Kisah ”Chef” Renatta dan Buku Tua
Renatta yakin, satu-satunya cara efektif memopulerkan kuliner Indonesia hanya dengan membuat orang Indonesia sendiri paham pengetahuan seputar kuliner tradisionalnya sendiri.
Sebuah buku tua bersampul tebal warna abu-abu pucat, satu waktu pernah sangat menarik perhatian Renatta Moeloek kecil. ”The Family Home Cook Book”, terbit pertama tahun 1956. Buku terbitan Amerika Serikat itu mengantar Renatta menjadi sosok yang fasih berkisah beragam masakan, termasuk masakan Nusantara.
Entah milik siapa dan sudah berapa lama buku itu disimpan keluarganya. Yang jelas buku dasar-dasar memasak makanan barat itu menjadi bekal awal Renatta belajar memasak dan bereksperimen. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sepanjang masa remajanya Renatta sudah suka memasak.
Dia terpacu belajar masak lantaran awalnya ibunya tak bisa memasak. Ibunda Renatta yang single parent adalah seorang pebisnis yang luar biasa sibuk. Mengandalkan masakan asisten rumah tangga atau jajan di luar buat Renatta terlalu membosankan.
Dengan bermodalkan ”kitab memasak” tadi Renatta semakin leluasa bereksperimen mencoba resep-resep dasar baru. Dia mengaku sangat senang mengutak-atik buku itu, terutama soal cara membuat aneka saus. Saus-saus itu lalu dia variasikan dengan berbagai bahan utama lain.
Selain memasak untuk keluarga, Renatta kecil kerap mengundang teman-teman dekatnya ke rumah. Renatta kerap memasak spontan ketika dia ingin membuat sesuatu. Selesai masak baru kemudian dia bingung siapa yang akan menghabiskan masyakannya tadi.
”Akhirnya gue teleponin deh satu-satu teman biar pada datang ke rumah dan makan ramai-ramai. Dulu kan uang jajan juga enggak terlalu banyak. Jadi, kalau kepingin makan ini itu, ya, sudah gue aja yang masakin. Kadang ada juga gue jualin di sekolah. Seru,” ujar Renatta saat ditemui di Ruma Dining di kawasan Tanah Kusir, Senin (30/11/2020).
Selain sibuk menjadi juri di acara televisi MasterChef Indonesia, Renatta juga mendirikan, mengelola sejumlah usaha, serta konsultan kuliner seperti di Ruma Dining, Fedwell Jakarta, dan Enak Dibungkus.
Pribadi menyenangkan
Renatta mengisahkan kembali salah satu bab traumatis yang pernah dialaminya. Beberapa bulan menjelang keberangkatannya melanjutkan studi memasak di luar negeri, Renatta mengalami kecelakaan lumayan parah. Kecelakaan itu menyisakan luka yang membekas hingga sekarang.
Sebuah ledakan gas membakar sejumlah sebagian tubuh sebelah kanan Renatta. Luka itu juga mengharuskannya menjalani perawatan intensif serba steril, sebulan di rumah sakit, dan beberapa bulan di rumah.
”Waktu itu lagi nginep sama dua teman di apartemen barunya. Saking masih baru bahkan dapurnya belum pernah dipakai masak. Pas lagi lapar, niatnya gue mau bikin mi instan. Yang gue inget, kata-kata terakhir sebelum kejadian gue nanya, eh, elu semua pada cium bau gas enggak, sih? Terus, blarrr! Ha-ha-ha,” kisahnya sambil tertawa.
Kejadian itu tak menyurutkan cita-cita Renatta belajar di Le Cordon Bleu Culinary Art di Kota Paris, Perancis, salah satu institusi pendidikan kuliner bergengsi dunia. Walau masih masa pemulihan, Renatta maju terus.
”Enggak ada trauma, sih. Cuma mungkin kalau ada bau gas gue jadi lebih waspada aja. Tapi yang ada di pikiran gue saat itu, awas, ya, nanti kalo gue sudah jadi chef beneran, gue enggak akan bikin restoran yang sistem gasnya busuk kayak di apartemen itu. Ha-ha-ha,” ujar Renatta, lagi-lagi sambil tertawa bergurau.
Begitulah. Berbincang dengan chef selebritas satu ini memang menyenangkan. Tutur katanya jelas dan lugas. Ditambah gayanya yang easy going, rileks, terkesan pemberani, dan tak takut tantangan. Sepanjang obrolan juga terasa kesan kuat dirinya bukan jenis pribadi yang suka berpikir ruwet dan over thinking.
Saat ditemui langsung sosok Renatta terasa jauh berbeda dari yang tampak di layar kaca, saat menjadi juri di acara MasterChef Indonesia. Di acara itu dia dikenal tampil dingin dan tak banyak bicara. Kenyataannya, Renatta justru terdengar cerewet dan cuek. Obrolan juga mengalir deras layaknya berbincang dengan kawan lama.
Menjadi seorang chef selebritas pun diakui tak terlalu membebaninya. Dia hanya mengaku kini bisa paham dunia lain seorang chef selebritas di industri hiburan, yang terkadang dipandang sebelah mata. Saat belum terjun di dunia itu Renatta mengira kemampuan chef selebritas jauh di bawah chef profesional.
”Dari yang terlihat di televisi kan ada kesan chef-nya, kok, hanya bisa masak itu-itu saja dan sederhana. Padahal, itu sebenarnya tuntutan acaranya. Masyarakat yang menonton, kan, segmennya juga beragam. Akan sulit, misalnya, bahas atau tampilkan masakan pakai butter sementara riilnya penonton cari butter saja sulit dan hanya bisa pakai margarin,” ujar penggemar musik jazz, swing, dan blues klasik ini.
Kuliner Indonesia
Seusai studi Renatta sempat melanglang buana bekerja di sejumlah restoran, seperti di Paris, Perth, Singapura, sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Sejumlah penghargaan juga dia peroleh, seperti saat terlibat aktif mempromosikan kuliner Nusantara dalam acara tur Indonesian Food di Eropa, atau ketika menjadi dosen tamu di beberapa universitas perhotelan.
Sayangnya, Renatta tak terlalu rajin mengumpulkan dan mendata semua itu dalam file pribadinya. Dia lebih suka mengoleksi nomor-nomor kontak kolega baru, jika sewaktu-waktu diperlukan.
Berbicara tentang bagaimana memopulerkan hidangan Nusantara di luar negeri, Renatta justru berpikir sebaliknya. Baginya hal terpenting yang harus terlebih dahulu dilakukan adalah memopulerkan keragaman hidangan khas Tanah Air di dalam negeri sendiri, termasuk informasi bahan-bahan dan cara membuatnya.
Jangan sampai ada orang Indonesia sendiri yang berpikir dan membandingkan hidangan Eropa macam foie gras (hati angsa) itu lebih baik daripada makanan lokal macam tempe. Cara berpikir seperti itu, menurut Renatta, harus bisa diperbaiki terlebih dahulu jika memang ingin memajukan kuliner Nusantara.
”Beberapa kali saya punya project seperti tur memperkenalkan makanan Indonesia. Namun, semakin saya coba perkenalkan kuliner Indonesia di luar negeri malah justru semakin sadar kalau di Indonesia sendiri orang belum paham kulinernya sendiri. Termasuk gue juga sih,” ujar Renatta.
Renatta merasa ada banyak jenis bumbu dan resep masakan dari berbagai tempat di Indonesia, yang dirinya bahkan belum pernah tahu. Kondisi sama juga menurutnya terjadi pada kebanyakan orang di sekelilingnya, termasuk mereka yang juga bergelut di bidang sama dengan dirinya.
Dari situ dia yakin, satu-satunya cara efektif memopulerkan kuliner Indonesia hanya dengan membuat orang Indonesia sendiri paham pengetahuan seputar kuliner tradisionalnya sendiri. Hal itu berdasarkan pengalamannya sudah sejak lama diterapkan di Eropa.
”Di Perancis, misalnya, bahkan orang tanpa latar belakang kuliner, macam akuntan atau karyawan kantoran biasa, mereka akan dengan fasih menjelaskan apa itu choux pastry, apa saja isinya, dan bagaimana membuatnya. Mereka tahu choux pastry itu isinya crème patisierre. Mereka mungkin memang enggak bisa bikin sendiri, tetapi mereka tahu dan bangga dengan kulinernya,” ujar Renatta mencontohkan.
Penggemar beragam jenis olahan telur ini meyakini, saat banyak orang Indonesia nanti paham tentang kulinernya sendiri, maka secara otomatis mereka akan sering membahasnya. Ketika topik tersebut menjadi topik pembahasan sehari-hari maka keberadaan kuliner Indonesia otomatis juga akan menjadi populer bahkan sampai ke luar negeri.
Dari buku tua, tangan dan lidah Renatta kini fasih berkisah tentang masakan, termasuk masakan Nusantara
BIODATA:
Lahir: Jakarta, 17 Maret 1994
Pendidikan: Le Cordon Bleu Culinary Art di Paris, Perancis (2014)
Pekerjaan:
- Juri MasterChef Indonesia
- Ruma Dining: Chef, Owner (private dining, outside catering, menu consulting and events)
- Fedwell Jakarta: Menu Consultant, co-owner
- Enak Dibungkus: Co-Owner