, biosekuriti, dan sanitasi higienis. Penerapan protokol kesehatan untuk seluruh pekerja di industri padat karya itu tidak bisa ditawar lagi.
Faktanya, masih banyak usaha pengolahan ikan yang belum mematuhi standar keamanan pangan dan jaminan mutu tersebut. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada 663 perusahaan pengolahan ikan yang mengekspor produk perikanan ke China, tetapi 94 perusahaan di antaranya sudah dibekukan karena tidak menerapkan jaminan mutu dan standar keamanan pangan.
Penerapan standar keamanan pangan dan protokol kesehatan yang ketat tidak cukup hanya di lingkup pabrik pengolahan.
Penerapan standar keamanan pangan dan protokol kesehatan yang ketat tidak cukup hanya di lingkup pabrik pengolahan. Pelaku industri perikanan tangkap dan perikanan budidaya juga berkewajiban menerapkan protokol kesehatan dengan uji Covid-19 secara berkala pada seluruh pekerja.
Standar yang sama juga harus diterapkan industri penyedia kemasan, pengalengan, maupun logistik. Meminjam istilah sepak bola, penerapan standar keamanan pangan butuh total football dari seluruh pemangku kepentingan dari hulu hingga ke hilir.
Tanpa pembenahan serius, kasus-kasus lanjutan bukan tidak mungkin berulang. Upaya berunding secara bilateral untuk menyelesaikan kasus pada akhirnya bisa menemui jalan buntu jika Indonesia tidak mampu membuktikan penerapan sistem keamanan pangan secara optimal.
Di sisi lain, pengetatan standar keamanan pangan tidak boleh tebang pilih hanya untuk produk-produk perikanan yang dipasok ke China. Konsumen dalam negeri juga wajib dilindungi. Apalagi permintaan ikan semakin tinggi selama pandemi Covid-19. Inilah momentum membenahi dan menjaga kepercayaan konsumen, baik di luar maupun di dalam negeri. Jaminan mutu dan keamanan pangan tidak bisa ditawar-tawar lagi.