Aura Kilisuci Tenun Ikat Kediri
Di tengah pandemi yang belum kunjung mereda, Dhoho Street Fashion ke-6 memilih tetap muncul meski dengan sejumlah pembatasan akan protokol kesehatan. DSF kali ini membawa tema ”Aura Dewi Kilisuci”.
Meski sempat tebersit untuk tidak diselenggarakan lantaran pandemi yang tidak kunjung mereda, Dhoho Street Fashion ke-6 akhirnya sukses digelar, Minggu (22/11/2020), di Kota Kediri, Jawa Timur, dengan sejumlah pembatasan akan protokol kesehatan yang ketat.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang bertempat di pusat kota, Dhoho Street Fashion (DSF) 2020 diselenggarakan menjauh dari keramaian. Lokasinya menyingkir ke pinggiran kota, tepatnya di depan Goa Selomangleng, di lereng Gunung Klotok, masuk wilayah Kecamatan Mojoroto.
Tak ada penonton, tetapi gelaran yang terasa lebih ”sakral” dari biasanya itu berhasil menyapa para pencinta wastra, khususnya tenun ikat melalui kanal di dunia maya. Kehadiran Puteri Indonesia 2020 Rr Ayu Maulida Putri makin menambah apik perhelatan.
Di bawah pepohonan tua yang menyatu dengan bebatuan, DSF ke-6 seolah mengajak penikmat mode dan desainer mundur 12 abad ke belakang tetapi pada saat yang sama juga erat dengan konteks yang terjadi saat ini.
Mengambil tema ”Energy of Kilisuci”, DSF 2020 berusaha menyerap aura Dewi Kilisuci–putri mahkota Airlangga. Aura itu dipakai untuk memantik semangat sekaligus menghidupkan hasil cipta perajin tenun lokal yang kini tengah menghadapi masa-masa sulit akibat pandemi.
Ya, di tahun 970 Masehi, Kilisuci berhening di Goa Selomangleng. Kala itu Sang putri meminta agar Kediri diberi keselamatan dari bahaya.
Alhasil, sejak awal hingga akhir DSF ke-6, sejumlah busana karya perancang ibu kota dan lokal silih berganti tampil ”menyatu” dengan lingkungan sekitar. Warna-warna gelap dan tua banyak dipilih guna menonjolkan sisi karakter alam dan keelokan sang dewi.
Prio Oktaviano, misalnya, melalui tema ”Awakening of Kilisuci”, menampilkan 12 koleksi yang sebagian besar bergaya urban kosmopolitan, kasual, dan ready to wear untuk wanita elegan. Desain untuk perempuan kekinian yang aktif di segala bidang.
Prio mengambil palet warna grey stone, grey lime, orange mandarin, dan yellow mustard. Warna-warna ini identik dengan kondisi sekitar Selomangleng yang didominasi oleh dedaunan kering dan bebatuan berlumut.
Apa yang disajikan oleh perancang busana ibu kota kelahiran Kediri itu berbeda dengan saat dirinya meramaikan DSF ke-5 tahun lalu. Saat itu, Prio lebih banyak menampilkan warna–warna neon untuk mereka yang berumur lebih muda.
”Teman besarnya energy of Kilisuci, jadi lebih ke emansipasi wanita, memberikan energi baru untuk perempuan agar mereka memiliki powerful untuk bergaya. Saya lebih banyak menggunakan warna natural,” ujarya. Menurut dia, tenun Kediri cukup dinamis dari sisi motif sehingga mudah dipadupadankan.
Adapun desainer Era Sukamto berusaha memunculkan busana bersahaja tetapi kuat, modern tetapi menjunjung budaya. Dengan tema ”Avalokitasvara”, Era berusaha memotret Kilisuci sebagai sosok perempuan muda yang sedang mengalami tanjakan spiritual menuju penerangan sejati. Juga pesona welas asih yang menjadi simbol Kediri.
Era menyuguhkan busana bersahaja tetapi kuat, modern tetapi menjunjung budaya. Di dalam koleksi ini ada unsur China-Jepang, Sriwijaya dari ”songket look”, ornamen napak tilas Jawa Bali zaman Airlangga, bersatu apik dalam karya yang modern kekinian tetapi dengan sentuhan yang kuat.
Dalam event kali ini, Era juga bekerja sama dengan Rinaldy A Yunardi untuk aksesori yang dikenakan. Rinaldy merupakan salah satu desainer aksesori kenamaan Indonesia yang karyanya dipakai oleh artis dunia, salah satunya Lady Gaga.
Baca juga: Mengikat Kediri
Desainer Ibu Kota lainnya yang juga kelahiran Kediri, Samira M Bafaqih, juga melirik pesona kecantikan dan kelembutan Kilisuci sebagai inspirasi karya. Melalui Asmaranala Dewi Kilisuci, Samira menghadirkan busana yang glamor tetapi elegan.
Karya ini ia padukan dengan warna dan motif tenun yang tegas dengan akses bordir, stagen, dan aplikasi bordir kerancang. Dengan palet seperti hijau emerald, ungu, terakota, perak dan emas untuk menggambarkan Kilisuci yang tegas tetapi pemberani sekaligus memesona.
Tak mau kalah dengan desainer kenamaan, beberapa desainer lokal Kediri juga berusaha menyuguhkan koleksi terbaiknya. Sejumlah desainer lokal yang berparitisipasi kali ini adalah SMKN 3 Kediri, Luxe Caesar Boutique, Azzkasim, dan Numansa Batik Dermo.
Semangat perajin
Selain mempromosikan kain tenun yang sudah ada sejak masa kolonial, DSF kali ini bertujuan memacu semangat perajin agar tetap berkarya di tengah pandemi. Perajin mengaku selama pandemi ada penurunan permintaan dari konsumen. Namun, kondisi tersebut tidak memengaruhi kreativitas.
Mereka pun berupaya menyesuaikan dengan situasi, termasuk membuat produk yang saat ini banyak dibutuhkan berupa masker kain tenun. Selama ini perajin tenun ikat Kediri dikenal menghasilkan sarung goyor yang penjualannya sampai ke Timur Tengah dan produk kain tenun lainnya.
”Pernah tebersit untuk tidak menyelenggarakan (DSF 2020), tetapi di sisi lain kita harus berpikir untuk tetap melaksanakan hal positif guna mengangkat ekonomi. Kondisi ekonomi tahun 2020 berat, termasuk untuk UMKM,” kata Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Kediri–selaku penyelenggara–Ferry Silviana Abu Bakar.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang hadir dalam kesempatan ini, mengatakan, DSF menjadi kekuatan bersama menyinegikan produktivitas, terus bangkit, produktif, kreatif, dan inovatif di masa pandemi.
”Ini kekuatan, menurut saya, di saat pandemi Covid-19 bisa menjadi energi untuk terus bangkit dan bergerak,” katanya. Selain Khofifah, hadir pada kegiatan ini antara lain Komisi VI DPR Abdul Hakim Bafagih dan Ketua Dekranasda Jawa Timur Arumi Bachsin Emil Dardak.
Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mengatakan, pihaknya berupaya mengajak perajin bersama-sama melestarian tenun dengan cara mengembangkan dari hulu sampai hilir. Harapannya, ini bisa menjadi penanda perkembangan tenun ikat Kediri sekaligus mengungkit perekonomian di Kediri dan Jawa Timur.
”Banyak yang harus kita jajaki, kita pelajari bersama. Dari sini ide ini muncul kemudian kita panggil desainer untuk menciptakan patern baru sehingga tenun ikat bisa menjadi andalan Kediri dan Jawa Timur. Kami akhirnya mengedukasi, tidak hanya kepada perajin tetapi juga siswa SMK di Kediri,” ucapnya.
Baca juga: Dhoho Street Fashion Picu Semangat Perajin di Tengah Pandemi