Peperangan siber sudah dan terus akan berlangsung pada masa mendatang. Pembuat kebijakan di negeri ini perlu segera mengantisipasi dan menyiapkan strategi menghadapinya, tanpa menafikan ancaman perang konvensional
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Evolusi peperangan siber bisa dilihat dari perubahan cerita film-film tentang dunia maya ini. Mulai dari film War Games (1983) tentang peretasan yang dilakukan anak SMA, The Net (1995) tentang sabotase oleh kelompok siber teroris terhadap jaringan komputer, Live Free or Die Hard (2007) tentang mantan intelijen yang sakit hati menyerang sistem jaringan listrik dan data, serta Who Am I (2014) tentang kelompok peretas internasional.
Serial televisi bahkan lebih eksperimental. Serial Mr Robot menggambarkan kompleksitas keamanan siber dari sudut pandang seorang peretas. Serial Black Mirror tidak saja radikal, tetapi juga membawa penonton ke luar batas-batas realita.
Di tingkat yang lebih serius lagi, ada film-film yang memadukan dokumenter dan drama tentang peperangan siber. Film Social Dilemma (2020), sempat jadi tren di Netflix. Film yang diriset selama tiga tahun itu menunjukan kondisi masa depan di mana dengan algoritma canggih media sosial, manusia dengan sukarela menyerahkan preferensi bawah sadarnya.
Film The Perfect Weapon (2020) membuka mata bahwa perang dengan media siber telah bertahun-tahun ada di depan hidung kita. Tentang disinformasi dan misinformasi, film ini menunjukkan, bagaimana kampanye Black Lives Matter dieksploitasi negara-negara kompetitor AS untuk memecah bangsa itu.
Film dokumenter lain yang perlu ditonton adalah The Perfect Weapon (2020) di jaringan HBO. Film ini membuka mata bahwa perang dengan media siber telah bertahun-tahun ada di depan hidung kita. Tentang disinformasi dan misinformasi, film ini menunjukkan, bagaimana kampanye Black Lives Matter dieksploitasi negara-negara kompetitor AS untuk memecah bangsa itu. Ditunjukkan bagaimana dua akun palsu mengajak dua kelompok yang berseberangan pro dan anti imigrasi untuk demo di tempat dan waktu yang sama.
Kenapa siber disebut sebagai senjata yang sempurna? Dengan biaya murah, alat yang ringkas, pihak yang lemah bisa mematikan yang kuat, tanpa diketahui identitasnya.
Peperangan siber adalah tindakan dari sebuah negara –termasuk dengan menggunakan aktor non-negara- menyerang jaringan komputer negara lain dengan tujuan untuk merusak atau mengganggu. Untuk memudahkan, ruang siber terdiri dari empat lapisan sebagaimana dijelaskan David D Clark, peneliti teknologi informasi dari Massachusetts Institute of Technology. Lapisan pertama, dasar fisik dan infrastruktur seperti kabel dan komputer, lapisan berikutnya bangunan logika yang dibentuk dengan pemograman, lapisan ketiga informasi yang ada di dalamnya, baik disimpan dan disebarkan, dan terakhir adalah manusianya.
Teknologi Informasi dan Komputasi telah menjadi senjata di mana ruang dan waktunya tak terbatas. Tahun 2007-2008, seluruh jaringan komunikasi Estonia lumpuh berkali-kali setelah negara ini ingin memindahkan monumen perang yang sebelumnya dipasang Uni Sovyet. Pada November-Desember 2014, produser film Sony Pictures diserang peretas Korea Utara. Sony mengalami berbagai kebocoran data termasuk film-film yang akan dirilis gara-gara kesal akan film The Interview yang mengolok-olok pemimpin Korea Utara.
Selama 2013-2016, peretas Rusia berhasil menamam malware pada aplikasi militer Ukraina untuk artileri sehingga keberadaan artileri Ukraina mudah dilacak untuk kemudian dihancurkan. Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan ada serangan dari nomor-nomor yang berasal dari China dan Rusia untuk menyerang basis data pemilih Indonesia pada Mei 2019, beberapa minggu sebelum pemilu.
Di berbagai negara, ujung tombak peperang siber ada di militer. TNI dalam doktrin Tri Dharma Eka Karma tahun 2018 telah menyatakan, media yang digunakan ancaman dan gangguan bisa melalui darat, laut, udara, ruang angkasa, elektronik dan siber.
Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono dalam wawancara sebelum peringatan HUT TNI 5 Oktober 2020 mengungkapkan, peperangan siber yang mengedepankan teknologi tinggi sehingga bisa real time sangat menentukan dalam pengambilan keputusan dan komando kendali operasional. Oleh karena itu, TNI AL tengah berusaha mengembangkan kemampuan pengamatan (surveillance) dengan memadukan KRI, pesawat patroli intai maritim, radar pengamatan pantai terintegrasi (Integrated Maritime Surveillance System/IMSS), dan intelijen manusia.
Peningkatan kemampuan siber merupakan salah satu fokus TNI AU. TNI AU telah menyusun roadmap pembangunan network centric warfare dimana nantinya seluruh sensor serta alutsista yang telah dan akan dioperasikan TNI AU dapat saling berkomunikasi dan berbagi informasi
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo menyatakan, peningkatan kemampuan siber merupakan salah satu fokus TNI AU. TNI AU telah menyusun roadmap pembangunan network centric warfare dimana nantinya seluruh sensor serta alutsista yang telah dan akan dioperasikan TNI AU dapat saling berkomunikasi dan berbagi informasi untuk mendukung pelaksanaan operasi.
“Pada tahun 2020 ini, TNI AU telah membentuk satuan siber TNI AU yang berada dibawah Dinas Pengamanan dan Persandian TNI AU (Dispamsanau),” kata Fadjar.
TNI AD juga telah memiliki Pusat Sandi dan Siber yang dipimpin seorang brigjen. Saat ini, fungsinya masih berupa pembinaan terutama memantau perang informasi. Akan tetapi, seiring dengan TNI AL dan TNI AU, TNI akan membentuk network centric warfare yang menjadikan operasi TNI tidak hanya memiliki interoperabilitas, tetapi juga interkonektivitas. Di tingkat mabes TNI, sudah ada Satuan Siber yang bertugas untuk melindungi infrastruktur strategis TNI.
Walaupun Internet of Things (IOT) ada di depan mata, TNI masih terbentur regulasi dan anggaran
Membangun kemampuan peperangan siber bukan hal yang mudah. Walaupun Internet of Things (IOT) ada di depan mata, TNI masih terbentur regulasi dan anggaran. Keberadaan senjata dan personil saat ini juga masih merujuk pada pertempuran yang konvensional. Hal ini tidak saja terkait doktrin atau cara berperang tetapi juga pola pikir para pembuat kebijakan.
Merujuk empat lapisan ruang siber, dengan kekurangan Indonesia dalam menguasai teknologi perangkat keras, maka keunggulan di bidang pemograman harus bisa dikuasai. Selanjutnya, perlu ditentukan pemograman dan platform yang bersifat strategis baik untuk bertahan dan juga menyerang. Peperangan siber sedang dan terus berlangsung, tidak saja di film, tetapi di dunia nyata.